Fikih Thaharah
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin, Cirebon
DUA bulan kemarin (21/07) saya berkunjung ke Pondok Pesantren Annuqoyah Lubangsa Guluk-Guluk, Madura. Pesantren yang diasuh kiai muda Lora Muhammad Solahuddin ini berhasil mengolah secara mandiri. Mereka belajar dari pengolahan sampah di Kelurahan Panggungharjo – Yogyakarta melalui tiga tahap: hulu, tengah dan hilir. Sejak di hulu para santri mulai dibiasakan makan atau minum tanpa menggunakan bungkus plastik atau kertas. Karena itu pesantren mewajibkan setiap santri memiliki piring dan gelas sendiri. Dari kebiasaan-kebiasaan kecil seperti ini para santri mulai dididik dan dibiasakan tidak memproduksi sampah setiap harinya.
Di tempat pengolahan sampah yang dimilik pesantren, para santri diajari memilih dan memilah sampah. Sampah-sampah organik sisa-sisa makanan diolah menjadi pupuk. Sampah plastik yang tidak berguna sebagian dibakar dan sebagian lagi dibuat batako. Sedangkan sampah yang bernilai dapat dijual.
Pengolahan sampah berbasis pesantren ini bisa menjadi role model bagi pesantren-pesantren lain di Indonesia. Pesantren harus bisa menjadi garda terdepan dalam pencegahan kerusakan lingkungan akibat sampah. Sampah adalah musuh bersama yang harus dilawan secara bersama-sama. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan pemerintah, sementara kita sendiri tak memiliki kesadaran terhadap lingkungan sekitar kita.
Kesadaran lingkungan ini harusnya dimiliki oleh setiap santri yang belajar pesantren, mengingat pesantren sudah memiliki modal kultural yang berasal dari pandangan dan ajaran keagamaan. Salah satunya adalah ajaran tentang fikih thaharah (fikih bersuci/kebersihan). Di dalam kitab-kitab fikih yang diajarkan di pesantren-pesantren, pembahasan tentang thahârah berada di urutan pertama sebelum memasuki pembahasan tentang ibadah. Sebelum beribadah setiap orang harus bersih dan suci dari segala kotoran. Ia harus bersuci menggunakan air bersih. Menggunakan pakaian yang tidak terkena najis, dll. Bab thahârah memuat banyak sekali konsep tentang air mutlak, jenis-jenis najis, cara memberseihkan najis, tentang hadas kecil dan hadas besar, cara-cara bersuci, dll. Semuanya berkaitan dengan konsep kesucian dan kebersihan, baik suci/bersih secara fikik maupun psikis (spiritual). Ini menunjukkan betapa Islam memiliki wawasan dan kesadaran terhadap lingkungan (fiqh al–bî`ah)
Dalam sebuah hadits Nabi Saw.—meskipun hadits ini dha’îf (lemah) tetapi menurut para ulama maknanya sangat positif—dijelaskan bahwa “kebersihan merupakan salah satu dari cabang keimanan” (al-muhâfazhah min al-îmân). Hadits ini menunjukkan betapa penting menjaga dan berprilaku hidup bersih. Jika hadits ini kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya kita takkan berani membuang sampah sembarangan, karena hanya akan menciderai keimanan kita.
Jadi, ajaran kebersihan sebetulnya memiliki pijakan teologis di dalam Islam. Hanya saja ia belum mendarah daging dan seolah bukan bagian dari ajaran pokok Islam. Orang masih merasa bersalah ketika meninggalkan shalat, misalnya, tetapi pada saat bersamaan tidak merasa berdosa ketika membuang sampah sembarangan. Banyak orang merasa suci dan bersih karena sering melakukan ritual keagamaan meskipun ia berada di sebuah lingkungan yang kotor dan kumuh.
Dari sini saya kira penting membangun dan menumbuhkan kembali teologi lingkungan melalui fikih thaharah ini. Fikih thaharah mengajarkan betapa penting, sangat mendesak dan mendasar menjaga, memelihara dan melestariakan lingkungan untuk kelangsungan kehidupan umat manusia di tengah ancaman kerusakan lingkungan akibat pemanasan global. Fikih thaharah berangkat dari kesadaran masing-masing orang untuk membangun kehidupan bersama di bumi yang sama. [JM]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!