Membaca Kembali Kisah Kaum Luth di dalam Al-Qur`an (2/2)

KALAU mengacu kepada teori “tartîb al-suwar hasba nuzûl al-âyât” (urutan surah berdasarkan turunnya ayat” di dalam kitab “Ahsan al-Qashash: Târîkh al-Islâm kamâ Warada min al-Mashdar, Ma’a Tartîb al-Suwar Hasba al-Nuzûl” karya Ibn Qarnas, seorang sejarawan Muslim), akan diketahui bahwa fâhisyah (perbuatan keji) yang membuat kaum Nabi Luth as. ditimpa azab dari Allah Swt. bukan karena mereka gay dan bukan semata-mata karena praktik liwâth (sodomi) yang mereka lakukan.

Pertama, di awal ayat yang menyebut kisah kaum Nabi Luth selalu disinggung mengenai pendustaan mereka terhadap ajaran Nabi Luth: “Kaum Luth pun telah mendustakan ancaman-ancaman [nabi mereka],” [QS. al-Qamar: 33]. Inilah di antara sebab yang membuat mereka layak mendapatkan azab sebagaimana kaum-kaum lainnya yang telah mendustakan para rasul. “Kaum Luth telah mendustakan rasulnya, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?” [QS. al-Syu’ara`: 160 – 161]; “Sebelum mereka itu, kaum Nuh, Ad dan Fir’aun yang mempunyai tentara yang banyak, juga telah mendustakan [rasul-rasul], dan [begitu juga] Tsamud, kaum Luth, dan penduduk Aikah. Mereka itulah golongan-golongan yang bersekutu [menentang rasul-rasul]. Mereka semua telah mendustakan rasul-rasul, maka pantas mereka merasakan azab-Ku,” [QS. Shad: 12 – 14]; “Sebelum mereka telah mendustakan [pula] kaum Nuh dan penduduk Rass dan Tsamud, dan kaum Ad, kaum Fir’aun dan kaum Luth, dan penduduk Aikah serta kaum Tubba’. Mereka semua telah mendustakan rasul-rasul maka sudah semestinyalah mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan,” [QS. Qaf: 12 – 14]; “Dan jika mereka (orang-orang musyrik) mendustakan engkau (Muhammad), begitu pulalah kaum-kaum yang sebelum mereka, kaum Nuh, Ad dan Tsamud [juga telah mendustakan rasul-rasul-Nya], dan [demikian juga] kaum Ibrahim dan kaum Luth, dan penduduk Madyan. Dan Musa [juga] telah didustakan, namun Aku beri tenggang waktu kepada orang-orang kafir, kemudian Aku siksa mereka, maka betapa hebatnya siksaan-Ku. Maka betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena penduduknya dalam keadaan zhalim, sehingga runtuh bangunan-bangunan dan [betapa banyak pula] sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi [tidak ada penghuninya],” [QS. al-Hajj: 42 – 45]. Surah al-Hajj merupakan salah satu surah yang diturunkan di Makkah (Sûrah Makkîyyah) dengan tujuan memberikan peringatan kepada kaum Quraisy yang mendustakan Rasulullah Saw.

Kedua, surah al-Qamar adalah surah pertama yang menyebutkan kisah kaum Luth, di dalamnya diterangkan mengenai pemaksaan dan upaya keras mereka untuk memperkosa tamu-tamu Nabi Luth: “Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya [agar menyerahkan] tamunya [kepada mereka], lalu kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal,” [QS. al-Qamar: 37 – 38]; “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, ia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan ia berkata, ‘Ini adalah hari yang Amat sulit.’ Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan [nama]ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki.’ Luth berkata, ‘Seandainya aku ada mempunyai kekuatan [untuk menolakmu] atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat [tentu aku lakukan],” [QS. Hud: 77 – 80]; “Dan datanglah penduduk kota itu [ke rumah Luth] dengan gembira [karena] kedatangan tamu itu. Ia (Luth) berkata, ‘Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka jangan kamu mempermalukan aku, dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina,” [QS. al-Hijr: 67 – 69]. Jadi, mereka datang ke rumah Nabi Luth untuk berbuat keburukan dan penghinaan.

Ketiga, sejumlah surah menggambarkan bahwa kaum Nabi Luth adalah kaum yang suka melakukan tindak kriminal/kejahatan/dosa (mujrimîn), “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth),” [QS. al-Dzariyat: 32]. Di antara kejahatan mereka adalah memaksa Nabi Luth untuk menyerahkan tamunya [QS. al-Qamar: 37]. Azab yang menimpa mereka karena saking banyaknya kejahatan yang mereka lakukan; “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Nabi Luth),” [QS. al-Hijr: 58]; “Dan Kami turunkan kepada mereka hujan [batu]; maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu,” [QS. al-A’raf; 84].

Keempat, kaum Nabi Luth melakukan fâhisyah (perbuatan keji) dengan penuh kesadaran dan atas pilihan mereka sendiri: “Dan [ingatlah kisah] Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Mengapa kamu mengerjakan fâhisyah padahal kamu melihat [perbuatan itu adalah dosa]?” [QS. al-Naml: 54]. Mereka pergi ke rumah Nabi Luth dengan niat melakukan kejahatan (jarîmah) dengan cara pemaksaan; “Dan [kami juga telah mengutus] Luth [kepada kaumnya]. [Ingatlah] tatkala ia berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun [di dunia ini] sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu [kepada mereka], bukan kepada perempuan, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas,” [QS. al-A’raf: 80 – 81]; “Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia, dan kamu tinggalkan perempuan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istri kamu? Kamu [memang] orang-orang yang melampaui batas,” [QS. al-Syu’ara`: 165 – 166]; “Dan [ingatlah] ketika Luth berkata kepada kaumnya, ‘Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun (merampok), dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu,” [QS. al-Ankabut: 28 – 29].

Kelima, kaum Nabi Luth melakukan fâhisyah secara terang-terangan: “Mengapa kamu mengerjakan fâhisyah (perbuatan keji) padahal kamu melihat [perbuatan itu adalah dosa]?” [QS. al-Naml: 54]. Mereka melakukan fâhisyah di hadapan sesama mereka sendiri di tempat-tempat pertemuan mereka; “Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun, dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu,” [QS. al-Ankabut: 29]; “Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji (al-sayyi`ât),” [QS. Hud: 78]. Mereka suka melakukan fâhisyah dengan terang-terangan di depan umum tanpa rasa malu.

Keenam, sejumlah ayat menjelaskan mengenai jenis fâhisyah yang dilakukan kaum Nabi Luth dengan pemaksaan dan mereka sudah terbiasa berbuat demikian: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk [memenuhi] syahwat[mu], bukan [mendatangi] perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui [akibat perbuatanmu],” [QS. al-Naml: 55]. Pemaksaan dan upaya pemerkosaan hanya mereka lakukan kepada kaum laki-laki dewasa, yaitu orang-orang yang berharta, para pekerja, dan orang-orang yang mencari harta dan rizki. Pemaksaan dan pemerkosaan tidak mereka lakukan kepada anak-anak kecil dan anak-anak muda; “Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwatmu [kepada mereka], bukan kepada perempuan, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas,” [QS. al-A’raf: 81]. Selain itu mereka juga suka merampok, “Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki dan menyamun (merampok),” [QS. al-Ankabut: 29]. Mereka merampok dan memperkosa para pengembara laki-laki; “Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia,” [QS. al-Syu’ara`: 165]. Jadi, mereka memperkosa sesama laki-laki, yaitu para pengembara dan orang-orang asing dari luar daerah. Mereka bahkan melarang Nabi Luth melindungi para pengembara dan orang-orang asing itu, “Mereka berkata, ‘Bukankah kami telah melarangmu dari [melindungi] manusia (yaitu para pengembara dan orang-orang asing dari luar daerah)?” [QS. al-Hijr: 70]. Mereka merampok dan memperkosa para pengembara dan para tamu dari luar daerah. Mereka tidak memaksa, merampok, dan memperkosa orang-orang di daerah mereka sendiri.

Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk [memenuhi] syahwat[mu], bukan [mendatangi] perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui [akibat perbuatanmu],” [QS. al-Naml: 55]. Di sini ada ketegasan kaitan “laki-laki” dan “syahwat”, artinya kaum Nabi Luth melampiaskan syahwat mereka kepada sesama laki-laki. Mengenai “syahwat” Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah riyâ` dan al-syahwah al-khafîyyah (syahwat tersembunyi).” Riyâ` adalah menampakkan dan memamerkan perbuatan, sedangkan al-syahwah al-khafîyyah—sebagaimana disebutkan di dalam kitab “Lisân al-‘Arab” karya Ibn Manzhur—adalah keinginan agar perbuatan yang dilakukan dapat dilihat oleh orang lain. Dengan pemaknaan seperti ini, maka yang dimaksud “syahwat” di dalam QS. al-A’raf: 81 dan QS. al-Naml: 55 adalah keinginan di dalam hati untuk berbangga-bangga di hadapan manusia dengan memamerkan perbuatan yang dilakukan. Artinya, mereka berbangga-bangga di hadapan manusia melampiaskan syahwat mereka kepada sesama laki-laki—bukan kepada perempuan—dengan tujuan menghina, merendahkan, dan mempermalukan, “Ia (Luth) berkata, ‘Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka jangan kamu mempermalukan aku,” [QS. al-Hijr: 68]. Pemerkosaan dan pelecehan seksual tidak terjadi di antara mereka sendiri, tetapi pemerkosaan dan pelecehan seksual yang mereka lakukan secara terang-terangan ditujukan kepada kaum laki-laki dari kalangan orang-orang kaya, para kafilah dagang, para pengembara, para pengunjung dan tamu dari luar daerah, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka jangan kamu mempermalukan aku,” [QS. al-Hijr: 68]. Semua jenis fâhisyah yang mereka lakukan adalah bentuk pembangkangan mereka terhadap Nabi Luth untuk merendahkan dan mempermalukannya.

