Hambatan dan Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

KAMIS, 28 Juli 2022, Rumah KitaB melaksanakan kegiatan “Diskusi Multi Aktor Jakarta dalam Penerimaan Perempuan Bekerja” di Mercure Hotel Sabang Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai tokoh dari empat kluster yaitu kluster pemerintah, organisasi keagamaan, media, dan dunia usaha.

Kluster pemerintah dihadiri oleh Dinas PPAPP DKi Jakarta, UPT P2TP2A DKI Jakarta, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta, dan Dinas Sosial. Kluster media dihadiri oleh TVMU, TVNU, NU Online, dan Islami.Co. Kluster usaha dihadiri oleh PT. Nusa Kirana, D’Pasha Ida Residence, Sahla Syar’i dan Khazanah Syar’i. Kluster organisasi keagamaan dihadiri oleh PWNU DKI Jakarta, PW Muhammadiyah DKI Jakarta, PW Fatayat DKI Jakarta, dan PW Aisyiyah DKI Jakarta.

Kegiatan ini memetakan beberapa hambatan yang dialami perempuan bekerja, di antaranya cara pandang sosial dan pandangan orang terhadap agama yang menghambat perempuan bekerja, misalnya konsep “izin suami” masih menjadi alasan bagi banyak laki-laki menolak perempuan bekerja, bahkan memaksanya kembali ke rumah dengan alasan suami tidak mengizinkan istri bekerja. Realitas ini bertolak belakang dengan visi luhur agama yang berbasis kemaslahatan manusia secara adil bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama yang melekat pada diri masing-masing untuk bekerja.

Makron Sanjaya Direktur Utama TVMU, berbagi pengalaman terkait hambatan perempuan bekerja. Lemahnya dukungan infrastruktur di beberapa kantor media yang masih belum responsif gender ia sebut sebagai salah satu hambatan bagi perempuan bekerja, misalnya tidak ada ruang laktasi karena membutuhkan dana tambahan penyewaan space ruang kerja yang tidak sedikit sehingga beberapa manajemen perusahaan media belum mampu menyediakannya. Selain itu, menurutnya, stigma laki-laki yang memandang rendah perempuan pekerja membuat sejumlah perusahaan media mengubah kebijakannya, misalnya kebijakan mengirim tim media yang hanya terdiri dari perempuan saja tanpa menyertakan laki-laki.

Wulan dari P2TP2A DKI Jakarta menyampaikan bahwa hambatan-hambatan perempuan bekerja belum bisa dilihat dan belum bisa diidentifikasi oleh beberapa pihak dalam kacamata gender, sehingga program pencegahan kekerasan berbasis gender di ruang kerja masih terjadi dan lebih dari seribu kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Jakarta.

Sementara itu, menurut Jacob Wilbert, Dinas PPAPP DKI Jakarta sebetulnya telah merumuskan beberapa program perlindungan perempuan termasuk dalam dunia kerja, yaitu sosialisasi bekerja sebagai hak perempuan, sama halnya seperti laki-laki yang punya hak asasi untuk bekerja dan memperoleh hak berpartisipasi dalam dunia ekonomi, dunia usaha/bisnis, dan lainnya.

Wulan dan Jacob sepakat bahwa problem utama yang menjadi penghambat perempuan bekerja adalah tafsir orang terhadap agama yang bertentangan dengan visi kemaslahatan agama itu sendiri. Misalnya konsep “ridha suami” dan “izin suami”.

Stigma masyarakat terkait konsep “ridha suami” dan “izin suami” yang membatasi perempuan dalam dunia kerja masih menjadi budaya, bahkan beberapa peserta dari tokoh agama, tokoh pemerintahan yang hadir, perempuan dan laki-laki masih setuju dengan kedua narasi penghambat perempuan bekerja tersebut.

Menurut Wulan, dukungan dari pandangan keagamaan inklusif yang mendukung hak perempuan bekerja sangat penting dan harus disosialisasikan kepada masyarakat dan tokoh agama, juga para stakeholders di satuan-satuan kerja pemerintah provinsi DKI Jakarta, sehingga pandangan keagamaan harus sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi inti dari ajaran agama.

Naufal dari Islami.Co menambahkan dukungan dari media berupa narasi-narasi berita yang mendukung perempuan bekerja harus banyak digiatkan, karena selama ini dunia media kekurasangan literasi terkait narasi hak perempuan bekerja.

Rozali dari TVNU sudah menyediakan channel-channel yang mendukung sosialisasi hak-hak perempuan termasuk hak perempuan bekerja, perlunya mengkolaborasikan kerja-kerja seperti ini dengan Rumah KitaB dan berbagai lembaga lainnya, sehingga narasi hak perempuan bekerja dapat diviralkan.

Nafilah mewakili Dirut PT. Nusa Kirana lebih menekankan lagi hak perempuan untuk bekerja sebagaimana laki-laki memiliki hak untuk bekerja, sehingga berbagai lembaga perlu melakukan kolaborasi dalam mensosialisasikannya di masyarakat secara luas.

Beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari kegiatan ini, di antaranya, narasi stigma sosial dan pandangan keagamaan dalam arti bukan agamanya tetapi pandangan orang terhadap agama seperti narasi “izin suami” dan “ridha suami”, tidak saja menjadi problem masyarakat tetapi juga menjadi problem di kalangan tokoh pemerintah provinsi Jakarta dan tokoh agama, sehingga perjuangan Dinas PPAPP Provinsi Jakarta masih meniti jalan berat dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di ruang-ruang kerja yang dilandasi pandangan keagamaan dan diskriminasi gender.

Pada akhirnya program-program Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta belum banyak didukung oleh beberapa satuan kerja di luar struktur organisasi Dinas PPAPP di level Kota dan Kabupaten di Provinsi Jakarta, misalnya di level Suku Dinas Pendidikan dan Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi sebagai regulator dan pengawas bagi dunia industri dalam perlindungnnya terhadap para pekerja perempuan.

Hingga saat ini ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan bekerja masih ditangani oleh UPT P2TP2A DKI Jakarta sebuah satuan teknis penanganan korban kekerasan di bawah Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta.

Karena itu, menurut Jacob, Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta terus menerus melakukan sosialisasi di berbagai instansi pemerintah provinsi DKI Jakarta terkait bahaya kekerasan berbasis gender yang menimpa banyak perempuan pekerja di Jakarta. Tetapi memang kerja-kerja sosialisasi tersebut harus dilakukan secara kolaboratif bersama organisasi-organisasi lainnya.

Pelajaran lainnya, yaitu sosialisasi buku “Fikih Perempuan Bekerja” harus lebih sering dilakukan kepada para tokoh agama dengan menggunakan jargon-jargon keagamaan inklusif seperti al-musawah wa al-‘adâlah (kesetaraan dan keadilan) berbasis maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` sebuah narasi hak asasi dalam bahasa agama yang ramah perempuan bekerja.

