Dalil Gus Ulil: Santri, antara “Riwayah” dan “Dirayah”

Oleh Ulil Abshar Abdalla
.
Secara umum, ada dua tugas keilmuan yang dipikul oleh seorang santri atau kaum terpelajar pada umumnya. Pertama adalah meriwayatkan ilmu kepada orang lain. Ini disebut dengan “riwayah”. Kedua, memahami isi pesan itu, dan disebut “dirayah”. Tugas pertama mirip pekerjaan seorang apoteker yang hanya bisa meracik obat; dia tak mampu, bahkan tak boleh menuliskan resep. Yang kedua mirip seorang dokter yang tahu apa khasiat obat, dan karena itu boleh menuliskan resep untuk seorang pasien.
.
Sekedar selingan: bagi mereka yang mempelajari filsafat Jerman, dua konsep mengenai “riwayah” dan “dirayah” ini bisa mengingatkan pada kontras antara konsep “erklären” (menerangkan saja) dan “verstehen” (menerangkan dan sekaligus memahami lebih dalam).
.
Tugas dasar seorang rawi atau penyampai riwayat sekedar menhantarkan “informasi” mengenai sesuatu yang berasal dari sumber tertentu kepada orang lain. Ia melakukan pekerjaan yang mirip dengan seorang tukang pos.
Seorang rawi tidak mesti memahami apa yang ia riwayatkan, sebagaimana seorang tukang pos tidak mengetahui isi surat yang ia bawa. Tugas dia hanya menyampaikan pesan saja. Meskipun jelas, akan lebih baik jika seorang rawi tidak sekedar meriwayatkan saja, melainkan juga memahami apa yang ia “hantarkan”.
.
Jika seorang rawi tak memahami dengan baik apa yang ia riwayatkan, ia sebetulnya tak melakukan kesalahan besar. Ia sudah melaksanakan kewajiban moralnya, yaitu “menghantarkan informasi”. Itulah sebabnya Kanjeng Nabi Muhammad saw., dalam sebuah hadis riwayat seorang sahabat terkenal asal Tha’if, Abu Bakrah (w. 51 H), menyamaikan sebuah pidatonya di saat Haji Wada’ yang salah satu isinya adalah sebagai berikut: “Orang-orang yang hadir di sini hendaknya menyampaikan (pesan dalam pidatoku hari ini) kepada mereka yang tak hadir.” (ُفليُبَلِّغ الشاهد الغائبَ).
.
Dengan kata lain, tugas para santri yang hadir di sebuah majlis pengajian adalah menjadi “tukang pos” yang menyampaikan pesan kebaikan yang ia dengar kepada santri-santri yang “mbambung” dan absen.
Tak terlalu jadi soal jika santri yang hadir itu agak kurang memahami sepenuhnya apa yang ia sampaikan dan riwayatkan; ia tetap harus menyampaikannya kepada orang lain. Sebab kadang-kadang orang lain itu malah lebih memahami pesan tersebut. Kanjeng Nabi menegaskan dalam pidato itu: “Banyak orang yang menerima pesan lebih memahaminya ketimbang orang yang menyampaikannya (َّفرُب مبلَّغ أوْعٰى من سامعٍ).
.
Tentu saja, akan lebih baik jika kedua “tugas keilmuan” itu, yaitu meriwayatkan dan memahami, dapat dikerjakan secara serentak oleh orang yang sama. Akan lebih afdol jika seorang santri dapat menunaikan tugas “riwayat” dan “dirayah” sekaligus.
.
Inilah yang dikatakan oleh Imam Ali al-Ridla (w. 203 H), imam ke-8 dalam kepercayaan Syiah Imamiyah dan cucu dari Imam Ja’far al-Shadiq (w. 148 H) dalam sebuah statemennya yang terkenal: Jadilah kalian orang-orang yang memiliki “dirayah” (memahami apa yang kalian riwayatkan), bukan sekedar “riwayah” ( كونوا دُراةً ، ولا تكونوا رُواةً).
Sebab, kata Imam al-Ridla, satu hadis yang dipahami maknanya jauh lebih baik dan bermutu ketimbang seribu riwayat yang tidak dipahami secara baik isinya (ُحديثٌ تعرفون فِقْهَه خيرٌ من ألفٍ تَروُوْنه). Informasi yang hanya sedikit tetapi benar-benar dikunyah dan dipahami, lebih baik ketimbang tumpukan informasi yang dibaca secara sekilas tanpa dipahami isinya.
.
Dengan kata lain, jangan memburu kuantitas, tetapi kehilangan kualitas.
Sekian.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.