Ketujuh, mereka mengancam mengusir Nabi Luth dan para pengikut setianya dari negerinya sendiri: “Mereka (kaum Nabi Luth) berkata, ‘Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang [menganggap dirinya] suci,” [QS. al-Naml: 56]; “Mereka (kaum Nabi Luth) berkata, ‘Usirlah mereka (Luth dan para pengikutnya) dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri,” [QS. al-A’raf: 82]; “Mereka menjawab, ‘Wahai Luth! Jika engkau tidak berhenti [melakukan nahi munkar kepada kami], engkau termasuk orang-orang yang terusir,” [QS. al-Syu’ara`: 167]. Jawaban Nabi Luth atas ancaman mereka adalah, “Ia (Luth) berkata, ‘Aku sungguh benci kepada perbuatanmu.’ [Luth berdoa], ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari perbuatan yang mereka kerjakan,” [QS. al-Syu’ara`: 168 – 169].” Ia menolak semua perbutan keji mereka, kemudian ia memohon kepada Allah Swt. untuk menyelamatkannya dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan dan praktik-praktik kotor mereka, karena rupanya mereka berusaha memaksanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sama seperti mereka. Maka Allah pun menyelamatkannya, “Maka Kami selamatkan ia dan keluarganya,” [QS. al-Naml: 57]; “Sesungguhnya kami akan menyelamatkanmu dan pengikut-pengikutmu,” [QS. al-Ankabut: 33]; “Kemudian Kami selamatkan ia dan pengikut-pengikutnya,” [QS. al-A’raf: 83]. Jadi, Allah menyelamatkannya dari perbuatan-perbuatan keji yang mereka paksakan kepadanya, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari perbuatan yang mereka kerjakan,” [QS. al-Syu’ara`: 169].

Kedelapan, mereka datang ke rumah Nabi Luth dengan gembira: “Dan datanglah penduduk kota itu [ke rumah Luth] dengan gembira [karena] kedatangan tamu itu,” [QS. al-Hijr: 67]. Ketika diberitahukan bahwa di rumah Nabi Luth terdapat beberapa orang pemuda yang ganteng—yang sebenarnya adalah para malaikat—, mereka datang ke rumah Nabi Luth sambil bergembira atau satu sama lain saling memberitahukan kabar gembira karena hendak berbuat keji terhadap para tamu itu. Beberapa ulama mengatakan bahwa ada keterlibatan istri Nabi Luth dalam hal ini, yaitu bahwa ia yang telah memberitahukan kepada para penduduk mengenai kehadiran para tamu dan memberikan dorongan untuk mendatangi rumah Nabi Luth, sehingga para penduduk itu pun mendatangi rumah Nabi Luth untuk memaksa dan memperkosa para tamu itu. Maka dikatakan bahwa istri Nabi Luth akan mendapatkan azab yang sama dengan azab yang menimpa kaumnya, “Para tamu (malaikat) itu berkata, ‘Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu,” [QS. Hud: 81]; “Maka Kami selamatkan ia dan keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan ia (istri Luth) termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan),” [QS. al-Naml: 57]. Istri Nabi Luth termasuk dalam golongan yang dibinasakan, ia ditimpa azab yang sama dengan azab yang menimpa kaum Nabi Luth yang lain karena keterlibatannya dalam perbuatan keji mereka. Istri Nabi Luth bukan lesbian, ia tidak pernah melakukan sihâq, tetapi ia diazab karena telah memberikan informasi mengenai keberadaan para tamu dan mendorong para penduduk mendatangi rumah Nabi Luth untuk memperkosa dan melecehkan para tamu itu.

Kesembilan, Nabi Luth menawarkan putri-putrinya kepada kaumnya untuk dinikahi: “Ia (Luth) berkata, ‘Mereka itulah putri-putri ku [nikahlah dengan mereka], jika kamu hendak berbuat,” [QS. al-Hijr: 71]; “Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan [nama]ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki,” [QS. Hud: 78 – 79]. Mereka tidak melakukan pelecehan seksual terhadap sesama laki-laki di daerah mereka sendiri, mereka bukan gay, karena masing-masing dari mereka sudah punya istri, tetapi mereka hanya ingin memaksa dan memperkosa orang-orang asing dengan tujuan merendahkan dan kesombongan. Mereka adalah golongan heteroseksual, mereka menikah dengan perempuan, dan mereka bisa menggauli istri-istri mereka kapan saja mereka mau, tetapi kadang-kadang mereka lebih memilih menggauli dan memperkosa sesama laki-laki dan mengabaikan istri-istri mereka. Dalam konteks ini, berarti mereka telah melakukan pengkhianatan terhadap ikatan suci pernikahan mereka, “Dan kamu tinggalkan perempuan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istri kamu? Kamu [memang] orang-orang yang melampaui batas,” [QS. al-Syu’ara`: 166].

Kesepuluh, Nabi Luth berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan fâhisyah [perbuatan keji] yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun [di dunia ini] sebelummu?” [QS. al-A’raf: 80]; “Kamu benar-benar melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu,” [QS. al-Ankabut: 29]. Tidak ada umat sebelum mereka yang pernah melakukan fâhisyah secara terang-terangan, yaitu pemaksaan dan pemerkosaan kolektif, melakukan pesta-pesta telanjang dan pelecehan seksual kepada sesama laki-laki di tempat-tempat pertemuan mereka.

Kesebelas, Nabi Luth menggambarkan kaumnya dengan beberapa gambaran, yaitu: (1). Kaum yang tidak bertakwa, “Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?” [QS. al-Syu’ara`: 161]; (2). Kaum yang bodoh alias tidak mengetahui akibat dari perbuatan-perbuatan mereka, “Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui [akibat perbuatanmu],” [QS. al-Naml: 55]; (3). Kaum yang melampaui batas, “Kamu ini adalah kaum yang melampaui batas,” [QS. al-A’raf: 81]. Semua ayat yang membahas tentang kisah Nabi Luth menggambarkan pembangkangan dan penentangan mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Luth.

Dengan melihat paparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa azab yang menimpa kaum Nabi Luth itu lebih karena mereka telah mendustakan nabi mereka, sebagaimana umat-umat sebelum mereka diazab karena sebab yang sama. Mereka melakukan fâhisyah yang tidak pernah dilakukan umat-umat lain sebelumnya. Makna fâhisyah di sini adalah melampiaskan syahwat secara membabi-buta dengan penuh kesombongan: mereka memaksa, menelanjangi, dan memperkosa secara terang-terangan laki-laki dari kalangan orang-orang berharta (kaya), para pengembara, dan para tamu yang datang berkunjung ke daerah mereka. Mereka merampok dan menangkap para pengembara, orang-orang asing, dan para tamu yang mengunjungi daerah mereka. Dan semua itu terjadi di siang hari di tempat-tempat pertemuan mereka, sehingga mereka kerap mengabaikan istri-istri mereka yang terikat dalam pernikahan yang sah dan suci. Mereka tidak bisa disebut gay hanya karena mereka menggauli sesama laki-laki. Mereka menentang Nabi Luth yang berusaha melindungi para pengembara dan orang-orang asing dari kejahatan mereka. Mereka bahkan mengancam mengusir Nabi Luth dan para pengikut setianya dari negerinya sendiri jika tidak mengikuti mereka dan melakukan perbuatan-perbuatan yang sama seperti yang mereka lakukan. Mereka mendatangi rumah Nabi Luth ketika tahu bahwa di sana ada para tamu dan berusaha memperkosa para tamu itu.

Semua itu adalah perbuatan-perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat-umat selain mereka. Tetapi dalam ayat-ayat tersebut sama sekali tidak ada pembahasan mengenai gay sebagai orientasi seksual. Dan seandainya pun mereka melakukan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada perempuan, bukan kepada laki-laki, mereka juga akan diazab. Karena pemerkosaan dan pelecehan seksual termasuk upaya pengrusakan di muka bumi di mana pelakunya layak mendapatkan hukuman seberat-beratnya. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu [sebagai] suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar,” [QS. al-Ma`idah: 33].[]

Merebut Tafsir: Memahami Pengaduan Kekerasan Seksual (2/2)

Oleh: Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB

 

DALAM bagian satu dari tulisan saya tentang “Pengaduan Kekerasan Seksual” (Kompas, 26 Agustus/MT 27 Agustus 2022), dikemukakan argumen bahwa kekerasan seksual adalah soal relasi gender bukan soal tubuh/seks.

Artinya ini bukan soal yang satu punya alat kelamin jantan dan yang lain punya alat kelamin betina. Ini adalah interpretasi budaya atas perbedaan kelamin yang dimaknai menjadi perbedaan kuasa: kuat-lemah, aktif-pasif, pemimpin-dipimpin, berkuasa-dikuasai, rasional-irasional, dan seterusnya.

Dalam makna itu, maka logikanya kekerasan seksual hanya mungkin terjadi karena ada relasi kuasa timpang di antara dua pihak; yang satu punya kuasa lebih dari sisi sosial, ekonomi, jabatan maupun pengaruh, yang lain sebaliknya.

Karenanya penanganan pengaduan kekerasan seksual harus diiringi pemeriksaan secara saksama tentang seberapa timpang relasi kuasa di antara dua pihak itu. Semakin timpang relas di antara keduanya semakin kecil kemungkinan terjadi kekerasan oleh pihak yang dilemahkan. Tapi apakah tidak mungkin terjadi yang sebaliknya?

Tulisan ini mengurai soal kemungkinan dan ketidak-mungkinanya dengan tetap menggunakan teori gender tentang analisis kuasa. Kekerasan seksual bukan mustahil terjadi dalam situasi yang sebaliknya: pihak yang dianggap lemah melakukan kekerasan kepada yang kuat.

Dalam sejumlah kasus pembalikan situasi itu dimungkinkan ketika setting power baik mikro maupun makro di antara dua pihak mengalami perubahan dahsyat. Dalam situasi itu, mereka yang semula dianggap kuat bisa kehilangan seluruh kekuatannya, misalnya akibat turbulensi politik baik karena kerusuhan, perang atau bencana yang tak terkendali.