Sosialisasi keagamaan inklusif ramah perempuan dengan menggunakan maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` terhadap para tokoh agama pernah dilakukan di wilayah dampingan Rumah KitaB di Kalibaru di Jakarta Utara dalam program Berdaya I dan Berdaya II sejak tahun 2017 hingga 2021. Upaya tersebut cukup efektif membantu para tokoh agama dalam membaca ulang narasi keagamaan yang lebih ramah perempuan. Upaya yang sama harusnya dapat dilakukan di kota-kota lain di wilayah Provinsi DKI Jakarta.[AH]

Perempuan, Ekstremisme, dan Terorisme

MENGAPA dan bagaimana menjelaskan keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi serangan mematikan seperti yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu? Pertanyaan ini akan selalu muncul, dan meskipun telah dijelaskan oleh sejumlah penelitian, tetap memerlukan penjelasan terus-menerus. Sebagian kita yang pernah membaca hasil-hasil penelitian itu tentu tidak akan terlalu terkejut. Di sejumlah negara—sebagaimana akan ditunjukkan tulisan ini—peran dan keterlibatan perempuan sebagai pelaku kekerasan telah terjadi di banyak situasi, mulai dari konflik bersenjata internal di sebuah negara hingga konflik bersenjata internasional berskala besar. Meskipun bukan hal baru, masalah ini harus terus menjadi perhatian semua kalangan, baik pembuat kebijakan pemerintah, swasta, maupun juga kalangan masyarakat sipil.

Di Indonesia sendiri, sejumlah studi perlu kita rujuk. Salah satunya adalah sebuah laporan yang dirilis pada Januari 2017 oleh Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC). Laporan mereka yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” itu menemukan bahwa memang banyak perempuan masuk dalam kelompok ekstremis dan aktif “mencari peran yang lebih operasional” dalam kelompok mereka. Sebagai contoh, laporan itu menyebutkan aksi pemboman yang terjadi di Surabaya pada tahun 2018 melibatkan perempuan dan anak-anak. Namun demikian, menurut laporan tersebut, hingga pertengahan tahun 2020, para pejabat BNPT masih menyangkal bahwa perempuan dapat memiliki atau menginginkan sebuah peranan dalam ekstremisme kekerasan. Penyangkalan ini dinilai tidak membantu upaya-upaya efektif untuk mencegah serta menanggulangi radikalisasi ekstrem di kalangan perempuan.

Studi terbaru IPAC yang dirilis pada Agusus 2020 mencatat setidaknya terdapat sebanyak 39 perempuan yang pernah ditangkap karena diduga terlibat tindak pidana terorisme. Sebagian dari mereka, yakni setidaknya sebanyak sepuluh perempuan, telah dilepaskan. Sisanya dipenjara di sejumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Mereka juga menyoroti kondisi penjara para perempuan tersebut. Mereka mencatat, keberadaan perempuan di penjara jumlahnya mengalami peningkatan tajam. Mereka menyoroti lemahnya protokol dari otoritas penjara dalam menangani situasi perempuan-perempuan tersebut, meskipun pengelolaan yang ad hoc sejauh ini masih bisa dikatakan cukup baik. Laporan menyebutkan situasi penjara masih belum bersih dari masalah: ”kepadatan berlebih, korupsi sistematis, akses yang buruk ke perawatan kesehatan, termasuk perawatan mental, dan trauma perpisahan dengan anak-anak.”

Sementara itu, Pusat Kajian Toleransi dan Demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) juga mencatat bahwa jauh sebelum penembakan di Mabes Polri terjadi oleh seorang perempuan bernama Zakiyah Aini, terdapat sejumlah kasus yang menunjukkan kuatnya dugaan keterlibatan perempuan dalam aksi kekerasan ekstrem di Indonesia. Kasus Zakiyah ini—yang sayangnya lalu ditembak mati seketika oleh pihak kepolisian—menambah daftar perempuan yang terlibat aksi kejahatan terorisme. Berikut adalah daftar vonis pengadilan atas sejumlah perempuan yang dinyatakan bersalah dan terlibat dalam aksi kejahatan terorisme.

 

Perempuan Dalam Vonis Pengadilan Kasus-Kasus Terorisme

No.

Tahun

Putusan Pengadilan

1.

28 Agustus 2017

Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis 7,5 tahun penjara Dian Yulia Novi karena terbukti bersalah dalam tindak pidana terorisme. Pada 2016, Densus 88 Antiteror Mabes Polri menangkap Dian karena diketahui telah mengirim paket berisi pakaian dan surat wasiat kepada orangtuanya di Cirebon bahwa ia akan melakukan aksi bom bunuh diri.

2.

4 Mei 2017

Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Jumiatun alias Umi Delima, istri dari Santoso alias Abu Wardah, salah satu pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MTI), yang dianggap terlibat aksi-aksi kejahatan terorisme. Pada Juli 2016, ia ditangkap di wilayah pegunungan Tambarana, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tak jauh dari lokasi baku tembak yang menewaskan suaminya.

3.

28 Januari 2013

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Nurul Azmi Tibyani dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider 2 bulan penjara karena melakukan tindak pidana terorisme;

4.

4 Januari 2012

Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Ruqoyyah, istri dari orang yang diduga sebagai otak pelaku kejahatan terorisme Bom Natal dan Bom Bali I, Umar Patek, divonis hukuman 2 tahun dan 3 bulan penjara dalam kasus pemalsuan identitas akta otentik dalam persidangan

5.

29 Juli 2010

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Putri Munawaroh, istri almarhum Agus Susilo Adib, divonis 3 tahun penjara karena dianggap membantu dan menyembunyikan otak pelaku kejahatan terorisme yang paling dicari di Indonesia, Noordin M Top

6.

9 Juni 2005

Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, Jawa Timur memvonis Munfiatun 3 tahun penjara karena menyembunyikan suaminya yang disangka sebagai pelaku terorisme di Indonesia

 

Uraian di atas memperlihatkan bahwa fenomena keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi kejahatan terorisme jelas bukan merupakan hal yang baru. Bahkan sebenarnya jika kita mengkajinya secara lebih luas, misalnya dalam kajian konflik bersenjata internal dan bukan hanya kajian tentang aksi terorisme, jelas terlihat bahwa perempuan juga terlibat dalam sebuah perang sebagaimana yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia yang pernah mengalami pemberontakan bersenjata. Lalu bagaimana dengan pengalaman di tingkat global soal keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi kekerasan yang oleh sebagian besar media internasinal dianggap sebagai aksi-aksi kejahatan terorisme?

Secara global, kita tidak terlalu terkejut dengan berbagai berita mengenai bom bunuh diri yang terjadi di dunia Islam. Kita hanya dapat merasakan kesedihan dan kepedihan mendalam atas jatuhnya para korban, terutama anak-anak dan perempuan. Tetapi berita-berita tersebut mungkin akan lebih mendapatkan perhatian jika pelaku bom bunuh diri itu adalah perempuan. Meski serangan bom bunuh diri yang dilakukan perempuan mengalami peningkatan, kita tetap terkejut dan terusik ketika menyadari bahwa perempuan tidak lagi hanya sebagai korban ekstremisme dan terorisme, tetapi mereka juga telah terlibat dan aktif di dalamnya.

