Hukum Aborsi dalam Islam *)

KEPUTUSAN untuk menghidupkan (hamil) atau tidak (mematikan) merupakan urusan Allah. Kehamilan yang tidak dikehendaki karena berbagai faktor mungkin saja terjadi, bahkan dewasa ini sering terjadi. Dalam keadaan demikian, dapatkah seorang perempuan menggugurkan kandungannya?

Terhadap persoalan ini, fikih sesungguhnya menawarkan sejumlah pilihan. Pertama, para ulama fikih sepakat bahwa aborsi tidak boleh dilakukan sesudah janin berusia 120 hari (empat bulan). Kandungan berusia 120 hari dalam pandangan mereka sudah merupakan wujud manusia hidup dengan segala kelengkapannya, karena itu ia adalah benar-benar manusia. Dalam banyak pandangan, pengguguran kandungan pada usia janin ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai aborsi tetapi pembunuhan.

Sementara aborsi sebelum usia tersebut, pandangan para ulama cukup beragam. Para ulama seluruhnya mendasarkan pandangannya terkait hal ini pada ayat al-Qur`an,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ. ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati [berasal] dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani [yang disimpan] dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci lah Allah, Pencipta yang Paling Baik,” [QS. al-Mukminun: 12 – 14].

 

Ayat ini menyebutkan fase-fase pembentukan manusia dalam tiga kategori: nuthfah (sel sperma, zygote), ‘alaqah (segumpal darah), dan mudhghah (segumpal daging). Pendirian paling longgar diberikan al-Haskafi, seorang ulama bermazhab Hanafi, yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum usia kandungan 120 hari, dengan atau tanpa adanya alasan. Al-Karabisi dari mazhab Syafi’i, seperti dikutip oleh al-Ramli di dalam kitab “Nihâyah al-Muhtâj”, hanya membenarkan aborsi ketika masih berupa nuthfah. Pendirian paling ketat dikemukakan al-Ghazali dari mazhab Syafi’i. Ia mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas mazhab Maliki, Ibn Hazm al-Zhahiri dan sebagian mazhab Syi’ah.

Sepanjang yang dapat ditelusuri dari literatur fikih, para ulama telah mencapai kata sepakat terkait isu aborsi (isqâth al-haml dan ijhâdh, menurut bahasa fikih). Kesepakatan itu menyangkut kebolehan melakukan aborsi tanpa batas umur janin. Tentunya, kebolehan aborsi ini dilakukan dengan pertimbangan medis untuk keselamatan sang ibu. Jika keberadaan bayi dalam kandungan dapat membahayakan dan mengancam hidup sang ibu, maka pilihan aborsi dapat dilakukan. Pandangan ini memperlihatkan bahwa pertimbangan keselamatan ibu lebih diutamakan ketimbang kematian janin.

Pandangan para ahli fikih tentang motif aborsi di atas tampaknya masih terbatas pada indikasi medis dan kesehatan belaka. Motif-motif lain seperti indikasi sosial, ekonomi, politik dan psikologi belum mendapat uraian panjang lebar. Tetapi sungguh menarik ketika kita mengamati bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi membolehkan aborsi, meskipun bukan karena suatu alasan (lâ ‘udzr aw bi ghayr udzr).

Mengenai masalah aborsi, yang perlu dilihat adalah dalam kerangka apa aborsi itu dilakukan. Menurut fatwa MUI, aborsi itu bisa dilakukan dengan dua alasan: pertama, alasan medis. Misalnya, seorang perempuan boleh melakukan aborsi kalau menurut dokter jiwanya terancam karena kehamilannya. Kedua, karena perkosaan atau kehamilan yang tak diinginkan. Artinya, seorang anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan boleh mengakses layanan aborsi. Tetapi untuk para perempuan remaja yang tidak mengalami hal-hal seperti itu, maka harus dibatasi dalam mengakses layanan aborsi.

Pada awalnya, pijakan fatwa MUI itu adalah bahwa “para remaja tidak boleh mengakses layanan aborsi tanpa syarat”, karena bisa membuka ruang untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi kalau anak perempuan remaja yang hamil, sementara ia mempunyai cita-cita untuk melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang paling tinggi, apakah boleh ia mengakses layanan aborsi? Menjawab ini, daripada ia melakukan aborsi secara tidak aman, sebaiknya ia diberi layanan terbaik agar aborsi yang dilakukannya tidak membahayakan jiwanya.

Oleh karena itu, ke depan negara perlu didorong untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat. Karena pada dasarnya sudah ada fatwa ulama yang membolehkan aborsi untuk alasan-alasan yang tadi disebutkan. Tetapi di lapangan kita sering mendengar bahwa orang yang melakukan aborsi dipidana. Inilah yang membuat para dokter dan bidan diliputi kekhawatiran. Seharusnya, ketika terdapat fatwa yang memberikan ruang—bahkan kemarin ada UU Kesehatan, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai UU Aborsi karena membuka ruang untuk praktik aborsi—, perlu juga adanya peraturan dari Menteri Kesehatan yang memberikan akses layanan yang aman dan mudah bagi para perempuan yang memenuhi syarat untuk melakukan aborsi. Sekarang aborsi dibolehkan, tetap tidak ada wadahnya, mau ke mana mereka? Ini murni kesalahan negara, karena di dalam kebijakannya masih mengkriminalisasi praktik aborsi. Tidak ada singkronisasi antara fatwa ulama dan kebijakan pemerintah. Kalau memungkinkan, semua pihak harus mendorong dilakukannya Judicial Review terhadap undang-undang pidana yang mengkriminalisasi para pelaku aborsi.