Basis kekerasan seksual adalah kehendak untuk menguasai korban dengan mengoperasionalkan sebesar-besarnya power yang dimiliki atau yang sedang dipertarungkan.

Ini artinya, jikapun terjadi dalam relasi terbalik dari posisi timpang itu di mana yang lemah melakukan kekerasan kepada yang kuat, kita dapat melihatnya dalam dua setting yang berbeda.

Di kasus kekerasan individual hal itu biasanya terjadi karena pelaku tidak benar-benar kenal dan tidak mengetahui posisi sosial korbannya. Dalam situasi itu, power yang digunakan adalah kekuatan yang paling primitif, yaitu kekuatan fisik dan ancaman penghilangan nyawa. Ini misalnya terjadi dalam kekerasan perkosaan diiringi tindakan kriminal dan pembunuhan oleh pelaku yang tidak mengenali korbannya.

Dalam seeting yang kedua, sejumah referensi yang saya baca menunjukkan bahwa jungkir-baliknya reasi kuasa itu biasanya terjadi dalam peristiwa konfik yang tak terkendali. Dalam situasi serupa itu, hubungan kuasa antara pelaku dan korban menjadi kacau atau minimal status quo. Mereka yang selama itu dianggap lebih kuat bisa seketika kehilangan kuasanya. Misalnya dalam situasi konflik etnis/suku/ras/agama atau konflik lain yang berhadap-hadapan secara masif atau dalam kerusuhan.

Dalam situasi serupa itu pembalikan relasi power bisa dimungkinkan dan mendorong tindakan kekerasan oleh pihak yang selama ini dianggap pihak yang lemah karena kekerasan seksual merupakan cara efektif untuk menunjukkan pengambil-alihan power itu.

Karenannya ketika salah satu pihak yang semula dianggap rendah/lemah bisa memiliki kuasa lebih, secara teori mereka akan sanggup melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual sebab posisinya telah terbalik. Namun ciri dari model kekerasan serupa itu biasanya dilakukan secara bergerombol sebagai bentuk penyerangan massal. Sebab tujuannya bukan untuk pelampiasan birahi melainkan untuk penaklukan.

Uraian ini sekali lagi menjelaskan bahwa dalam situasi apapun kekerasan seksual senantiasa memainkan relasi kuasa di ranah yang luas sekali. Namun penjungkirbalikan keadaan di mana pihak yang lemah sanggup melakukan kekerasan hanya mungkin terjadi dalam setting relasi makro yang tidak stabil dan kacau tanpa kendali.

Uraian ini juga menjelaskan bahwa relasi kuasa adalah bentukan keadaan dan tidak selamanya ajek dan stabil. Dan satu hal yang patut dicatat, kekerasan seksual adalah sebuah cara yang paling brutal yang jika tidak dianalisis secara tepat dapat tersesat ke dalam argumen maskulin patriarkis.

Argumen dimaksud adalah menganggap wajar tindakan kekerasan seksual kepada perempuan sebagai cara untuk menaklukkan lawan, atau pembalasan atas pelecehan/kekerasan seksual bertujuan untuk menjaga martabat dan harga diri. Ketika analisisnya terjebak ke dalam argumen seperti itu, maka kita telah kehilangan esensi dari pemahaman tentang kekerasan berbasis gender.

Jadi jika hipotesis ini disempitkan kepada kasus CP, apakah J tidak kenal CP? Atau apakah pada saat kejadian, sedang berangsung penjungkirbalikan power sehingga J sanggup melakukan tindakan kekerasas seksual kepada orang yang dianggapnya ibu atau majikannya sendiri?[]

 

30 Agustus 2022

Membaca Kembali Kisah Kaum Luth di dalam Al-Qur`an (1/2)

NABI Luth ibn Harran adalah keponakan Nabi Ibrahim. Ia lahir di Irak bagian barat dan masih dalam wilayah Basrah, tepatnya di Desa Baabal. Setelah ayahnya meninggal, ia bersama pamannya, Ibrahim, pergi ke sebuah tempat yang diapit dua sungai bernama Qawra atau Jazirah Ibn Umar yang dikelilingi sungai Tigris. Kemudian pindah ke Kan’an, Suriah, hingga menetap di Yordania bagian Timur dekat Laut Mati di sebuah tempat bernama Sodom. Hingga hari ini sejahrawan tak pernah tahu persisi di mana letak desa tersebut, karena minimnya bukti-bukti sejarah.[1].

Kisah Nabi Luth berbincang-bincang dengan kaumnya tercatat di dalam al-Qur`an. Allah Swt. berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِين. أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِين. قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ. وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ. قَالَ إِنَّ فِيهَا لُوطًا قَالُوا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَنْ فِيهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ. وَلَمَّا أَنْ جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالُوا لَا تَخَفْ وَلَا تَحْزَنْ إِنَّا مُنَجُّوكَ وَأَهْلَكَ إِلَّا امْرَأَتَكَ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ. إِنَّا مُنْزِلُونَ عَلَى أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Dan [ingatlah] ketika Luth berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang teramat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki (sodomi), menyamun (begal jalan), dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Datangkanlah kepada kamu azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.’ Luth berdoa, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku [dengan menimpakan azab] atas kaum yang berbuat kerusakan itu.’ Dan tatkala utusan kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) itu; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim. Ibrahim berkata, ‘Sesunggunya di kota itu ada Luth.’ Para malaikat berkata, ‘Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkannya dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya. Ia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan tatkala dating utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, ia merasa susah karena [kedatangan] mereka, dan [merasa] tidak punya kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu takut dan jangan [pula] susah. Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu, [karena] ia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).’ Sesungguhnya kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik,” [QS. al-Ankabut: 28 – 34].

Nabi Luth diutus untuk membenahi moralitas penduduk Sodom. Selain homoseksual, mereka suka merampok dan berbuat kemungkaran sebagaimana yang tercatat dalam QS. al-Ankabut: 28 – 34, “Mengapa kalian suka berbuat keji (fâhisyah), perbuatan yang tak pernah dilakukan orang-orang sebelum kamu?” tanya Nabi Luth pada penduduk Sodom. Sebagian mufassir (ulama tafsir) menafsiri “fâhisyah” dalam ayat ini sebagai perbuatan sodomi,[2] sebagian lagi menafsirkan sebagai adbâr al-rijâl (anus laki-laki).[3] Ini dipertegas ayat setelahnya, “Bukankah kalian mendatangi (menggauli, melampiaskan nafsu seksual) laki-laki, bukan perempuan?” Penggunaan kalimat tanya dalam ayat ini, menurut ahli tafsir, mengandung makna pengingkaran sekaligus celaan (al-inkâr wa al-tawbîkh).[4]

Penduduk Sodom merespon pertanyaan Nabi Luth dengan mengusirnya dari desa tersebut dan menantang agar dikirimkan azab Allah Swt. kepada mereka. Tak lama setelah pengusiran Nabi Luth beserta keluarga dan pengikutnya, al-Qur`an menceritakan bahwa Allah Swt. menghujani penduduk Sodom dengan batu.

Ibn Manzhur menjelaskan arti kata fâhisyah dari berbagai sumber dan digunakan di berbagai kondisi. Sebagian ahli bahasa Arab mengidentikkan kata fâhisyah dengan perbuatan cabul (seperti perzinaan dan sodomi); sebagian menggunakan untuk arti setiap perbuatan perempuan yang keluar rumah tanpa izin suami; sebagian menggunakan untuk arti segala perbuatan yang dapat melukai baik hati maupun fisik; sebagian menggunakan untuk arti segala perbuatan yang menjijikkan baik ucapan maupun tindakan.[5]

Menurut Imam Fakhruddin al-Razi dalam “al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb”, bahwa sodomi dianggap sebagai perbuatan keji diukur berdasarkan ukuran orang kebanyakan. “Secara akal sehat, kebanyakan orang pasti menolaknya,” kata al-Razi. Menurutnya, ada beberapa alasan kenapa orang menolak sodomi dan menganggapnya sebagai perbuatan keji.

Kebanyakan orang, kata al-Razi, mengharapkan anak dan keturunan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui hubungan badan antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, syahwat harus disalurkan pada tempat yang tepat. Syahwat (nafsu seksual) diciptakan bukan semata untuk senang-senang (rekreasi) tetapi memiliki tujuan mulia yaitu berketurunan (prokreasi). Jika syahwat digunakan hanya untuk senang-senang, maka tak ada bedanya dengan binatang.[6]

Senada dengan al-Razi, Musthafa al-Maraghi berpendapat bahwa kesalahan penduduk Sodom karena mereka hanya menuruti dan mengumbar syahwat (birahi) untuk kesenangan sesaat. Padahal, katanya, laki-laki menginginkan perempuan bukan semata karena dorongan birahi (desire), melainkan juga karena tujuan berketurunan, menjaga spesies manusia agar tidak punah. Inilah salah satu alasan kenapa perilaku seksual sejenis dilarang di dalam Islam.[7]

Dari kisah Nabi Luth ini para ulama mengambil sebuah kesimpulan, bahwa perilaku seksual sejenis dihukumi haram. Adapun hukumannya, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Malik harus dirajam (dilempari batu sampai mati), sama seperti yang diterima penduduk Sodom (hujan batu) (QS. Hud: 82). Sedangkan menurut Atha, al-Nakha’i dan Ibn Musayyab cukup dipenjara dan dimasukkan ke panti sosial (ta`dîb). Abu Hanifah memilih ta`zîr, sementara al-Syafi’i di-hadd sebagaimana hadd-nya pelaku zina. Hukuman paling berat adalah dibakar atau dilempar dari ketinggian. Yang berpendapat bahwa perilaku seksual sejenis tidak di-hadd atau dibunuh, mereka mengacu pada QS. al-Furqan: 68 – 70. Juga berpegang pada hadits Nabi Saw. yang menyatakan, “Tidak halal darah orang Muslim kecuali tiga hal: kufur, zina, atau membunuh.” Perilaku seksual sejenis tak termasuk dalam tiga hal tersebut.[8] Dan berbagai pendapat ulama yang lain yang sudah dijelaskan di atas.