Di Mesir, tahun 2000, beberapa perempuan berniqab melemparkan bom-bom dari atas jembatan al-Azhar ke arah para touris dan kerumunan manusia. Ketika polisi tiba di tempat itu, setiap orang dari perempuan-perempuan berniqab itu mengeluarkan pistol lalu menembakkannya tepat di kepala temannya, sehingga matilah mereka semua. Mengapa mereka melakukan itu kepada orang yang bisa dikatakan sebagai teman sendiri, mengapa tidak bunuh diri saja? Karena menurut pemahaman mereka tindakan bunuh diri adalah haram, sedangkan membunuh adalah halal di jalan Tuhan.

Di Pakistan, tahun 2019, seorang perempuan pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya, menewaskan 8 orang dan melukai 26 lainnya dalam serangan di luar rumah sakit sipil. Gerakan “Taliban Pakistan” mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Menurut laporan media, perempuan yang melakukan serangan itu berusia 28 tahun dan mengenakan burqa. Pada 2018 di Tunisia, seorang perempuan berusia 30 tahun meledakkan dirinya di Jalan Bourguiba di pusat ibu kota, dan pihak berwenang Tunisia menuduh ISIS sebagai dalangnya.

Beberapa penelitian memperkirakan bahwa perempuan rata-rata mewakili antara 10 dan 15 persen kelompok teroris. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa wilayah tempat perempuan bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah memiliki persentase yang berbeda-beda: negara-negara Asia Timur mencatat angka tertinggi 35% pejuang perempuan asing, diikuti oleh Eropa Timur (23%), kemudian Eropa Barat (17%), kemudian Amerika, Australia dan Selandia Baru (17%), Asia Tengah (12%), kemudian Timur Tengah dan Afrika Utara (6%), dan terakhir Sub-Sahara (kurang dari 1%).

Di Nigeria, di mana kelompok teroris Boko Haram aktif di timur laut negara itu dan negara-negara tetangganya seperti Kamerun, Chad dan Niger dengan tujuan mendirikan cabang ISIS di Nigeria utara, eksploitasi perempuan oleh kelompok tersebut terus meningkat setelah menculik dan merekrut banyak perempuan untuk melakukan operasi bom bunuh diri. Kendati penculikan 276 siswi sekolah dari desa Chibok pada tahun 2014 memicu keributan internasional, dan itu merupakan salah satu dari banyak operasi yang dikaitkan dengan Boko Haram, di mana dapat dipastikan bahwa kelompok teroris tersebut mengumpulkan perempuan dan mendorong mereka melakukan operasi teroris, statistik menunjukkan bahwa lebih dari 50% pelaku bom bunuh diri Boko Haram dalam operasi yang dilakukan antara April 2011 dan Juni 2017 adalah perempuan.

Dari para siswi Chibok itu, hanya sedikit yang berhasil melarikan diri, sementara yang lain tetap bersama Boko Haram. Seorang jurnalis Jerman Wolfgang Bauer, di dalam bukunya “The Kidnappers”, yang mendokumentasikan pengakuan anak-anak gadis dan perempuan yang melarikan diri, menyebutkan bahwa di antara anak-anak gadis yang diculik itu terdapat sebagian yang benar-benar yakin—setelah diyakinkan oleh anggota Boko Haram—bahwa tujuan mereka adalah untuk membela agama, dan sebagian lainnya bahkan telah terlibat dalam serangan-serangan terorisme dengan meledakkan diri. Kebanyakan dari mereka memang meledakkan diri, baik tanpa kemauan atau tanpa mengetahui apa yang mereka bawa di balik pakaian mereka.

Lebih dari 120 anak gadis, sebagian di antaranya bahkan berusia 9 tahun, melakukan operasi bunuh diri di pasar dan transportasi umum, di mana masing-masing dari mereka diawasi dua orang laki-laki anggota organisasi, sehingga gadis-gadis itu tidak akan bisa melarikan diri. Ketika seorang anak gadis mendekati target yang diinginkan, salah satu dari laki-laki pengawas itu meledakkan si gadis melalui ponsel. Sedangkan para pelarian dari Boko Haram, masyarakat cenderung memandang mereka sebagai pengkhianat dan mata-mata, dan mereka yang diperkosa atau dinikahi paksa oleh para anggota Boko Haram ditolak sepenuhnya dan dipandang sebagai pelacur. Mereka menjadi sasaran kecurigaan bahkan dari keluarga mereka sendiri, kemudian tentara membawa mereka ke kamp-kamp “Antiteror” untuk diinterogasi, diancam, disiksa, dan dipukuli, dan mereka tidak diizinkan untuk dikunjungi.

Para analis menunjukkan bahwa organisasi-organisasi jihadis menganggap perempuan sebagai taktik efektif dalam operasi mereka karena kelebihan yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh laki-laki pelaku bom bunuh diri. Perempuan mudah melewati pos-pos keamanan tanpa harus melalui banyak pemeriksaan, karena di dalam tradisi sosial dan budaya di beberapa negara Islam terdapat larangan melakukan penggeledahan/pemeriksaan terhadap perempuan secara teliti. Para perempuan sering menutupi wajah mereka, sehingga membuat mereka sulit diidentifikasi karena mengenakan jubah hitam longgar (bahkan mungkin laki-laki yang menyamar) yang dengan mudah bisa menyembunyikan bahan peledak di baliknya. Menurut para pengamat, banyak janda yang terlibat dalam aksi-aksi bom bunuh diri sebagai cara untuk melarikan diri dari kehidupan mereka yang menyedihkan, dan inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk melakukan lebih banyak operasi kejahatan terorisme.

Terlepas dari munculnya pelaku bom bunuh diri perempuan di paruh kedua abad ke-20, ada sejumlah pengamat yang percaya bahwa sejak tahun 1990-an, sejumlah organisasi bersenjata memang memanfaatkan perempuan untuk melakukan bom bunuh diri selama perang Chechnya, dan mereka disebut sebagai “janda hitam”. Sebagai akibat perang, di mana orang-orang Chechnya menjadi sasaran pembersihan, pemerkosaan, pengusiran dan penyiksaan di tengah pengabaian masyarakat internasional, muncul generasi perempuan yang kehilangan suami, ayah, saudara, dan anak mereka. Dengan melampaui peran-peran tradisional mereka yang marjinal sebagai perempuan, mereka bergabung dengan organisasi teroris dan diberi peran memimpin operasi bunuh diri dan merekrut perempuan-perempuan lain. Al-Qaeda di Irak juga terinspirasi dari pengalaman perempuan Chechnya, mereka kemudian menjadikan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Bagi kelompok-kelompok ekstremis dan teroris, perempuan merupakan target strategis dan penting bahkan sebagai komponen penting di dalam struktur organisasi. Selain perannya dalam pergerakan, penyediaan barang dan transfer informasi selama masa perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, juga dianggap sebagai salah satu sarana propaganda dan mobilisasi kelompok dan ideologi ekstremis yang efektif, selain juga sebagai faktor untuk menarik para pemuda.

Bukan hanya kelompok ekstremis yang kerap dilabeli berasal dari kalangan “Islam” yang menempatkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri. Gerakan revolusioner paling menonjol yang menggunakan perempuan dalam operasi bersenjata adalah sebuah kelompok yang dianggap sebagai “gerakan separatis Sri Lanka”, di mana seorang perempuan pelaku bom bunuh diri yang merupakan anggota militan dari gerakan tersebut ikut membunuh mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi tahun 1991 setelah mengalungkan karangan bunga di lehernya dalam sebuah pertemuan besar.