Jadi, pada hakikatnya akses layanan itu tergantung prasyaratnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa aborsi itu dibolehkan dengan syarat: (1). Alasan medis; (2). Kehamilan yang tidak diinginkan, atau akibat perkosaan, dan; (3). Dilakukan secara aman. Di sini yang dimaksud aman yang menentukan adalah medis.

Kajian di dalam fikih sangat tekstual sehingga banyak yang bertentangan dengan medis. Misalnya, secara medis dikatakan bahwa batas aman dilakukannya aborsi adalah usia kandungan delapan (8) minggu—artinya di bawah batas itu aman, sementara melebihi batas itu sudah tidak aman. Berbeda dengan fikih yang menetapkan empat (4) bulan sepuluh (10) hari karena standar ditiupkannya ruh ke dalam jasad. Pandangan fikih ini harus disesuaikan dengan pandangan medis, karena batasan empat (4) bulan sepuluh (10) hari itu tidak bersifat qath’îy (tetap/pasti), sehingga pertimbangannya bukan pada argumen dalil, tetapi pada kemaslahatan pelaku aborsi. Kalau kemaslahatan aborsi ada pada batas delapan (8) minggu, maka boleh dilakukan. Dan kalau melebihi batas itu ternyata tidak aman dan mengandung mafsadah, maka tidak usah dilakukan.

Penelitian Rumah KitaB di sejumlah daerah menemukan banyak sekali perkawinan anak. Bahkan terdapat anak perempuan berusia 10 tahun yang sudah dikawinkan oleh orangtuanya dengan laki-laki yang sebaya atau bahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya. Tentu saja ini melanggar Undang-Undang Perkawinan. Jika ia dipaksa melakukan hubungan badan oleh pasangannya sehingga di usia 11 tahun ia hamil dan ia tidak menginginkan kehamilan itu, secara fikih—hanya saja undang-undang negara belum ada—ia boleh melakukan aborsi. Di dalam fikih aturannya jelas, selama usia kandungannya belum sampai empat (4) bulan sepuluh (10) hari, maka aborsi boleh dilakukan. Tetapi ketentuan fikih ini terlalu jauh, yaitu bahwa ketika usia kandungan di bawah delapan (8) minggu, maka melakukan aborsi secara medis aman dan secara fikih dibolehkan.

Dengan demikian, jika ada perempuan usia 11 tahun perlu melakukan aborsi, karena kalau dipaksa untuk mempertahankan kandungannya akan menimbulkan berbahaya—bukan hanya pada anak dan ibunya, tetapi juga masa depan keduanya—, maka semestinya akses layanan untuk aborsi itu dibuka. Hanya saja, sebaiknya akses tersebut diberikan bagi perempuan yang sudah hamil, bukan bagi yang belum hamil.

Terdapat sebuah cerita klasik: dikisahkan bahwa pada suatu hari Ibn Abbas berada di majlisnya mengajar murid-muridnya. Tiba-tiba datang seseorang laki-laki yang meminta fatwa kepadanya, “Bagaimana hukum bagi pembunuh, apakah ada taubatnya atau tidak?” Ibu Abbas menjawab, “Untuk pembunuh tidak ada taubat.” Laki-laki itu pun pergi meninggalkan majlis Ibn Abbas. Salah seorang muridnya bertanya, “Wahai Syaikh, bukankah sebelumnya Anda mengatakan bahwa semua pendosa, termasuk pembunuh, itu ada taubatnya kecuali syirik.” Ibn Abbas berkata, “Fatwa saya untuk laki-laki tadi adalah fatwa untuk orang yang akan membunuh, sementara fatwa saya yang sebelumnya adalah untuk orang yang sudah membunuh.” Muridnya bertanya lagi, “Bagaimana Anda tahu bahwa laki-laki tadi akan membunuh?” Ibn Abbas berkata, “Kamu ikuti saja laki-laki itu.” Si murid kemudian mengikuti laki-laki itu, dan ternyata betul laki-laki itu akan membunuh seseorang. Dan karena fatwa Ibn Abbas ia tidak jadi membunuh.[RG]

 

*) Tulisan ini disarikan dari diskusi Bahtsul Masail mengenai “Hukum Aborsi Menurut Islam”, yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) pada 18 Juni 2022, di Aula Wahid Institute, Matraman. Hadir dalam kesempatan ini sejumlah kiyai dan nyai muda yang merupakan para pengkaji kitab kuning yang telah memiliki perspektif hak asasi manusia, mereka juga aktif dalam lembaga-lembaga pengkajian kitab kuning seperti LBM PBNU dan LBM PWNU DKI Jakarta, Jaringan KUPI, dan Jaringan Pengasuh Pesantren. Sebagian lainnya merupakan para peneliti literatur keislaman dari perguruan tinggi.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.