Muhammad Asad menjelaskan penafsiran seputar kata ‘fâhisyah’, dengan mengatakan bahwa sebagian mufasir mengartikan kata fâhisyah yang di sini diterjemahkan menjadi immoral conduc atau perbuatan dursila dengan perzinaan atau persetubuhan di luar nikah dan, karena itu, berpendapat bahwa ayat ini telah di-nasakh (dibatalkan) dengan QS. al-Nur: 2, yang menetapkan cambuk seratus kali bagi masing-masing pelaku zina. Namun asumsi tak berdasar ini harus ditolak. Sebab, di samping tidak mungkin bagi kita untuk mengakui bahwa ada salah satu ayat al-Qur`an yang dibatalkan oleh ayat lain, ungkapan fâhisyah tidak dengan sendirinya mengandung arti persetubuhan di luar nikah (zina): kata ini menunjukkan setiap hal yang sangat tidak sopan, tidak pantas, tidak senonoh, cabul, atau menjijikkan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan sama sekali tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran seksual saja. Jika dibaca dalam konteks ini, dan bersama-sama dengan QS. al-Nur: 2, jelaslah bahwa ungkapan fâhisyah di sini menunjukkan perbuatan yang tidak bermoral (immoral, dursila), yang tidak mesti sama dengan zina (persetubuhan di luar nikah), sehingga dapat ditebus dengan taubat yang tulus (berbeda dengan perbuatan zina yang terbukti, yang dapat dikenai hukuman cambuk).[9]

Asad juga menyatakan, bahwa dalam setiap kasus tuduhan pelanggaran atau penyimpangan perilaku seksual al-Qur`an menyaratkan bukti langsung berupa empat orang saksi (padahal dalam setiap kasus hukum lainnya hanya dipersyaratkan dua orang saja) sebagai syarat mutlak untuk menjatuhkan hukuman.[10]

Selain persoalan sodomi, ada juga persoalan azab yang banyak dibincangkan oleh umat Muslim modern. Pertanyaannya adalah, apakah azab Tuhan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth semata-mata karena mereka pelaku sodomi? Atau azab Tuhan kepada mereka karena alasan-alasan lain yang paling mendasar selain sodomi?

Allah Swt. berbicara tentang azab-Nya yang ditimpakan bukan hanya kepada kaum Nabi Luth, tetapi juga pada kaum Nabi Nuh dan kaum nabi-nabi yang lain. Sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur`an tentang kisah kaum Nabi Nuh yang dihempas banjir bandang dan tsunami semesta yang membinasakan. Allah Saw. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kamunya, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sebahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya.’ Sesungguhnya [kalau kalian tidak menyembah Allah], aku tahut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). Pemuka-pemuka kaumnya berkata, ‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Nuh menjawab, ‘Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan kepada kalian amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepada kalian, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketauhui.’ Dan apakah kamu [tidak percaya] dan heran bahwa telah datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertakwa dan supaya kamu mendapat rahmat? Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta [mata hatinya],” [QS. al-A’raf: 59 – 64].

Allah Swt. menggambarkan kisah-kisah umat-umat para nabi terdahulu, yang bukan hanya enggan menerima seruan tauhid para nabi, tetapi juga mengingkari kenabian. Bahkan sebagian mereka membunuh para nabi yang menyeru agama tauhid. Mereka tetap berada dalam kekufuran, ditambah dengan perilaku-perilaku zhalim lainnya.

Nabi Nuh as. mengajak kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah Swt. Bukan semata-mata tidak menerima ajakan agama tauhid, lebih dari itu mereka menyesat-nyesatkan, menghina dan menistakan Nabi Nuh as. Akibatnya mereka ditenggelamkan oleh tsunami besar, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah.

Nabi Hud as. juga menyeru dan mengajak kaumnya pada agama tauhid yang sama. Mereka bukannya menerima ajakan Nabi Hud as., melainkan justru membodoh-bodohkan dan melecehkan nabi. Akibatnya Allah menghancurkan seluruh kaum Nabi Hud as., tanpa tersisa seorang pun. Kaum Nabi Shalih as. juga dihancurkan dengan gempa besar (al-rajfah), mereka mati di bawah reruntuhan bangunan-bangunan yang mereka dirikan. Kaum Nabi Syuaib as. juga dihancurkan dengan gempa besar, akibat kekufuran dan kezhaliman-kezhaliman yang lain.

Kaum Nabi Luth as. juga telah dihancurkan oleh Allah dengan hujan batu dan bumi yang mereka pijak terjungkir balik. Apakah hukuman itu hanya disebabkan perilaku liwâth (sodomi)? Ataukah juga disebabkan kekufuran yang mereka lakukan, sebagaimana umat-umat para nabi yang lain? Bagaimana seandainya kaum Nabi Luth as. hanya melakukan liwâth (sodomi), tetapi menerima seruan tauhid? Akankah mereka diazab seperti yang mereka alami?

Memang dalam ayat-ayat tersebut, al-Qur`an menyebut perilaku mereka dengan tiga ungkapan, yaitu fâhisyah, sayyi`ah, dan khabîtsah yang berakar pada satu arti yaitu sesuatu yang keji, kotor, dan menjijikkan. Dan atas perilaku itu mereka dinyatakan sebagai kaum mujrimûn (berdosa), ‘âdûn-musrifûn (melampaui batas), fâsiqûn (fasik), tajhalûn (bodoh), dan mufsidûn (berbuat kerusakan). Dan atas perilaku itu Allah Swt. menghukum mereka dengan beberapa jenis hukuman, yaitu suara menggelegar (shâ’iqah), hujan batu, dan terbaliknya bumi yang mereka pijak. Larangan disertai ancaman ini menegaskan bahwa al-nahyu (larangan) dalam konteks ini adalah li al-tahrîm (pengharaman).

Dalam beberapa tafsir, seperti di dalam tafsirnya al-Thabari, dinyatakan bahwa azab yang menimpa kaum Nabi Luth as. bukan semata-semata karena perilaku liwâth (sodomi) yang mereka lakukan, melainkan juga terutama akibat kemusyrikan dan pengingkaran kepada Tuhan yang mereka lakukan. Dugaan atau keyakinan bahwa kaum Nabi Luth diazab semata-mata karena perilaku seksual menyimpang adalah keyakinan yang kurang berdasar.

Azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth, menurut sebagian besar mufassir, disebabkan bukan karena faktor tunggal, tetapi banyak faktor. Di antaranya, selain mereka tak kunjung beriman, mereka juga melakukan pelecehan dan menantang dengan menekan Nabi Luth as. agar meminta kepada Allah Swt. agar menimpakan azab kepada mereka dengan segera. Permintaan azab ini sebagai bentuk perlawanan dan ketidakpercayaan akut mereka kepada kabar yang disampaikan Nabi Luth as. Di samping itu, mereka adalah orang-orang zhalim dan pelaku berbagai jenis kemaksiatan. Mengganggu para tamu—yang ternyata adalah para Malaikat—dan juga mengusir Nabi Luth beserta pengikutnya dari kota Sodom itu. Sehingga, bahkan istri Nabi Luth as. pun bernasib sama dengan istri Nabi Nuh as., yaitu tidak bisa diselamatkan dari azab Allah, karena ia tidak beriman pada apa yang telah disampaikan suaminya, yakni Nabi Luth as.[11]
_____________________________

[1]. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr (Juz VIII), Mesir: al-Manar, 1298, hal. 511
[2]. Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Murâh Labîdz-Tafsîr al-Nawawîy (Jilid II), Beirut: Dar al-Fikr, tt., hal. 156
[3]. Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan al-Syaikh Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsîr al-Jalâlayn (Jilid II), Surabaya: Nur al-Huda, tt., hal. 330
[4]. Muhammad Tahir ibn Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Vol. VIII), Tunisia: al-Dar al-Tunisia, 1984, hal. 231
[5]. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Jilid VII), Kairo: Dar al-Hadits, 2013, hal. 32
[6]. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb (Vol. XIV), Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 176
[7]. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghîy (Vol. VIII), Kairo: Maktabah Musthafa al-Bab al-Halabi, hal. 204
[8]. Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi, al-Ishâl bi al-Muhallâ bi al-Atsar (Vol. XII), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003, hal. 395
[9]. Muhammad Asad, The messege of the Qur’an: Tafsir al-Quran bagi Orang-Orang yang Berpikir, Bandung: Mizan, cet. I, 2017, hal. 128-129
[10]. Ibid., hal. 129
[11]. Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Murâh Labîdz-Tafsîr al-Nawawîy (Jilid II), Beirut: Dar al-Fikr, tt., hal. 156

Merebut Tafsir: Memahami Pengaduan Kekerasan Seksual (1/2)

Oleh: Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB

 

Menerima pengaduan jelas bukan berarti mengakui kebenarannya, melainkan menerima bahwa kekerasan itu terjadi berdasarkan persepsi korban. Setiap pengakuan korban harus segera diiringi pemeriksaan intensif atas peristiwa.

 

PENETAPAN PC sebagai tersangka dalam tragedi terbunuhnya Brigadir J menantang penjelasan soal kekerasan seksual berbasis aduan. Sebab, PC semula mendaku sebagai korban pelecehan, yang belakangan tak benar-benar terbukti.

Jadi, dapatkah dan bilakah lembaga seperti Women’s Crisis Center (WCC) atau P2TP2A, atau lembaga perlindungan sejenis, menerima dan menolak pengaduan pengakuan kekerasan seksual?

Tulisan ini menguraikan secara teori dan praktik soal penanganan kekerasan seksual berbasis aduan menurut disiplin ilmu jender dan kekerasan. Sebagai disclaimer, penjelasan ini terbatas pada cara melihat kekerasan dan menyikapi aduan korban dan bukan menyoal kasus pengaduan PC yang tampaknya berkelindan dengan banyak isu lain.