Dari uraian di atas kita melihat ada beberapa alasan yang dapat mendorong perempuan bergabung dengan organisasi teroris. Pertama, alasan-alasan yang lebih disebabkan karena motif emosional dan psikologis, dan keyakinan ideologis. Kedua, lebih terkait faktor politik dan ekonomi, yakni menyangkut perasaan dan keadaan yang dibayangkan oleh mereka sebagai rasa ketidakadilan, penindasan, marginalisasi dan kekerasan. Meskipun demikian, terkadang, tujuan para perempuan untuk bergabung tersebut juga seperti halnya laki-laki, yakni berupa keinginan mencari kehidupan baru dalam kelompok di mana mereka merasa diperhatikan dan berbagi ide yang sama, keinginan untuk balas dendam, pemberdayaan dan realisasi diri, atau melarikan diri dari kenyataan sebelumnya yang dianggap menyakitkan.

Jika perempuan-perempuan pelarian dari Boko Haram menghadapi kesulitan penerimaan dan adaptasi, maka perempuan-perempuan yang kembali dari ISIS menghadapi tantangan integrasi dan kebebasan dari masa lalu mereka sebelumnya. Sebuah laporan di Amerika memperingatkan tentang bahaya istri dan janda anggota ISIS yang tinggal bersama anak-anak mereka di kamp-kamp di Suriah dan Irak, atau sebagian dari mereka yang kembali ke negara-negara mereka di Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat; mereka digambarkan sebagai “bom berdetak”.

Laporan “Dewan Atlantik” pada Mei 2019 mengatakan bahwa pejabat keamanan di negara-negara tempat perempuan-perempuan militan ISIS kembali “menghadapi tantangan mereka sendiri, yaitu bagaimana cara menangani dan mengawasi perempuan-perempuan militan ISIS yang telah kembali itu”. Pemerintah-pemerintah di Barat merasa khawatir dengan kemungkinan para perempuan ini kembali lagi ke jaringan organisasi teroris ISIS, yang membuka pintu bagi operasi-operasi terorisme baru di Eropa dan Amerika Serikat.

Karena itu, sejumlah negara di Eropa dan Amerika menolak memulangkan perempuan-perempuan tersebut. Negara-negara ini berusaha memastikan kewarganegaraan asli mereka agar dapat meninggalkan keadaan sulit mereka itu. Para perempuan yang tergabung dalam wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali ISIS di Suriah dan Irak, sebagian dari mereka dinikahi oleh tentara asing ISIS baik dengan persetujuan mereka atau dipaksa. Mereka kemudian dicerai sehingga menjadi janda dengan anak dari ayah yang tidak dikenal karena mereka tidak sempat mengetahui secara pasti nama asli suami-suami mereka dan juga belum mengetahui nasib suami-suami mereka setelah mereka ditinggalkan untuk melakukan apa yang dianggap sebagai jihad. Para perempuan ini menderita bersama anak-anak mereka karena dikucilkan oleh masyarakat dan dipandang rendah karena hilangnya garis keturunan dan dokumen identitas. Kasus ini dapat dikatakan mencapai ribuan jumlahnya.

Di sisi lain, Pusat “Perang Melawan Terorisme” di Universitas George Washington pada bulan Juni 2019 menerbitkan laporan tentang perempuan militan ISIS di kamp Al-Hol, timur laut Suriah, yang menyatakan bahwa mereka tidak puas hanya dengan serangan verbal, lebih dari itu mereka juga menggunakan senjata tajam seperti pisau, melempar batu, dan membakar tenda untuk mengancam perempuan-perempuan lainnya. Bahkan mereka mendirikan sel-sel di dalam kamp untuk menjatuhkan “hukuman” kepada “perempuan yang tidak patuh” dan dianggap “murtad” karena ketidakpatuhan mereka.

Semua kisah yang dituliskan di sini sesungguhnya merupakan seruan kepada kita untuk menyikapi ancaman tindak pidana terorisme yang melibatkan perempuan secara lebih serius. Pertama, kita harus terus-menerus menentang segala bentuk kekerasan yang berbasis pada kebencian, permusuhan, dan diskriminasi agama, ras, suku, atau ideologi. Kedua, kita harus mendorong adanya sejumlah penelitian ilmiah yang serius untuk mengetahui penyebab dan motifnya sampai ke akar-akar sosialnya, dan untuk menilai serta mendiagnosis konsekuensi perempuan bergabung dengan kelompok ekstremis, baik karena faktor-faktor internal dari dalam dirinya seperti keyakinan atau paksaan maupun karena faktor-faktor eksternal yang terkait politik dan ekonomi berupa penindasan politik maupun ketidakadilan sosial-ekonomi.

Ketiga, kita harus mendorong penelitian-penelitian yang juga diarahkan pada kepentingan perubahan kebijakan strategis di tingkat negara, dalam hal ini, terutama pemerintah Indonesia. Penelitian-penelitian ini juga perlu mempelajari akibat-akibat yang ditimbulkan, khususnya bagi anak-anak, baik psikologis, sosial, keamanan dan ekonomi maupun cara menghadapinya supaya berbagai lembaga publik, terutama di bidang pendidikan, agar ikut mengupayakan pencegahan-pencegahan yang efektif bagi tumbuhnya bibit-bibit radikalisme dan terorisme sejak dini.

Akhirnya, persoalan peran perempuan dalam pemberantasan kejahatan terorisme menjadi salah satu tema utama yang perlu terus dibahas dalam diskusi-diskusi kebijakan pemerintah serta swasta maupun diskusi-diskusi kalangan pegiat masyarakat sipil, selain para aktivis perempuan yang memang telah secara lebih dahulu memulainya beberapa tahun ini. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional, mereka membahas tentang pentingnya pencegahan maupun penanggulangan aksi-aksi kejahatan terorisme malalui pemberdayaan perempuan, dengan terus menerus memetakan peran-peran yang dapat dimainkan oleh organisasi-organisasi perempuan, dan diharapkan akan segara terwujud.[]

Buku Fikih Hak Anak Menjadi Kado Indah di Hari Anak Nasional 2022 *)

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh

 

KABAR gembira untuk anak Indoensia, sebuah kado indah untuk Hari Anak Nasional 2022. Telah terbit Buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur`an, Hadits, dan konvensi internasional untuk Perbaikan Hak-Hak Anak“.

Buku ini ditulis oleh KH Faqihuddin Abdul Kodir dan Lies Marcoes Natsir. Buku ini disambut baik oleh banyak kalangan, karena dirasa penting untuk perlindungan hak-hak anak.

Buku Fikih Hak Anak diluncurkan pada 5 Juli 2022 di Universitas Islam International Indonesia (UIII) Depok, yang dihadiri oleh Prof. Dr. Nelly Van Dorn, Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., Usman Hamid, S.H, M.Phil., dan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, M.A. sebagai pembicara, serta dimoderatori oleh Prof. Dr. Nina Nurmila, MA.

