Fikih Sebagai Ilmu yang Dinamis

DI pengajian mingguan, yang diadakan setiap Sabtu sore di Perumahan Griya Bintara Indah Bekasi, saya menyampaikan materi al-qawâ’id al-fiqhîyyah (Kaidah-Kaidah Fikih). Sebelum pengajian kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” dilaksanakan, para peserta pengajian mencatat dan membacakannya satu persatu dengan penuh antusias. Dan sebagian al-qawâ’id al-fiqhîyyah dan fikih itu sendiri, jika menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kemanusiaan atau persoalan sosial pada umumnya, para ulama seringkali memberi syarat dan rambu-rambu “asal tidak mudharat (membahayakan) atau mafsadat (merusak)” atau “asal ada maslahat” tanpa memberi penjelasan lebih lanjut bagaimana bentuk mudharat dan maslahat secara mendetail dan terinci. Sebagai contoh, “akhaffu al-dhararayn” (mengambil mudharat yang lebih ringan), “tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûth bi al-mashlahah” (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan), “dar` al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih” (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan), dan kaidah fikih yang lainnya.

Syarat maslahat dan mudharat mengindikasikan bahwa fikih merupakan disiplin ilmu yang bersifat terbuka dan memberi ruang seluas-luasnya bagi pengetahuan yang dapat mendeteksi bagaimana bentuk maslahat dan mudharat. Jika berkaitan dengan kesehatan, reproduksi, dan kejiwaan, maka para ulama membuka pintu dan menyerahkan panggung kepada para dokter dan psikolog untuk menjelaskan sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya tentang maslahat dan mudharat terkait kesehatan.

Pun demikian dalam persoalan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, agraria, dll. Fikih membuka pintu dan memberikan panggung kepada para ahli untuk berbicara sesuai dengan kapasitas dan pengetahuannya tentang maslahat dan madharat di bidangnya masing-masing. Soal lingkungan dan agraria, misalnya, maka panggung diserahkan ke pakar lingkungan dan agraria untuk berbicara. Dengan demikian, maka fikih bersifat dinamis sehingga tercipta apa yang disebut dengan ijtihâd jamâ’îy (ijtihad kolektif), kolaborasi antara ulama fikih dan berbagai ahli berbicara soal tema tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Ijtihad kolektif sudah sering dilakukan oleh para ulama, misalnya oleh para ulama Al-Azhar Kairo Mesir. Di antara hasilnya adalah buku “Qadhâya al-Shihhah al-Injîbîyyah li al-Murâhiqîn wa al-Murâhiqât fî Manzhûr Islâmîy” (Argumen Kesehatan Reproduksi bagi Para Remaja dalam Perspektif Islam). Buku ini menjelaskan mengenai kesehatan reproduksi hasil ijtihad koletif di antara para ulama Al-Azhar, para dokter, ahli genokologi, kependudukan, dan gender.

Selain itu, fikih bersifat terbuka bagi pengetahuan yang lain karena mahkûm ‘alayh (obyek hukum) dalam perumusan hukum syariat harus diketahui dengan jelas dan mendetail (ma’lûm) dan tidak boleh samar-samar dan tidak diketahui (majhûl). Untuk menjelaskan mahkûm ‘alayh, keberadaan para pakar sangat dibutuhkan. Para ulama fikih baru boleh menetapkan hukum tertentu—yang tidak ada nash-nya—setelah memiliki pengetahuan dan informasi memadai dari para pakar tentang obyek hukum. Informasi memadai dan pengetahuan yang baik adalah syarat mutlak bagi ulama fikih yang hendak menyampaikan pendapatnya terkait dengan persoalan hukum syariat.

Di masa Islam klasik, banyak ulama fikih yang juga ahli ilmu kedokteran, filsafat dan politik. Adalah Ibn Rusyd, seorang ulama multi-dimensional, selain ahli fikih dan bahkan pada masanya pernah menjadi Hakim Agung, Qâdhîy al-Qudhât, yang menulis fikih perbandingan dalam kitabnya “Bidâyah al-Mujtahid wa al-Nihâyah al-Muqtashid”, juga seorang ahli kedokteran yang pengetahuan kedokterannnya dituliskan dalam kitab “Kulliyat al-Thibb”, seorang filsuf paripatetik Islam dan terkenal juga sebagai komentator terbaik terhadap karya-karya filsafatnya Aristoteles.

Ibn Rusyd sebagai seorang ahli fikih dan bahkan hakim, memiliki wawasan yang luas tentang berbagai hal terkait dengan madharat dan maslahat dalam persoalan kesehatan, madharat dan maslahat dalam persoalan politik, dll., sehingga dalam memberikan keputusan hukum syariah bisa lebih bijak.

Pendapat-pendapatnya di dalam kitab “Bidâyah al-Mujtahid wa al-Nihâyah al-Muqtashid” terlihat bijaksana dan toleran. Ia menampilkan berbagai pendapat lintas mazhab, Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, Zaidiyah, Ja’fariyah, Zhaririyah, dan bahkan pendapat-pendapat ulama yang tidak mainstream pun disebutkan. Ini jalan bijak yang ditempuh, selain menggunakan wawasan tentang kedokteran, filsafat, dan politik, ia juga melakukan studi komparatif antarpendapat para ulama. Tidak mudah memberikan kata putus, dan tidak hitam-putih.

Memang idealnya ulama masa kini, sebagaimana Ibn Rusyd, memilik pengetahuan lain selain fikih yang memadai dan menguasai informasi serta permasalahan di lapangan. Meniscayakan untuk terus up-date. Karena kapasitas pengetahuan dan informasi seorang ahli fikih sangat berpengaruh terhadap pendapatnya. Apalagi saat ini akses informasi lebih mudah, ada koran harian, majalah, jurnal, berita online, download buku-buku dll., media sosial, dan yang terpenting lagi adalah keterbukaan (transparansi) yang semakin membaik di Indonesia, mengharuskan para ulama dan umat Muslim untuk lebih bisa menguasa persoalan dan karenanya lebih bijak dalam memberikan pendapat dan perumusan hukum syariat. Adalah aneh di era yang bebas hambatan informasi dan pengetahuan saat ini jika masih ada ulama yang menetapkan hukum syariat secara hitam-putih, tidak humanis, dan provokatif.[]

3 replies
  1. Dokter anak tangerang says:

    830020 532470When I originally commented I clicked the -Notify me when new feedback are added- checkbox and now every time a remark is added I get four emails with exactly the same comment. Is there any approach youll be able to remove me from that service? Thanks! 631135

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.