Hal pertama yang mesti dipahami adalah soal ”konsep kekerasan seksual”. Kekerasan seksual bukanlah tindakan yang hanya terkait dengan gangguan atas tubuh dan organ seksual seseorang, atau melulu soal pemaksaan hubungan seks. Kekerasan seksual adalah soal tindakan yang dirasakan dan dipahami korban sebagai pemaksaan kehendak yang dilakukan seseorang sebagai pelaku.

Kekerasan seksual bukanlah tindakan yang hanya terkait dengan gangguan atas tubuh dan organ seksual seseorang, atau melulu soal pemaksaan hubungan seks.

Jadi, basis pengaduan adanya kekerasan adalah ”kesadaran” yang dimiliki seseorang (yang kemudian disebut korban) bahwa pelaku telah memaksa dengan cara halus ataupun kasar dengan tujuan untuk menguasai, merendahkan, menghinakan, mempermalukan, memaksa, mengancam, atau menaklukkan seseorang melalui cara-cara yang menyasar kepada ketubuhan, organ seksual, serta penampilan seseorang.

Dalam makna itu, meski aduan bisa dilakukan oleh pihak lain, kehendak untuk menyampaikan aduan datang dari kesadaran dan kemauan korban.

Cakupan kekerasan seksual, karena itu, tidak hanya berupa gangguan fisik yang mengarah pada organ sensitif atau organ yang ditafsirkan sensitif bagi seseorang, tetapi mencakup ucapan atau tindakan yang dirasakan korban sebagai tindakan yang merendahkan, seperti siulan dan tatapan atau ungkapan yang mengarah pada pemaknaan merendahkan dan menguasai korban.

 

Cakupan Kekerasan

Kekerasan bukan melulu dan terfokus pada gangguan atas tubuh fisik/ragawi atau alat kelamin seseorang, melainkan mencakup wilayah tindakan yang luas yang dirasakan korban sebagai gangguan pribadi. Baik fisik maupun non fisik yang mengarah pada perendahan, penghinaan, yang menyasar kepada tubuh, organ seks (biologis), dan seksualitas (interpretasi kultural tentang seks).

Kedua, kekerasan seksual sebagaimana kekerasan dengan basis lainnya hanya mungkin terjadi dalam sebuah imajinasi adanya relasi timpang, baik secara jender, sosial, politik, maupun ekonomi, antara pelaku dan korban.

Dalam relasi serupa itu, pihak yang satu (pelaku) dianggap memiliki power, baik fisik, jabatan, ekonomi, maupun bentuk kuasa lain yang lebih besar daripada korban. Sederhananya, itu seperti kekerasan seksual yang dialami murid oleh gurunya, anak oleh bapak/paman/kakeknya, buruh oleh majikannya, bawahan oleh atasannya, dan seterusnya.

Jadi, ketika PC mengaku mengalami kekerasan oleh J, hal pertama yang harus diperiksa oleh pihak penerima aduan adalah seberapa timpang hubungan korban dan pelaku? Begitu ”menerima aduan”, pihak lembaga yang menerima pengaduan harus segera ”memeriksa” soal hubungan kuasa dan jender antara orang yang disangkakan pelaku dan korbannya. Ketersediaan informasi ini tetap menjadi prasyarat (misal melalui wawancara mendalam kepada orang-orang di sekitar pelaku dan korban) kendati pelaku kabur atau tewas.

Hal itu guna membuktikan kebenaran aduan korban dan selanjutnya memberikan perlindungan dan bantuan yang semestinya jika kekerasan itu benar-benar terjadi, seperti kemungkinan mengalami trauma, kehamilan, atau sakit fisik dan psikis yang dirasakan korban.

Ketiga, soal pengaduan. Ada sebuah prinsip yang telah teruji dan menjadi satu langkah penting dalam menangani kekerasan seksual berbasis aduan. Prinsip itu adalah bahwa ”ketika korban mengakui telah mengalami kekerasan seksual, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menerima pengaduan itu sebagai kebenaran sampai terbukti hal yang sebaliknya”.

Prinsip itu dibangun melalui pengalaman panjang dan menjadi pendekatan di banyak negara yang secara profesional menangani kekerasan seksual. Prinsip itu lahir dari pengalaman yang menimbang aspek-aspek jender, seperti nilai-nilai, nama baik, rasa malu, yang menyebabkan hampir mustahil seseorang akan mengaku-aku mengalami kekerasan seksual. Prinsip kemustahilan itu, karenanya, harus diiringi dengan prasyarat bahwa dalam penanganan kekerasan berbasis aduan, korban harus bersedia menjelaskan kronologi kejadian betapa pun sulitnya.

Jika belakangan, setelah melalui pemeriksaan saksama, ternyata tak terbukti ada kekerasan seksual, batas kebenaran atas pengakuan kekerasan itu gugur di titik ini. Sebaliknya, batas ”kebenaran” pengakuan korban akan tetap berlaku sampai fact finding menemukan kebenaran yang sebaiknya. Ini berarti sepanjang belum ada pemeriksaan, pengakuan korban akan tetap dipegang sebagai kebenaran.

Tentu saja kesediaan menjelaskan kronologi itu harus dilandasi pada penghormatan atas harga diri korban. Misalnya, bagaimana kalau korban tidak mau bercerita? Dalam situasi itu berlaku hukum ”diamnya korban merupakan bunyinya”. Di sinilah pengalaman konselor, psikolog, dan pendamping korban menjadi instrumen paling penting dan menentukan kebenaran aduan korban.

Mereka akan tahu bedanya ”air mata duka” dan ”air mata buaya”. Untuk itu, membuktikan kebenaran aduan itu harus secara profesional, seperti melihat tanda-tanda fisik, seperti pemeriksaan forensik sperma, jenis perlukaan, tempat kejadian, dan tanda-tanda lain sebagai bukti terjadi kekerasan.

 

Konsistensi Cerita

Dalam pemeriksaan dan pengumpulan fakta itu, cerita seseorang yang mengaku sebagai korban harus dapat menggambarkan pengalaman korban sampai yang bersangkutan mampu menyimpulkan bahwa dirinya adalah korban. Konsistensi cerita korban akan menjadi salah satu dasar pembuktian.

Dalam relasi yang abu-abu, seperti antara suami dan istri, kesimpulan bahwa korban telah mengalami kekerasan dapat berupa penjelasan bahwa korban telah menolak, melawan, dengan kata-kata atau tindakan yang intinya menyatakan bahwa tindakan pelaku telah ditolak oleh korban.

Tercakup dalam pemeriksaan tentang seberapa jenjang relasi kuasa antara pelaku dan korban. Menerima pengaduan jelas bukan berarti mengakui kebenarannya, melainkan menerima bahwa kekerasan itu terjadi berdasarkan persepsi korban. Itu berarti, dalam prinsip penanganan kekerasan seksual berbasis aduan, setiap pengakuan seseorang menjadi korban harus segera diiringi pemeriksaan intensif tentang kebenaran peristiwa itu.

Tercakup dalam pemeriksaan tentang seberapa jenjang relasi kuasa antara pelaku dan korban. Prasyarat-prasyarat ini menunjukkan bahwa penanganan kekerasan seksual di lembaga-lembaga yang menangani kekerasan seksual membutuhkan tidak hanya empati, tetapi juga kecakapan profesional, alat-alat pemeriksaan fisik yang memadai, dan sikap independen lembaga. Dengan demikian, lembaga pengaduan tak menjadi alat legitimasi untuk membenarkan atau menolak pengaduan kekerasan seksual.[]

Hukum Aborsi dalam Islam *)

KEPUTUSAN untuk menghidupkan (hamil) atau tidak (mematikan) merupakan urusan Allah. Kehamilan yang tidak dikehendaki karena berbagai faktor mungkin saja terjadi, bahkan dewasa ini sering terjadi. Dalam keadaan demikian, dapatkah seorang perempuan menggugurkan kandungannya?

Terhadap persoalan ini, fikih sesungguhnya menawarkan sejumlah pilihan. Pertama, para ulama fikih sepakat bahwa aborsi tidak boleh dilakukan sesudah janin berusia 120 hari (empat bulan). Kandungan berusia 120 hari dalam pandangan mereka sudah merupakan wujud manusia hidup dengan segala kelengkapannya, karena itu ia adalah benar-benar manusia. Dalam banyak pandangan, pengguguran kandungan pada usia janin ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai aborsi tetapi pembunuhan.

Sementara aborsi sebelum usia tersebut, pandangan para ulama cukup beragam. Para ulama seluruhnya mendasarkan pandangannya terkait hal ini pada ayat al-Qur`an,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ. ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati [berasal] dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani [yang disimpan] dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci lah Allah, Pencipta yang Paling Baik,” [QS. al-Mukminun: 12 – 14].

 

Ayat ini menyebutkan fase-fase pembentukan manusia dalam tiga kategori: nuthfah (sel sperma, zygote), ‘alaqah (segumpal darah), dan mudhghah (segumpal daging). Pendirian paling longgar diberikan al-Haskafi, seorang ulama bermazhab Hanafi, yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum usia kandungan 120 hari, dengan atau tanpa adanya alasan. Al-Karabisi dari mazhab Syafi’i, seperti dikutip oleh al-Ramli di dalam kitab “Nihâyah al-Muhtâj”, hanya membenarkan aborsi ketika masih berupa nuthfah. Pendirian paling ketat dikemukakan al-Ghazali dari mazhab Syafi’i. Ia mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas mazhab Maliki, Ibn Hazm al-Zhahiri dan sebagian mazhab Syi’ah.

Sepanjang yang dapat ditelusuri dari literatur fikih, para ulama telah mencapai kata sepakat terkait isu aborsi (isqâth al-haml dan ijhâdh, menurut bahasa fikih). Kesepakatan itu menyangkut kebolehan melakukan aborsi tanpa batas umur janin. Tentunya, kebolehan aborsi ini dilakukan dengan pertimbangan medis untuk keselamatan sang ibu. Jika keberadaan bayi dalam kandungan dapat membahayakan dan mengancam hidup sang ibu, maka pilihan aborsi dapat dilakukan. Pandangan ini memperlihatkan bahwa pertimbangan keselamatan ibu lebih diutamakan ketimbang kematian janin.