Faqihuddin salah satu penulis menyatakan bahwa buku ini merupakan ikhtiar untuk mengatasi kemacetan paradigma dalam upaya menawarkan perlindungan anak dengan menyerap pengalaman umat Muslim dalam karangka New Direction in Islmaic Thought (NDIT).

Cara yang dilakukan adalah melakukan dialog reflektif atas dua domain besar sumber hukum yang secara de facto berkembang di dunia: Hukum Internasional Konvensi Hak Anak dan Hukum Islam.

Lies Marcoes juga menyebutkan bahwa buku ini menawarkan upaya untuk mengatasi kemacetan epistimologis tentang perlindungan anak yang berangkat dari perspektif agama (Islam) dan praktik budaya sehari-hari yang hidup dalam masyarakat.

Lies juga menjelaskan terdapat kemacetan konseptual dan praksis antara domain agama dan domain hukum positif/konvensi internasional dalam upaya perlindungan anak.

Dalam kata pengantar, Usman Hamid, SH., M.Phil., Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menyebutkan bahwa keseluruhan isi buku ini memperkuat fondasi bagi pemuliaan harkat dan martabat (anak-anak) sebagaimana dilukiskan oleh Nabi Saw. bahwa kehidupan anak-anak diibaratkan “kupu-kupu surga”.

Usman juga menuliskan dalam kata pengantarnya bahwa buku ini membahas hak-hak anak berdasarkan sistem hukum di Indonesia yang juga diadopsi dari sistem hukum internasional.

Hukum landasan sekaligus orientasi bagi pembaca yang ingin memahami atau melibatkan diri dalam diskursus kebijakan untuk perlindungan anak.

Yang terpenting dari dasar pembahasan buku ini menurut Usman adalah penggunaan perspektif maqashid al-syariah, sebuah kerangka berpikir yang mengutamakan prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang sebagai tujuan-tujuan mengapa hukum dibuat, dalam hal ini di antaranya untuk perlindungan hak anak.

Dalam Buku Fikih Hak Anak ada empat bab besar yang dibahas. Empat Bab tersebut antara lain;

Pertama, Diskursus Hak-Hak Anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia: Kaya Aturan, Miskin Penerapan.

Kedua, Diskursus Hak Anak Dalam Perspektif Hukum islam: Dari Fikih Orientasi Orang Dewasa Menuju Orientasi Kemaslahatan Terbaik Anak.

Ketiga, Diskursus Hak Anak dalam kajian Al-Quran: Dari Perspektif Kasih Sayang Menuju Kemaslahatan Terbaik Bagi Anak.

Keempat, Diskursus Hak-Hak Anak dalam Kajian Hadis: Teladan Nabi dalam Memenuhi Kemaslahatan Terbaik Anak.

Berikut informasi Buku Fikih Hak Anak:

Judul: FIKIH HAK ANAK: Menimbang Pandangan Al-Qur’an, Hadis, dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-Hak Anak.
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir dan Lies Marcoes Natsir
Penyunting: Lies Marcoes-Natsir
Kontributor: Achmat Hilmi, Jamaluddin Mohammad, Fadilla D. Putri, Rifa Tsamrotus Saadah
Foto Cover: Armin Hari
Cetakan: Pertama
Tahun: Juni 2022
Penerbit: Yayasan Rumah Kita Bersama

Kehadiran buku ini merupakan kado indah dalam peringatan Hari Anak Nasional 2022. Buku ini penting dibaca dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga bermanfaat.

*) Sumber: https://www.duniaanakindonesia.com/anak/pr-4733962375/buku-fikih-hak-anak-menjadi-kado-indah-di-hari-anak-nasional-2022

Dari Mana Asal-usul Nama “Mathali’ul Falah”?

Oleh: K.H. Ulil Abshar Abdalla

 

DI desa Kajen, Pati, terdapat sebuah madrasah yang amat masyhur yang dulu pernah diasuh oleh dua ulama legendaris: Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal Mahfudz. Ayah saya dan hampir sebagian besar dari keluarga saya dan saya sendiri merupakan lulusan dari madrasah ini. Bagi keluarga santri di kawasan Pantura Jawa, madrasah ini merupakan lembaga pendidikan unggulan dan sekaligus “kiblat” pendidikan.

Madrasah ini didirikan oleh Kiai Abdussalam (ayahanda dari Kiai Abdullah) pada 1912 di desa Kajen. Ia bisa dianggap sebagai institusi pendidikan agama terbaik di tingkat dasar dan menengah di kawasan Pati dan sekitarnya. Kemasyhurannya telah menarik ribuan murid untuk menempuh pendidikan Islam di sana. Salah satu ciri khas yang melekat pada madrasah ini adalah kemandiriannya dalam banyak hal, terutama kurikulum. Hingga sekarang, madrasah ini bertahan untuk tidak menginduk kepada Kementerian Agama—suatu langkah yang tidak ringan. Karena sikapnya yang “keukeuh” dalam otonominya inilah, madrasah Mathali’ul Falah meraih respek dan penghormatan yang tinggi dari umat Muslim di kawasan Pantura Jawa.

Tetapi, dari mana asal-usul nama Mathali’ul Falah? Selama ini saya belum pernah mendengar keterangan mengenai asal-usul nama ini. Atau, boleh jadi saya lupa. Yang jelas, istilah “al-Falah” bukan hal yang asing sebagai nama bagi sejumlah lembaga pendidikan Islam atau masjid di kawasan Jawa khususnya, dan Melayu pada umumnya. Pesantren Ploso, Kediri, misalnya, dinamai “Pesantren Al-Falah”.

Dalam catatan pendek ini, saya ingin mengajukan semacam dugaan tentang asal-usul nama madrasah ini. Boleh jadi dugaan saya keliru, tetapi dugaan ini saya kemukakan dengan sejumlah argumen kesejarahan yang tentu saja bisa diperdebatkan.

Saya menduga bahwa sangat mungkin nama ini diilhami oleh sebuah madrasah terkenal di Saudi Arabia yang berdiri pada 1905. Nama madrasah itu ialah al-Falah. Ini adalah madrasah kedua yang tertua di kawasan Hijaz pada zaman itu, setelah madrasah al-Shaulatiyyah yang didirikan oleh seorang ulama asal India, Syaikh Rakhmatullah al-Kairanawi, pada 1868. Syaikh al-Kairanawi dikenal melalui kitabnya yang masyhur berjudul “Izhhar al-Haqq”, sebuah karya apologetika modern pertama yang ditulis sebagai polemik melawan misionaris Kristen India asal Jerman, Karl Gottlieb Pfander (w. 1865).

