Diskusi Kitab Jihad Seri V: Apakah Hasan al-Banna Bisa Dituduh Secara Langsung Sebagai Penyulut Gerakan Radikalisme di Dunia Modern?

RABU, 31 Agustus 2016, Rumah KitaB bekerjasama dengan PSTTPG (Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global) FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kembali menggelar diskusi kitab jihad bertajuk “Majmû’ah al-Rasâ`il, Karya Hasan al-Banna, Pendiri Ikhwanul Muslimin”. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini: Ulil Abshar Abdalla (Direktur ICRP), Badrus Sholeh, Ph.D (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), dan Jamaluddin Mohammad (Peneliti Rumah KitaB). Diskusi ini dipandu oleh Roland Gunawan yang bertindak sebagai moderator.

Dalam sambutannya, Badrus Sholeh, Ph.D., yang mewakili FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyampaikan terima kasih kepada RK karena telah bekerjasama dengan PSTTPG FISIP UIN Jakarta dalam Diskusi Kitab Jihad. Ia mengatakan bahwa ada gerakan jihad di Indonesia yang bahkan bersifat transnasional yang mengejutkan terutama sejak berdirinya ISIS pada tahun 2013. Kemudian muncul kesadaran baru, apakah akar pemikiran gerakan radikal berbasis kekerasan itu baru saja muncul atau sudah lama di dalam dunia Islam. Dengan kajian kitab ini, kita menjadi tahu bahwa gerakan radikal sebenarnya sudah ada sejak lama. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna, yang semula merupakan gerakan pemberontakan dan anti penjajahan, tak dinyana belakangan memunculkan gerakan-gerakan radikal.
DSC_0048
Jamaluddin Mohammad—akrab disapa Gus Jamal—, sebagai pembicara pertama, dalam makalahnya mengatakan bahwa kitab “Majmû’ah al-Rasâ`il” karya Hasan al-Banna ini merupakan buku penting yang membicarakan banyak hal: Islam dan Politik, Negara Islam, Mayarakat Islam, Sistem Ekonomi Islam, Ikhwanul Muslimin, Sistem Tarbiyah dan Usroh, dll., termasuk di dalamnya membahas tentang jihad dan perjuangan dakwah membentuk sebuah masyarakat Islam.

Jihad, menurut Gus Jamal, menempati posisi penting dalam pemikiran Hasan al-Banna. Jihad diwajibkan bagi setiap muslim. Kewajiban jihad berlaku sepanjang masa. Melepaskan jihad dari Islam sama halnya mencabut ruh dari jasadnya. Terdapat beberapa tujuan jihad dalam pandangan Hasan al-Banna, yaitu: Pertama, membela diri dari serangan musuh. Kedua, menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan umat Muslim yang berada di tengah tengah orang kafir. Ketiga, memelihara dakwah Islam, agar merata pada seluruh umat Muslim. Keempat, memberikan sanksi kepada kelompok pemberontak.

Karena itu, kata Hasan al-Banna, melihat keadaan umat Muslim saat ini yang tertindas dan terjajah oleh bangsa lain, kehormatannya terampas, maka setiap muslim wajib membela diri dengan melakukan jihad. Pengaruhnya terhadap gerakan-gerakan jihad radikal kontemporer bisa langsung dilihat dari HAMAS yang merupakan salah satu faksi dari Ikhwanul Muslimin.

DSC_0053Pendapat lain disampaikan oleh Badrus Sholeh, Ph.D., bahwa Hasan al-Banna merupakan tokoh pergerakan yang mempunyai daya tarik bagi gerakan anti penjajahan di Mesir dan dunia Islam secara umum termasuk Indonesia.

Pada tahun 1948-1949, lanjutnya, ketika Belanda merusaha kembali menjajah Indonesia, umat Muslim Indonesia meminta dukungan dari Hasan al-Banna bagaimana melawan penjajahan. Kemudian Hasan al-Banna mengirim surat kepada para ulama di Indonesia bahwa melawan penjajah adalah wajib.

Berbeda dengan pendapat Gus Jamal dan Badrus Sholeh, Ulil Abshar Abdalla menyatakan bahwa agak sulit melihat korelasi pemikiran Hassan al-Banna dengan gerakan jihad yang muncul akhir-akhir ini. “Apakah pemikiran yang ditulis dari Sayyid Qutb, Syukri Mustafa, Abdullah Azam punya hubungan langsung dengan pemikiran Hassan al-Banna? Saya sendiri, meski tidak bisa memberikan jawaban pasti, cenderung mengatakan tidak. Hasan al-Banna tidak bisa dituduh secara langsung sebagai penyulut gerakan radikalisme di dunia modern,” kata Ulil.

Ulil menegaskan, kalau membaca seluruh tulisan Hasan al-Banna, tampak seperti tidak ada perbedaan cukup mendasar dengan para da’i pada umumnya. Hasan al-Banna merupakan da’i dan penggerak sosial seperti Kiyai Ahmad Dahlan dan Kiyai Hasyim Asy’ari. Ia tumbuh dari institusi Islam tradisional. Ia dekat dengan tradisi tarekat dan tradisi dzikir. Lingkungan keislamannya sangat tradisional, artinya tidak dekat dengan wahabi. Jihad tidak menduduki posisi penting dalam gagasan besarnya. Jadi, pertumbuhannya tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh Islam yang lain seperti Kiyai Ahmad Dahlan dan Kiyai Hasyim Asy’ari. Kiyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, Kiyai Hasyim Asy’ari mendirikan NU, dan Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin. Lantas mengapa ia begitu popular karena mendirikan sebuah gerakan yang dari gerakan itu lahir gerakan-gerakan lain yang bisa dianggap radikal?

Selain itu, menurut Ulil, pendekatan politik bukan pendekatan utama Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslim, tetapi lebih banyak pendekatan budaya/kultural, sama dengan NU dan Muhammadiyah. Salah satu elemen penting pendekatan Hasan al-Banna adalah menjadikan masjid sebagai pusat penyebaran dakwah. Fokus dakwahnya adalah anak-anak muda. Sebab kedudukan anak-anak muda sangat penting untuk masa depan Islam, dan mereka harus disadarkan untuk kembali kepada ajaran Islam. Pertanyaan besarnya: mengapa dari gerakan yang mirip NU dan Muhammadiyah itu lahir sebuah gerakan yang sangat politis? NU pernah mendirikan partai politik, tetapi kemudian meninggalkannya. Lalu kenapa Ikhwanul Muslimin, setelah meninggalnya Hasan al-Banna, tidak bisa meninggalkan panggung politik? Pendekatan politik bertanggung jawab terhadap faksi radikal di dalam Ikhwanul Muslimin.[RG]

DSC_0051

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.