Pandangan para ahli fikih tentang motif aborsi di atas tampaknya masih terbatas pada indikasi medis dan kesehatan belaka. Motif-motif lain seperti indikasi sosial, ekonomi, politik dan psikologi belum mendapat uraian panjang lebar. Tetapi sungguh menarik ketika kita mengamati bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi membolehkan aborsi, meskipun bukan karena suatu alasan (lâ ‘udzr aw bi ghayr udzr).

Mengenai masalah aborsi, yang perlu dilihat adalah dalam kerangka apa aborsi itu dilakukan. Menurut fatwa MUI, aborsi itu bisa dilakukan dengan dua alasan: pertama, alasan medis. Misalnya, seorang perempuan boleh melakukan aborsi kalau menurut dokter jiwanya terancam karena kehamilannya. Kedua, karena perkosaan atau kehamilan yang tak diinginkan. Artinya, seorang anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan boleh mengakses layanan aborsi. Tetapi untuk para perempuan remaja yang tidak mengalami hal-hal seperti itu, maka harus dibatasi dalam mengakses layanan aborsi.

Pada awalnya, pijakan fatwa MUI itu adalah bahwa “para remaja tidak boleh mengakses layanan aborsi tanpa syarat”, karena bisa membuka ruang untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi kalau anak perempuan remaja yang hamil, sementara ia mempunyai cita-cita untuk melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang paling tinggi, apakah boleh ia mengakses layanan aborsi? Menjawab ini, daripada ia melakukan aborsi secara tidak aman, sebaiknya ia diberi layanan terbaik agar aborsi yang dilakukannya tidak membahayakan jiwanya.

Oleh karena itu, ke depan negara perlu didorong untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat. Karena pada dasarnya sudah ada fatwa ulama yang membolehkan aborsi untuk alasan-alasan yang tadi disebutkan. Tetapi di lapangan kita sering mendengar bahwa orang yang melakukan aborsi dipidana. Inilah yang membuat para dokter dan bidan diliputi kekhawatiran. Seharusnya, ketika terdapat fatwa yang memberikan ruang—bahkan kemarin ada UU Kesehatan, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai UU Aborsi karena membuka ruang untuk praktik aborsi—, perlu juga adanya peraturan dari Menteri Kesehatan yang memberikan akses layanan yang aman dan mudah bagi para perempuan yang memenuhi syarat untuk melakukan aborsi. Sekarang aborsi dibolehkan, tetap tidak ada wadahnya, mau ke mana mereka? Ini murni kesalahan negara, karena di dalam kebijakannya masih mengkriminalisasi praktik aborsi. Tidak ada singkronisasi antara fatwa ulama dan kebijakan pemerintah. Kalau memungkinkan, semua pihak harus mendorong dilakukannya Judicial Review terhadap undang-undang pidana yang mengkriminalisasi para pelaku aborsi.

Jadi, pada hakikatnya akses layanan itu tergantung prasyaratnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa aborsi itu dibolehkan dengan syarat: (1). Alasan medis; (2). Kehamilan yang tidak diinginkan, atau akibat perkosaan, dan; (3). Dilakukan secara aman. Di sini yang dimaksud aman yang menentukan adalah medis.

Kajian di dalam fikih sangat tekstual sehingga banyak yang bertentangan dengan medis. Misalnya, secara medis dikatakan bahwa batas aman dilakukannya aborsi adalah usia kandungan delapan (8) minggu—artinya di bawah batas itu aman, sementara melebihi batas itu sudah tidak aman. Berbeda dengan fikih yang menetapkan empat (4) bulan sepuluh (10) hari karena standar ditiupkannya ruh ke dalam jasad. Pandangan fikih ini harus disesuaikan dengan pandangan medis, karena batasan empat (4) bulan sepuluh (10) hari itu tidak bersifat qath’îy (tetap/pasti), sehingga pertimbangannya bukan pada argumen dalil, tetapi pada kemaslahatan pelaku aborsi. Kalau kemaslahatan aborsi ada pada batas delapan (8) minggu, maka boleh dilakukan. Dan kalau melebihi batas itu ternyata tidak aman dan mengandung mafsadah, maka tidak usah dilakukan.

Penelitian Rumah KitaB di sejumlah daerah menemukan banyak sekali perkawinan anak. Bahkan terdapat anak perempuan berusia 10 tahun yang sudah dikawinkan oleh orangtuanya dengan laki-laki yang sebaya atau bahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya. Tentu saja ini melanggar Undang-Undang Perkawinan. Jika ia dipaksa melakukan hubungan badan oleh pasangannya sehingga di usia 11 tahun ia hamil dan ia tidak menginginkan kehamilan itu, secara fikih—hanya saja undang-undang negara belum ada—ia boleh melakukan aborsi. Di dalam fikih aturannya jelas, selama usia kandungannya belum sampai empat (4) bulan sepuluh (10) hari, maka aborsi boleh dilakukan. Tetapi ketentuan fikih ini terlalu jauh, yaitu bahwa ketika usia kandungan di bawah delapan (8) minggu, maka melakukan aborsi secara medis aman dan secara fikih dibolehkan.

Dengan demikian, jika ada perempuan usia 11 tahun perlu melakukan aborsi, karena kalau dipaksa untuk mempertahankan kandungannya akan menimbulkan berbahaya—bukan hanya pada anak dan ibunya, tetapi juga masa depan keduanya—, maka semestinya akses layanan untuk aborsi itu dibuka. Hanya saja, sebaiknya akses tersebut diberikan bagi perempuan yang sudah hamil, bukan bagi yang belum hamil.

Terdapat sebuah cerita klasik: dikisahkan bahwa pada suatu hari Ibn Abbas berada di majlisnya mengajar murid-muridnya. Tiba-tiba datang seseorang laki-laki yang meminta fatwa kepadanya, “Bagaimana hukum bagi pembunuh, apakah ada taubatnya atau tidak?” Ibu Abbas menjawab, “Untuk pembunuh tidak ada taubat.” Laki-laki itu pun pergi meninggalkan majlis Ibn Abbas. Salah seorang muridnya bertanya, “Wahai Syaikh, bukankah sebelumnya Anda mengatakan bahwa semua pendosa, termasuk pembunuh, itu ada taubatnya kecuali syirik.” Ibn Abbas berkata, “Fatwa saya untuk laki-laki tadi adalah fatwa untuk orang yang akan membunuh, sementara fatwa saya yang sebelumnya adalah untuk orang yang sudah membunuh.” Muridnya bertanya lagi, “Bagaimana Anda tahu bahwa laki-laki tadi akan membunuh?” Ibn Abbas berkata, “Kamu ikuti saja laki-laki itu.” Si murid kemudian mengikuti laki-laki itu, dan ternyata betul laki-laki itu akan membunuh seseorang. Dan karena fatwa Ibn Abbas ia tidak jadi membunuh.[RG]

 

*) Tulisan ini disarikan dari diskusi Bahtsul Masail mengenai “Hukum Aborsi Menurut Islam”, yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) pada 18 Juni 2022, di Aula Wahid Institute, Matraman. Hadir dalam kesempatan ini sejumlah kiyai dan nyai muda yang merupakan para pengkaji kitab kuning yang telah memiliki perspektif hak asasi manusia, mereka juga aktif dalam lembaga-lembaga pengkajian kitab kuning seperti LBM PBNU dan LBM PWNU DKI Jakarta, Jaringan KUPI, dan Jaringan Pengasuh Pesantren. Sebagian lainnya merupakan para peneliti literatur keislaman dari perguruan tinggi.

Mendialogkan Hukum Internasional dan Hukum Islam Terkait Hak-hak Anak

RABU, 10 Agustus 2022 bertempat di Auditorium Utama UIN Mataram, Rumah KitaB bersama dengan PSGA UIN Mataram atas dukungan Oslo Coalition mengadakan diskusi buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Quran, Hadis, dan Konvensi Internasional Untuk Perbaikan Hak-Hak Anak”.

Acara ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang yang terdiri dari dosen, mahasiswa, NGO, dan pemerintah. Hadir sebagai narasumber adalah Lies Marcoes (Penulis), Faqihuddin Abdul Kodir (Penulis), sementara hadir sebagai penanggap adalah Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional), dan Atun Wardatun (Ketua LP2M UIN Mataram), dan dipandu oleh Chae Khairil Anwar (Dosen UIN Mataram).

Acara dibuka oleh Wakil Rektor 1 UIN Mataram, Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag. Sebelum membuka acara, Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag. menyampaikan sambutan pengantar. Dalam sambutannya, beliau mengatakan bahwa buku yang diskusikan pada pagi ini termasuk buku yang langka. Sebab, menurutnya, meski isu anak banyak dibahas di dalam hadis dan al-Qur`an, tetapi sangat jarang diskusikan dengan tekun. Oleh karenanya, buku “Fikih Hak Anak” menjadi penting untuk diskusikan.

Pembicara pertama dan kedua diisi oleh penulis buku, yaitu Lies Marcoes dan Faqihuddin Abdul Kodir. Lies memulai paparannya dengan menjelaskan mengapa isu hak anak penting untuk dibahas, diskusikan, dan ditulis. Salah satu sebabnya adalah, meski jumlah anak cukup banyak, tetapi kebijakan atau hak yang diberikan kepada anak masih bias, terutama bias orang dewasa. Belum lagi, kata, Lies, ada pertentangan yang cukup curam mengenai hak anak di dalam teks keagamaan (al-Qur`an dan Hadis) dan Konvensi Internasional.