Madrasah al-Falah didirikan oleh seorang pedagang mutiara kaya dan politisi berpengaruh di kawasan Hejaz pada paruh pertama abad ke-20. Ia bernama Muhammad Ali Ridha Zainal. Mula-mula, ia mendirikan madrasah ini di Jeddah. Setelah sukses, berdirilah cabang madrasah ini di Makkah. Di Madrasah al-Falah cabang Makkah inilah lahir dan mengajar sejumlah ulama besar seperti Syaikh Alawi al-Maliki, ayahanda dari Syaikh Muhammad ibn Alawi al-Maliki. Ulama lain yang ikut mengajar di sini adalah Syaikh Umar Hamdan yang amat populer di Indonesia. Syaikh Hamdan adalah ulama asal Tunisia, murid dari Syaikh Muhammad al-Thahir ibn Asyur (ia dikenal sebagai salah satu ulama modern pencetus gagasan tentang “fiqh maqashidiy”). Bersama Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Syaikh Umar Hamdan adalah salah satu murid dari Syaikh Mahfudz Termas (w. 1920).

Madrasah al-Falah dikenal sebagai “madrasah nizhami”, yaitu lembaga pendidikan yang mengikuti sistem klasikal, dengan sistem penjenjangan yang relatif sistematis, dan kurikulum yang distandardisasikan. Sistem “nizhami” ini berbeda dengan sistem tradisional yang tidak mengenal sistem penjenjangan yang sistematis. Madrasah-madrasah modern yang berkembang di seluruh kawasan Asia Tenggara sejak awal abad ke-20 mengikuti sistem nizhami semacam ini. Kuat dugaan saya bahwa madrasah-madrasah ini diilhami oleh madrasah al-Falah yang berdiri di Hijaz pada awal abad ke-20 itu.

Muhammad Ali Ridha Zainal, pendiri madrasah al-Falah itu, dikenal dalam sejarah Arab modern sebagai salah satu “tokoh kebangkitan” di kawasan Hijaz (A’lam al-Nahdah fi al-Hijaz). Madrasah yang ia dirikan mengilhami berdirinya madrasah serupa di seluruh kawasan Arab hingga Asia Tenggara. Ia merupakan anggota dari sebuah partai bernama al-Hizb al-Hijazi al-Wathani yang berdiri pada era Turki Utsmani. Setelah kekuasaan keluarga Asyraf yang berkuasa di Hijaz selama berabad-abad jatuh pada 1926, partai inilah yang menggantikan dan memegang kekuasaan politik di Makkah dan Madinah (Hijaz). Muhammad Ali Ridha adalah anggota dan salah satu elit dalam partai ini. Ia meninggal pada 1969 di Bombay, India, negeri di mana ia memulai aktivitas perdagangan mutiara sejak usia muda.

Dengan latar belakang semacam ini, patut diduga bahwa nama madrasah Mathali’ul Falah diilhami oleh madrasah al-Falah di Hijaz itu. Tentu saja dugaan ini bisa saja salah. Tetapi melihat besarnya pengaruh madrasah al-Falah melalui para lulusannya yang tersebar di seluruh kawasan dunia Islam, dugaan tersebut patut dipertimbangkan.

Dari mana pengaruh dan ilham ini berasal? Apakah Kiai Abdussalam, pendiri madrasah Mathali’ul Falah itu, pernah melakukan perjalanan haji ke Makkah? Saya tidak ingat persis. Tetapi berdasarkan kisah yang pernah saya dengar dari sejumlah kiai di Kajen (mungkin saya keliru; mohon dikoreksi!), Mbah Salam (begitu panggilan populer Kiai Abdussalam di daerah Kajen) pernah haji. Kapan, tidak terlalu jelas. Tetapi patut diduga bahwa jika perjalanan haji itu pernah terjadi, maka ia boleh jadi berlangsung pada awal abad ke-20, pada saat nama madrasah al-Falah di Makkah dan Jeddah itu sedang “viral”.[]

Merebut Tafsir: Membaca Kawin Anak dengan Kaca Pembesar

Oleh: Lies Marcoes Natsir

 

JIKA kawin anak dibaca sebagai polah remaja yang tak pintar menahan hasrat seksualnya, mungkin kita tersesat pikir. Jika kawin anak disebabkan orang tua terlalu miskin, mungkin kita hanya paham sebagian kecil dari problem sebenarnya yang mereka alami.

Setelah hampir satu dekade menekuni isu ini dengan berbagai cara: riset pemiskinan perempuan, kajian lapangan soal kawin anak, riset teks keagamaan, kajian hukum, kajian regulasi dan aksi ragam advokasi, saya sampai pada satu titik di mana kita mungkin bisa bersepakat bahwa perkawinan anak harus dilihat sebagai ujung yang paling tak kentara dari kegagalan politik ekonomi berbasis pengerukan kapital di desa-desa, dan tak terhubungnya pendidikan dengan kebutuhan hidup.

Hilangnya keterhubungan manfaat antara kebutuhan warga desa dengan pembangunan ekonomi besar-besaran terutama dalam industri ekstraktif, alih fungsi dan kuasa tanah menjadi industri perkebunan sawit, pabrik-pabrik, bangunan pabrik, jalan tol, rel kereta dan pariwisata, perkawinan anak menyeruak tanpa pintu kendali di tengah semua perubahan itu.

Kawin anak adalah bentuk kegagalan dari sebuah konsep besar yang meyakini industrialisasi seharusnya mampu mendukung masa belajar anak agar lebih lama tinggal di sekolah dan kelak mampu meraih kesejahteraan.

Nyatanya dalam pembangunan industri ekstraktif, alih fungsi lahan di desa, pendidikan seperti berjalan sendiri. Rendahnya pendidikan tak selalu menyeret orang ke kubangan pemiskinan melainkan ketakterjangkauan manfaat industri-industri itu oleh warga dan kaum perempuan di sekitarnya.

Dan dibandingkan prilaku buruk lain yang menyengsarakan anak perempuan, kawin anak adalah praktik kekejaman kemanusiaan yang paling mudah mendapatkan legitimasi halal karena praktik itu dilindungi oleh isu moral, demi kebaikan para puak dan kaum patriakh yang gagal mengantarkan mereka sampai kedewasaan yang sempurna setelah melepas sumber sumber ekonomi mereka.

Tak pelak, kawin anak adalah bukti paling nyata dari kegagalan industri semesta dalam melindungi anak perempuan ketika terjadi perubahan-perubahan dahsyat politik ekonomi yang melahirkan yatim piatu sosial di basis yang seharusnya paling kuat dalam melindungi mereka di desa dan kampung halaman.[]

19 Juli 2022

Merebut Tafsir: Tanda-tanda Kekerasan, Beda Peka dengan Pekak

Oleh: Lies Marcoes Natsir

 

JIKA tidak hujan atau sedang di luar kota saya rutin berjalan kaki. Kebiasaan ini muncul setelah Covid-19. Semula, jalan dilakukan antara jam 9-10 pagi untuk mendulang sinar Matahari. Setelah virus corona type delta menyebar yang lebih gampang menular saya mengubah jadwal jalan menjadi lebih pagi. Dengan begitu saya jarang pakai masker karena kompleks masih sepi, warung pedagang sayur pun masih tata-tata dagangan.

Rutinitas jalan pagi memberi waktu kepada saya untuk membaca “tanda-tanda”. Seperti pedagang sayuran itu yang setia buka jam 6 pagi tanpa perlu bertanya. Mula-mula saya dapat menandai kehidupan alam yang secara fisik dapat dirasakan: hembusan angin dan iring-iringan awan memberi tanda-tanda yang bisa “dititeni”: apakah pagi ini akan hujan, cerah; apakah udara lebih dingin atau biasa saja. Tanda-tanda lain yang saya kenali dari rutinitas jalan pagi adalah suara burung: saya menjadi tahu jam berapa burung murai batu berkicau di sejumlah pohon tertentu, dan digantikan dengan cicit burung gereja yang lebih berisik.

