Kepemimpinan Feminis dalam Menghadirkan Lingkungan Kerja Sehat
Pernah mendengar istilah quiet quitting atau “berhenti diam-diam”? Istilah ini populer seiring dengan pandemi COVID-19 dan merujuk pada karyawan yang bekerja dalam batas minimum dan menolak tugas di luar jam kerja mereka. Fenomena ini muncul setelah banyak pekerja di seluruh dunia merasa kurang mendapatkan penghargaan dari atasan, sehingga mudah merasa lelah secara batin dan fisik.
Tidak kalah populernya adalah istilah burnout yang merujuk pada kondisi seorang karyawan yang merasa kewalahan dalam bekerja. Karena besarnya beban kerja, mereka merasakan stres berkepanjangan hingga membutuhkan cuti khusus, bahkan harus mengundurkan diri. Motivasi bekerja hilang, yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan jiwa.
Banyak yang menunjuk faktor beban kerja yang terlalu tinggi sebagai penyebabnya. Jam kerja berkepanjangan, apalagi tanpa uang lembur, menjadi salah satu penyebab lainnya. Tetapi, akarnya sebenarnya adalah pola kepemimpinan yang buruk di kantor. Pola kepemimpinan ini tidak selalu terkotak pada jenis kelamin. Misalnya, anggapan bahwa laki-laki memimpin lebih baik dari perempuan, atau sebaliknya, tidaklah selalu benar. Kita perlu menelaah kembali sifat-sifat kepemimpinan negatif yang sudah mendarah daging dan menyebabkan lingkungan kerja tidak lagi mendukung kesehatan jiwa.
Contoh Sifat Kepemimpinan yang Salah
Kepemimpinan sejatinya harus menempatkan pemimpin sebagai mitra kerja, bukan semata bos atau orang yang hanya memberi perintah. Sayangnya, masih banyak atasan yang egois, memandang karyawan sebagai bawahan yang bisa mereka suruh seenaknya. Pola pikir ini, yang sayangnya sudah lumrah, merembet ke dampak negatif lainnya, seperti menguras tenaga karyawan dan enggan mencari tenaga tambahan.
Kondisi ini diperparah dengan efek negatif kapitalisme yang menempatkan pemilik modal sebagai pemegang kendali penuh atas bisnisnya. Pemimpin seperti ini berpikir bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) bukanlah aset, melainkan alat, sehingga tidak terpikirkan bagaimana caranya menjaga kesehatan jiwa mereka agar betah. Karyawan diperlakukan seperti robot, yang dituntut mencapai target tertentu dengan mengabaikan jam kerja, hingga kondisi kesehatan fisik mereka. Karyawan pun terpaksa mengikuti ritme kerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mengapa Kepemimpinan Feminis Menjadi Jawabannya
Kepemimpinan feminis bukanlah tipe kepemimpinan yang eksklusif untuk perempuan. Laki-laki pun dapat menerapkan pola ini, sebab kepemimpinan feminis secara umum merujuk pada sifat-sifat yang menjadi ciri khasnya. Sebagaimana disebutkan oleh ActionAid.org, beberapa ciri utama tipe ini adalah pola saling berbagi, inklusivitas, dan transparansi.
Saling berbagi berakar dari sifat alami perempuan yang memiliki empati dan kepedulian tinggi terhadap sesama. Pola kepemimpinan feminis mempromosikan gaya di mana seorang atasan harus peduli kepada karyawannya. Tugasnya bukan sekadar memberi pekerjaan dan menagihnya saat tenggat waktu tanpa mempedulikan kondisi karyawan, melainkan juga memantau kondisi fisik dan psikis staf. Jika mereka sedang sakit, pemimpin harus segera mencari solusi agar pekerjaan bisa tetap selesai tanpa memaksa karyawan tersebut. Ia bisa mendelegasikannya kepada karyawan lain, atau jika perlu, mempekerjakan orang baru.
Prinsip inklusivitas merujuk pada kesetaraan meski berbeda peran. Setiap karyawan berhak mendapat perlakuan yang baik dan penghargaan. Kepemimpinan feminis menjunjung tinggi sikap ini sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Tidak ada karyawan yang merasa hak mereka terabaikan hanya karena perbedaan gaji atau status di tempat kerja. Diskriminasi berdasarkan gender, ras, atau pendapatan tidak dikenal dalam tipe ini.
Berkat inklusivitas pula tercipta transparansi bersama. Sebagai contoh, pemimpin akan memberikan penilaian yang jelas mengenai mutu pekerjaan, yang berujung pada kenaikan gaji atau jabatan. Dengan transparansi seperti ini, tidak ada karyawan yang merasa tidak layak. Mereka mengetahui kemampuan mereka sekaligus menghindarkan lingkungan kerja dari rasa cemburu dan iri. Keterbukaan ini adalah kunci agar karyawan merasa memiliki perusahaan tersebut. Mereka akan merasa lebih dihargai dan bertahan meski perusahaan menghadapi masa sulit.
Setiap jenis pekerjaan tentunya memiliki target untuk meraih keuntungan materi. Di zaman seperti sekarang, kecenderungan memperlakukan karyawan semata sebagai alat semakin kentara. Padahal, tidak semua hal bisa dinilai berdasarkan materi, seperti gaji atau posisi yang ditawarkan.
Kepemimpinan feminis menawarkan solusi sederhana dengan mengajak kembali meneladani perempuan dengan segala fitrahnya yang lembut, namun kuat menghadapi segala tantangan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!