Sementara Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa buku ini menawarkan gagasan untuk menyelesaikan pertentangan tersebut, di antaranya dengan menggunakan maqâshid al-syarî’ah. Dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah, menurut Faqih, teks-teks keagamaan tidak lagi hanya dibaca secara tekstual, tetapi teks-teks agama bisa dibaca secara kontekstual. Faqih kemudian mengambil misal tentang anak yatim. Jika biasanya anak yatim diartikan sebagai seseorang yang tak memiliki ayah, maka dengan pembacaan maqâshid al-syarî’ah, yatim adalah sesiapa saja yang tidak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak dari walinya, meskipun ia memiliki ayah dan ibu.

Selepas dua penulis menyampaikan paparannya, dua penanggap memberikan tanggapan. Pertama, Usman Hamid yang mengatakan bahwa buku yang ditulis oleh Lies Marcoes dan Faqihuddin Abdul Kodir ini memperlihatkan bahwa hukum internasional dan hukum Islam bisa didialogkan atas bantuan maqâshid al-syarî’ah. Bahkan Usman mengatakan bahwa tak sedikit konvensi internasional yang diadopsi dari teks-teks dan khasanah keislaman. Jadi, menurut Usman, orang yang menolak konvensi internasional karena dianggap tidak Islami adalah orang yang belum banyak membaca. Karena pada faktanya hukum internasional juga mengadopsi dari agama (Islam). Terakhir, Atun Wardatun mengatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” merupakan salah satu sumbangan penting dalam kajian anak.

Seminar dan diskusi yang berlangsung selama tiga setengah jam ini mendapatkan respons yang hangat dari peserta. Hal itu terlihat tanggapan yang diberikan saat diskusi berlangsung, setidaknya lebih dari 8 orang yang mengangkat tangan, tetapi karena waktu yang terbatas, hanya 4 orang yang memiliki kesempatan untuk menyampaikan gagasan dan pertanyaannya, serta mendapatkan respons dari narasumber ataupun penanggap.

Sebelum acara ditutup, Lena Larsen (Direktur Oslo Coalition) dalam pidato penutup menyampaikan apresiasi kepada Rumah KitaB atas kerja-kerjanya, termasuk dalam mensosialisasiakan buku “Fikih Hak Anak” di wilayah strategis seperti di Lombok, yang menurut data merupakan salah satu penyumbang kawin anak di Indonesia.[NA]

Mendukung Perempuan Bekerja

KAMIS, 4 Agustus 2022, Rumah KitaB, atas dukungan Investing In Women, menyelenggarakan kegiatan “Forum Diskusi Para Pihak dalam Mendukung Hak Perempuan Bekerja”, di Hotel Harris Komplek Summarecon Kota Bekasi.

Kegiatan ini dihadiri tokoh multi stakeholder dari empat sektor, yaitu pemerintah dan DPRD, dunia usaha dan serikat pekerja, organisasi keagamaan, dan media. Jumlah peserta yang hadir 31 orang terdiri dari 20 perempuan dan 11 laki-laki.

Kluster Pemerintah, DPRD, yang hadir terdiri dari KPUD Kota Bekasi, DPRD Kota Bekasi termasuk dari Partai HANURA, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Bekasi, Dinas PPPA Kabupaten Bekasi, Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, Dinas Sosial Kota Bekasi, Kementerian Agama Kota Bekasi, dan Ketua PERADI Otto Hasibuan Kota Bekasi.

Kluster dunia usaha yang hadir yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Bekasi, FSBPI (Forum Serikat Buruh Persatuan Indonesia), Kelompok Usaha Al-Mughni Sa’diyah, PT. Go Trans Internasional, dan beberapa enterpreneur.

Kluster keagamaan dihadiri anggota DMI (Dewan Masjid Indonesia) Bekasi, Ketua Muslimat Kabupaten Bekasi, Lembaga Bahsul Masail (LBM) Kabupaten Bekasi, PC Fatayat Kota Bekasi, para Penyuluh Agama perempuan dari KUA Medan Satria, Penyuluh KUA Rawa Lumbu, KUA Pondok Melati, Pesantren YAPINK, dan INISA.

Kluster media dihadiri oleh mediapatriot.com.

Dalam kegiatan ini para peserta difasilitasi untuk berdiskusi dan sharing pengetahuan guna memecahkan problem dan tantangan dalam pemenuhan hak perempuan bekerja.

Di antara hambatan utama perempuan bekerja yang paling mengemuka dalam diskusi yaitu stigma sosial di ruang kerja yang muncul dari kalangan perempuan sendiri, misalnya pekerja laki-laki mendukung pekerja perempuan membawa serta anaknya yang masih balita, namun pekerja perempuan yang berada di dalam lingkungan kerja justru tidak mendukungnya.

Problem lainnya adalah lemahnya dukungan kelompok agama terhadap komunitas perempuan, lemahnya kesadaran pemerintah dalam melihat dan mendengarkan aspirasi-aspirasi kaum buruh, lemahnya implementasi UU Ketanagakerjaan, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja, tidak adanya infrastruktur pendukung perempuan pekerja, misalnya ruang bermain anak di tempat kerja, dan tidak adanya ruang laktasi, juga rumitnya prosedur cuti haid dan cuti hamil di ruang kerja terutama di sektor industri.

Sejumlah usulan disampaikan para peserta untuk mendukung perempuan bekerja, di antaranya sosialisasi regulasi ketenagakerjaan di berbagai sektor misalnya di sektor serikat kerja, masyarakat, komunitas keagamaan, dan dunia usaha. Usulan lainnya adalah keaktifan Dinas PPPA di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi dalam memberikan instruksi dan permintaan kepada kelompok dunia usaha untuk menghadirkan kebutuhan-kebutuhan pendukung pekerja perempuan, termasuk infrastruktur ramah perempuan, dukungan anggaran yang berpihak pada pekerja perempuan.

Para peserta menyepakati kerja-kerja kolaborasi lintas sektor amat penting dalam mendiskusikan berbagai problem keagamaan, problem hukum, problem sosial, dan lainnya. Bang Danil dari Mediapatriot.com menyampaikan bahwa Rumah KitaB sudah mengawali kerja-kerja kolaborasi lintas sektor dalam mendukung perempuan bekerja, yang paling penting adalah melanjutkan upaya komunikasi lintas sektor yang selalu terhubung mendialogkan banyak persoalan pekerja perempuan. Dan mediapatriot.com akan senantiasa memberitakan berbagai kegiatan yang berkontribusi penting dalam mendukung pekerja perempuan.

Pelajaran yang diambil dari kegiatan ini adalah, pertama, dipertemukannya para tokoh lintas sektor, terutama tokoh legislatif DPRD Kota Bekasi dengan dinas-dinas terkait, dunia usaha, serikat buruh, dan media berpengaruh dalam upaya mewujudkan implementasi program-program ramah perempuan di masa mendatang. Dan yang paling penting adalah menyatukan pandangan para tokoh pentingnya menghadirkan dukungan yang luas terhadap perempuan pekerja, baik dari segi cara pandang hukum/regulasi, tradisi, keagamaan, dan budaya.

Kedua, pemilihan tokoh agama sangat penting yang memiliki keberpihakan pada perempuan, sehingga kegiatan ini menghasilkan hal-hal positif yang dapat diimplementasikan secara riil di lapangan. Para tokoh agama yang telah memiliki pandangan keagamaan terbuka/inklusif diharapkan untuk bersuara menyatakan dukungannya terhadap perempuan bekerja, terutama dalam menyelesaikan problem-problem yang muncul dari stigma agama antara lain dalam memaknai kembali konsep “ridha” yang harusnya bermakna kesalingan sehingga tidak menjadi beban bagi perempuan bekerja.[AH]

Nikah Beda Agama, Kenapa Tidak?

PROPORSI nikah beda agama meningkat dalam konteks global, yang menciptakan ruang-ruang baru untuk hidup berdampingan, sehingga menyebabkan penurunan sekat-sekat budaya dan agama, dan menjadi tantangan bagi agama-agama, karena menimbulkan pertanyaan yang menggelisahkan tentang kemampuan mereka untuk mengelola hubungan antara kesucian perasaan manusia dan kesucian ajaran agama. Sebagian besar pemuka agama membatasi hak-hak kemanusiaan dengan alasan keimanan. Mereka memperingatkan pemeluk agama, terutama perempuan, agar tidak menikah dengan orang di luar agama yang mereka yakini. Akibatnya, banyak pemeluk agama yang masih bersikap seolah-olah agama adalah kelompok yang tertutup.

Di dalam fikih, seorang laki-laki Muslim boleh menikah dengan perempuan non-Muslim. Namun, fatwa para ulama dan sejumlah lembaga keagamaan tidak memperbolehkan seorang perempuan Muslim untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim dengan alasan “supaya tidak lahir dari rahim seorang perempuan Muslim anak yang tidak memeluk agama Islam”, dan juga untuk mencegah penyebaran orang-orang non-Muslim di kalangan umat Muslim. Dalam konteks yang sama, fikih menerima pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan seorang perempuan non-Muslim dengan tujuan untuk memperbanyak jumlah umat Muslim, dan pernikahan jenis ini kadang-kadang dianggap sebagai semacam jihad di jalan Allah (al-jihâd fî sabîlillâh).

Jika agama mengharamkan pernikahan seorang perempuan Muslim dengan laki-laki non-Muslim dengan dalih bahwa laki-laki Kristiani atau Yahudi adalah musyrik atau kafir, lalu bagaimana agama dapat menerima sekaligus pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Kristiani atau Yahudi dengan alasan bahwa ia dari Ahli Kitab? Jelas, ini adalah kontradiksi yang nyata.

Faktanya, tidak ada teks al-Qur`an yang secara eksplisit membahas masalah ini, tetapi terkait dengan pendapat para ahli fikih, dan mungkin juga dengan budaya. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa peran perempuan dalam pernikahan adalah subordinatif, sehingga pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Kristiani atau Yahudi dapat diterima atau dibolehkan dengan alasan bahwa laki-lakilah yang akan memaksakan keyakinan terhadap istri dan anak-anaknya, sedangkan sebaliknya tidak diterima atau tidak diperbolehkan.