Tanda-tanda lain yang juga bisa dikenali adalah pergantian musim buah. Saat ini, di jalan yang dilalui, putik buah dan bunga yang berserak memberi tahu saya bahwa musim buah-buahan telah tiba; rontokan bunga jambu air yang terhampar putih, rontokan bunga jambu bol yang merah ungu terhampar di selingkaran pohon dan rumbunan daun. Satu tanda yang hampir tak kenal musim adalah bekas buah jambu batu/kelutuk yang dimakan codot. Hampir setiap pagi saya menemukan tanda-tanda buah jambu dimakan codot dari remah-rema buah segar yang berkerombol di bahan pohon di tempat di mana ada buah di dahan yang kerowak bekas codot semalam.

Dalam al-Qur`an, perubahan musim dan waktu dan perubahan alam lainnya sering sekali digunakan sebagai jembatan berpikir yang dituntun Allah kepada manusia untuk sampai kepada hadir-Nya. “Apakah kalian tidak melihat, merenungkan, berpikir bahwa perubahan alam sebagai “tanda-tanda” dari hadir-Nya”? Atau dalam bentuk kalimat lain yang menuntun manusia sampai kepada kesimpulan “di antara tanda-tanda itu sesungguhnya terdapat kekuasaan-Nya bagi orang yang berpikir”.

“Tanda-tanda” alam atau dalam bahasa Jawa, Ibu saya sering menyebutnya “ngalamat”, saya pahami sebagai isyarat sepihak yang tidak dapat atau sulit dikonfirmasi kepada “pelakunya”; dalam hal ini tumbuhan atau binatang. Ini karena ada hambatan level bahasa yang hanya bisa ditembus manusia dengan mempelajari tanda-tanda itu. Hal ini karena Allah telah membekali manusia satu perangkat indra lahir batin berupa pikiran.

Dalam relasi sosial membaca tanda-tanda itu sangatlah penting. Dalam studi gender sering disebut perlunya membangun kepekaan, senitivitas atau menimbang rasa. Kekerasan seksual yang terjadi pada santri, pada anak-anak, bahkan kepada istri dalam relasi yang tidak seimbang sebetulnya seperti melihat “tanda-tanda alam”. Kita hanya dapat mengenali fenomenanya, mengenali “tanda-tanda”nya yang dapat menuntun orang untuk berpikir dan sampai kepada tanda tanya “ada apakah gerangan”?

Hal ini terutama, karena seperti pada putik bunga yang mekar, kita tak dapat bertanya, kita hanya mengenali tanda-anda dan isyaratnya. Dalam kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi seksual yang luar biasa timpang, membuat pihak korban umumnya hanya dapat memberi tanda-tanda. Mereka tak memiliki daya ungkap yang sama yang membuat orang lain bisa segera mengerti apa yang sedang terjadi. Ini terutama terjadi dalam kekerasan yang dilakukan orang dewasa di sekitar anak korban yang memiliki kuasa penuh atas korban. Seperti yang dilakukan guru atau pengasuh pesantren, atau Pendeta, mengelola gereja dan rumah ibadat, kepada murid perempuan, santri, jamaah dan anak-anak lak-laki. Ketika mereka “tak bicara”, itu bukan berarti mereka tidak “bersuara”. Namun suara mereka hanya berupa “tanda-tanda”. Karenanya yang dibutuhkan adalah kepekaan untuk membaca “tanda-tanda” itu! Dan itu pasti tidak sulit jika kita peka, sensitif pada adanya tanda-tanda kekerasan. Jadi kepekaan seperti apa yang dimiliki sebuah institusi negara seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam melihat tanda-tanda praktek kekerasan di lembaga pendidikan seperti pesantren? Mengapa hal semacam itu terus dan terus berulang. Jangan-jangan mereka tidak peka melainkan pekak alias nir-pendengaran![]

Perlunya Diseminasi Gagasan yang Ramah Pada Perempuan Bekerja

SELASA, 12 Juli 2022, Rumah KitaB mengadakan “Dialog Multi Stakeholders Untuk Mendukung Perempuan Bekerja” di Bandung. Acara ini dihadiri 19 orang peserta (10 perempuan dan 9 laki-laki) dari sektor pemerintah, ormas keagamaan, media, dan bidang usaha.

Acara yang difasilitasi oleh Achmat Hilmi dan Lies Marcoes ini mendiskusikan 3 isu penting, yaitu: apa problem dan hambatan yang dialami oleh perempuan bekerja, dukungan apa yang dibutuhkan oleh perempuan bekerja sehingga bisa merasa nyaman beraktivitas, dan kolaborasi apa yang bisa disinergikan antara 4 sektor yang terlibat dalam dialog ini.

Sebagai pengantar dialog, Nur Hayati Aida memaparkan hasil riset yang dilakukan oleh Rumah KitaB pada tahun 2020 tentang penerimaan perempuan bekerja di 4 kota (Depok, Bekasi, Jakarta, Bandung). Secara garis besar, riset itu mengambarkan norma gender memberikan batasan pada perempuan pada perempuan bekerja, baik yang bersifat fisik ataupun simbolik. Pun, penafsiran agama memiliki peran penting dalam pembentukan norma gender tersebut.

Pada sesi dialong, Ririn Dewi W—perwakilan dari Aisyiyah Jawa Barat—menyatakan bahwa hambatan yang dialami oleh perempuan bekerja salah satunya karena tidak adanya komunikasi di keluarga atas pembagian kerja domestik dan pengasuhan, sehingga perempuan mengalami beban berlipat, bekerja di ruang publik sekaligus di ruang domestik. Padahal menurut Ririn, hal-hal seperti pengasuhan bukanlah sesuatu yang kodrati sehingga perannya bisa dilakukan bersama.

Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menciptakan regulasi tentang ketegakerjaan yang adil. Baik di Jawa Barat ataupun di Bandung, menurut Asep Saripudin—perwakilan dari Disnaker Kota Bandung—telah memiliki regulasi yang ideal untuk mendukung perempuan bekerja, misalnya dengan menyediakan laktasi, upah yang layak dan setara.

Namun, memang regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah ini belum bisa berjalan dengan maksimal. Oleh karenanya, perlu ada kolaborasi para pihak untuk terus menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan bekerja. Egie Fauzi—perwakilan dari Komuji Indonesia—menyebut bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dibuat sedemikian rupa dalam bentuk program yang bisa dilaksanakan komunitas atau ormas keagamaan, sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan bisa sampai dengan baik ke masyarakat. Adapun pembiayaan program tersebut bisa mengakses pada dana-dana CSR yang dimiliki oleh perusahaan. Dan, yang terakhir seluruh program harus terkover oleh media melalui exposure.