Pandangan ini menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, relasi perkawinan dibangun dalam kerangka prinsip subordinasi, bukan partisipasi dan kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Kedua, asumsi bahwa salah satu pihak di dalam rumah tangga harus memaksa pihak lain untuk memeluk agamanya. Ketiga, perkawinan dianggap sebagai proyek prokreasi yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah penganut agama tertentu dengan mengesampingkan agama yang lain, seolah-olah itu adalah pertandingan antara dua tim di mana tim yang jumlahnya meningkat lebih banyak akan menang!

Dan yang paling penting adalah pengabaian fakta bahwa perempuan Muslim adalah manusia yang bebas dengan seluruh haknya, dan bahwa ia memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya terlepas dari interpretasi agama—apakah itu interpretasi yang melarang atau mendukung.

Di sini, sebenarnya, kita tidak berbicara tentang perempuan Muslim di Indonesia secara khusus, tetapi berbicara tentang perempuan Muslim secara umum. Mungkin ada yang mengatakan bahwa perempuan Muslim di Indonesia memiliki banyak pilihan dalam masyarakat mayoritas Muslim dalam hal pernikahan, dan ini mungkin benar, tetapi itu tidak menafikan haknya untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim jika ia mau.

Tetapi bagaimana dengan perempuan Muslim di dalam masyarakat non-Muslim, semisal di Amerika Serikat, di mana umat Muslim berjumlah sekitar 1% dari populasi. Ini berarti bahwa perempuan Muslim di Amerika Serikat akan bertemu 99 laki-laki non-Muslim berbanding 1 laki-laki Muslim dalam hidupnya. Atau di negara-negara seperti Lebanon, di mana terdapat beragam aliran agama, dan dengan keragamannya, peluang untuk terjalinnya hubungan di antara para anggota aliran-aliran ini sangat besar.

Bagaimana jika seorang perempuan Muslim ingin menikah dengan laki-laki non-Muslim? Bukankah ia setidaknya berhak secara hukum untuk melakukannya? Di sini kita sebaiknya berhenti berbicara tentang pernikahan sebagai masalah agama, dan kemudian membicarakannya dari perspektif sipil dan hak asasi manusia. Perkawinan sebagai masalah agama tunduk pada interpretasi dan aturan-aturan para ulama yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Tunisia, misalnya, membolehkan pernikahan seorang perempuan Muslim dengan laki-laki non-Muslim, sementara di Mesir masih tidak diperbolehkan dari sudut pandang hukum syariat, menurut pandangan ulama Al-Azhar.

Perkawinan adalah hak asasi manusia yang diatur dalam Konvensi Internasional dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Pasal 16 yang mengakui hak untuk menikah dan membentuk keluarga bagi laki-laki dan perempuan, tanpa batasan ras, kebangsaan, atau agama.

Dengan demikian, seorang perempuan, apakah ia Muslim atau Kristiani, atau apa pun agamanya, adalah manusia dewasa dengan hak penuh, dan salah satu haknya adalah memilih pasangan hidupnya, meskipun ini tidak sesuai dengan interpretasi lembaga keagamaan. Dengan demikian, peran negara hanyalah memungkinkannya untuk menggunakan hak ini melalui perkawinan sipil. Persoalannya di sini bukanlah penafsiran teks-teks agama melainkan pengakuan hak-hak ini oleh negara dan masyarakat.

 

Q.S. al-Baqarah: 221

Pandangan fikih yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan non-Muslim dan melarang perempuan Muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim sebenarnya berangkat dari pemahaman terhadap ayat al-Qur`an yang berbunyi,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُون

Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik [dengan perempuan-perempuan mukmin] sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran,” [Q.S. al-Baqarah: 221].

 

Q.S. al-Baqarah: 221 ini bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, dilihat dari sabab nuzûl-nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra., dan sering dikutip oleh para ulama tafsir di dalam kitab-kitab mereka, sabab nuzûl ayat ini adalah sebagai berikut:

عن ابن عباس في هذه الآية قال: نزلت في عبد الله بن رواحة، وكانت له أمة سوداء ، وإنه غضب عليها فلطمها، ثم إنه فزع فأتى النبي صلى الله عليه وسلم، فأخبره خبرها، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما هي يا عبد الله ؟ فقال: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم، هي تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلا الله وأنك رسوله، فقال: يا عبد الله هذه مؤمنة. فقال عبد الله: فوالذي بعثك بالحق نبيا لأعتقنها ولأتزوجنها، ففعل. فطعن عليه ناس من المسلمين فقالوا: نكح أمة! وكانوا يريدون أن ينكحوا إلى المشركين وينكحوهم رغبة في أحسابهم، فأنزل الله تعالى فيهم: (ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم) الآية

Dalam keterangan ini disebutkan bahwa Ibn Abbas ra. berkata, “Salah seorang sahabat Nabi Saw. bernama Abdullah ibn Rawahah mempunyai budak perempuan hitam, kemudian karena suatu kejadian tertentu akhirnya Abdullah ibn Rawahah marah besar kepada budaknya itu, dan ia pun menamparnya.

Kejadian ini akhirnya disampaikan kepada Nabi Saw., kemudian beliau bertanya, ‘Bagaimana keadaan budakmu itu, wahai Abdullah?’ Lalu dijawab, ‘Ia berpuasa, shalat, berwudhu, dan ia juga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah.’ Maka seketika Nabi Saw. mengatakan bahwa ia adalah Muslimah. Kemudian Abdullah ibn Rawahah bersumpah untuk memerdekakannya dan menikahinya.

Masyarakat pada waktu itu ramai membicarakan pernikahan Abdullah ibn Rawahah dengan mantan budak perempuannya. Mereka sangat menyayangkan hal itu terjadi, seakan itu adalah pernikahan yang hina. Hal ini disebabkan karena pada waktu yang bersamaan ada fenomena di masyarakat Arab di mana mereka senang menikahi perempuan musyrik yang umumnya mempunyai kedudukan dan status sosial yang bagus. Dengan kejadian seperti ini, maka turunlah Q.S. al-Baqarah: 221, sebagai jawaban bahwa apa yang dilakukan Abdullah ibn Rawahah bukanlah sesuatu yang buruk.

Kedua, Q.S. al-Baqarah: 221 ini bisa dipahami dalam konteks sejarah konflik dan peperangan, yang tidak memungkinkan untuk membangun hubungan manusia dalam afiliasi agama-agama yang berbeda-beda. Karenanya, itu tidak dapat diubah menjadi aturan umum, atau dianggap sebagai kehendak Tuhan. Dan kita percaya bahwa aturan ini pada masa kita sekarang telah mengalami pergeseran, dalam konteks kebebasan individu dan kebebasan berkeyakinan, di samping tumbuhnya kesadaran mengenai nilai penerimaan terhadap orang lain. Jika kebebasan merupakan salah satu tujuan syariat, maka perlu dilakukan ijtihad dan pembacaan ulang aturan diskriminatif ini, berdasarkan prinsip al-Qur`an tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hukum dan kewajiban.

Mungkin di antara yang menunjukkan pertentangan antara aturan fikih ini dengan kemanusiaan dan memperdalam hipokritas sosial adalah, bahwa banyak laki-laki non-Muslim yang menikahi perempuan Muslim dipaksa untuk menghindari hukum, di mana mereka mengubah agama mereka secara formal, tetapi mereka tetap menjalankan ajaran agama lama mereka secara rahasia. Dalam hal ini, ijtihad harus mencakup masalah keadilan hukum fikih, ketika seorang perempuan non-Muslim menikah dengan seorang laki-laki Muslim diharamkan untuk menerima warisan dari suaminya yang hidup bersamanya dengan sepenuh hatinya jika ia tetap setia pada agama lamanya dan tidak memeluk Islam.

Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang melakukan upaya ini adalah negara Tunisia dengan menghapus undang-undang yang mencegah perempuan Tunisia menikahi laki-laki non-Muslim, dan Dar Al-Ifta` Tunisia atau Dewan Fatwa Tunisia mengeluarkan fatwa untuk mendukung keputusan tersebut. Namun, keputusan ini tetap menjadi satu-satunya di dunia Islam. Di sini muncul pertanyaan eksistensial: Apakah cinta dapat menyatukan apa yang dipisahkan oleh agama? Nikah beda agama seringkali menjadi pengalaman yang gagal dan menyakitkan, karena tekanan keluarga yang dialami oleh pasangan, sehingga pernikahan berubah menjadi hubungan hegemonik, seolah-olah agama dan budaya belum siap untuk hidup dan memberkati pengalaman yang mengancam ilusi perbedaan mereka.

Masalahnya kemudian adalah pendidikan agama anak-anak dan masalah kecenderungan mereka memeluk agama ayah atau ibunya. Ini merupakan masalah yang kerap memicu timbulnya tekanan budaya yang mendalam pada anak-anak tersebut. Namun demikian, pernikahan jenis ini tetap merupakan pengalaman unik yang memungkinkan munculnya generasi baru orang-orang beriman yang mendasarkan afiliasi mereka kepada agama tertentu sebagai pilihan yang bebas.

Di sini nikah beda agama memunculkan pertanyaan menggelisahkan tetapi sangat penting: mana yang lebih suci: agama atau cinta? Bukankah nilai cinta dan kasih sayang di antara pasangan merupakan perwujudan insani dari kehendak ilahi dan lebih penting daripada masalah afiliasi agama itu sendiri? Bukankah kebebasan untuk memilih keyakinan dalam pernikahan beda agama merupakan kesempatan bagi semua agama untuk menerima modernitas dan zaman modern? Sebagian umat Muslim masih menganggap seorang perempuan Muslim yang menikah dengan laki-laki non-Muslim sebagai pezina. Tetapi kita katakan: perempuan yang kita lihat dengan suaminya bukanlah seorang pezina, tetapi seorang perempuan berbudi luhur yang hatinya dipenuhi dengan cinta dan kebaikan. Kita bisa mendoakannya: “Semoga Tuhan memberkati pernikahan Anda, dan biarkan cinta menjadi jalan Anda menuju Tuhan!”[]