Dalam hal kampanye, Lies Marcoes—Direktur Eksekutif Rumah KitaB—menyebut dalam sambutan di awal acara bahwa Rumah KitaB secara aktif melalui skema Muslimah Bekerja memproduksi dan mendiseminasikan gagasan yang ramah terhadap perempuan bekerja.[NA]

Melindungi Anak dengan Sikap Terbuka

Oleh: Lies Marcoes-Natsir & Faqihuddin Abdul Kodir  

 

YAYASAN Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) atas dukungan OSLO Coalition melalui program NDIT akan menyelenggarakan seminar internasional dan peluncuran buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur`an, Hadits dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak”, pada Selasa, 5 Juli 2022, Pukul: 08.30 – 12.30 WIB, Ruang Theater Kampus UIII Cisalak, Sukmajaya, Depok.

Secara khusus Dr. Lena Larsen dari Oslo Coalition hadir untuk memberikan sambutan. Sementara pengantar akan disampaikan Prof. Dr. Jamhari Makruf, Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Sejumlah tokoh diundang menjadi pembicara, seperti: Prof. Dr. Nelly van Dorn (Perwakilan Oslo Coalition), Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A. (Guru Besar Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga), Usman Hamid, S.H, M.Phil. (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), dan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, M.A. (Penulis). Dan Prof. Dra. Nina Nurmila, Ph.D. (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Islam Internasional Indonesia) bertindak sebagai moderator.

______________

 

Buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur`an, Hadits dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak ini diolah dari paper-paper hasil penelitian mandiri yang dilakukan oleh para peneliti Rumah KitaB. Mereka adalah: Fadilla Dwinati Putri yang dibantu Lies Marcoes mengumpulkan bahan dari data lapangan serta kajian referensi tentang regulasi hak-hak akan seperti Konvensi Hak-hak Anak serta Undang-Undang Perlindungan Anak; Jamaluddin Muhammad yang juga dibantu Lies Marcoes melakukan kajian tentang fikih dan analisis yang memperlihatkan kesenjangan antara fikih tradisional dan kebutuhan adanya fikih kontemprer dengan menimbang perubahan corak keluarga, tanggungjawab orang tua terutama ayah dan peran laki-laki dalam keluarga, hadirnya negara bangsa paska kolonial, isu dan analisis gender; Achmat Hilmi bersama Faqihuddin Abdul Kodir menulis kajian tentang tantangan membaca teks keagamaan dengan ragam metodologi terutama maqâshid al-syarî’ah; Rifa Tsamratus Sa’adah bertanggungjawab mengumpulkan kajian tafsir al-Qur`an yang dalam penajaman isu gendernya dibantu oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan Lies Marcoes; serta Faqihuddin Abdul Kodir secara khusus mengkaji hadits. Seluruh fokus penelitian ini adalah soal upaya pemenuhan hak-hak anak dari pendekatan keagamaan yang disandingkan dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.

Kajian ini berangkat dari sebuah landasan keyakinan bahwa lahirnya setiap anak di seluruh tempat di dunia, membawa harapan, cita-cita, dan mimpi manusia yang terus mengalami pembaruan. Tidak ada yang mengingkari bahwa anak adalah harapan masa depan. Mereka akan membuat masa depan, karena mereka adalah penentu masa depan seluruh bangsa dan harapan yang lahir untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan cita-cita masa depan.

Perkembangan pemikiran tentang hak-hak asasi manusia dalam skala internasional telah mendorong munculnya perhatian dan kesadaran mengenai pentingnya penguatan dan penghormatan hak-hak tersebut bagi seluruh manusia tanpa kecuali. Berangkat dari Prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pengakuan terhadap kehormatan semua anggota keluarga umat manusia dan hak-hak mereka secara setara, dan dengan berpijak pada kebebasan, keadilan, dan kedamaian di dunia, maka hak-hak anak dan urgensi perlindungannya menjadi bagian tak terpisahkan dari hak-hak asasi manusia secara menyeluruh.

Secara normatif, setiap keluarga di dunia telah terikat dan karenanya mesti mengakui hak-hak anak sebagai nilai-nilai universal yang secara juridis legal formal ditetapkan pada tahun 1989 ketika Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The Rights of The Child) diadopsi sebagai kesepakatan dunia dengan beberapa negara yang melakukan pengecualian. Secara umum warga dunia berkomitmen untuk mewujudkan tujuan-tujuan sebagaimana  diatur di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Anak pada tahun 1990. Sebagai bentuk kesepakatan itu, setiap negara kemudian mengembangkan aturan atau Undang-Undang. Negara Indonesia misalnya bahkan telah lebih dahulu memasukannya ke dalam konstitusi negara yaitu ke dalam UUD 45 Pasal 20, Pasal 28B, Pasal 28D. Setelah itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Peradilan Pidana Anak, dan UU No. 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Besarnya upaya untuk memberi jaminan perlindungan kepada anak melalui jaminan hukum merupakan sebuah bukti bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang sangat rentan mengalami pelanggaran haknya. Dalam laporan tahunan 2010, UNICEF menyatakan bahwa anak telah menjadi suluh dalam perang di lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat beragam penyimpangan penggunaan senjata seperti bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak. Dilaporkan juga pada tahun 2003, bahwa selama lebih dari 15 tahun sebelumnya sebanyak dua juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata, sebagaimana sekitar enam juta anak lainnya terkena ledakan bom. Sebagian dari mereka menderita kerusakan tubuh secara permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.

Dalam setiap konflik, anak menjadi pihak yang paling beresiko. Namun resiko pada anak perempuan akan lebih berat. Dengan menggunakan analisis gender kita dapat melihat bahwa dalam situasi amanpun anak perempuan mengalami resiko berkali lipat dari laki-laki karena faktor gendernya. Mereka menjadi sasaran kekerasan seksual, perdagangan manusia, dilacurkan, mengalami kerja berlipat ganda, dan mereka paling cepat tersingkir dari dunia pendidikan dengan alasan-alasan yang didasarkan pada rendahnya penghargaan kepada anak perempuan.

Tidak hanya dalam keadaan konflik, bahkan dalam keadaan damaipun, hak-hak anak sangat rentan dilanggar termasuk dalam hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak atas kesehatan, hak kembang-tumbuh, hak pengasuhan dan perlindungan dan hak pendidikan. Berdirinya UNICEF sebagai lembaga perlindungan anak di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1946 setelah berakhirnya Perang Dunia ke II menunjukkan banyak hal yang terkait dengan anak. Dampak kolonialisme telah memunculkan problem maha dahsyat kepada anak-anak laki-laki atau perempuan di dunia berkembang yang umumnya dialami oleh wilayah bekas koloni dari negara-negara jajahan Eropa dan Amerika. Mayoritas mereka berada di wilayah yang semula menjadi kekuasaan kesultanan Islam.

Islam adalah agama yang menjadi sumber kebudayaan dan peradaban dunia yang juga memberi perhatian kepada isu anak. Islam tak hanya mengutamakan aspek ibadah tetapi juga muamalah (isu-isu sosial ekonomi) dan al-ahwâl al-syakhshîyyah  (isu-isu keluarga). Dalam ketiga rumpun ajaran Islam itu anak, sebagaimana perempuan, menjadi subyek perhatian dalam mengatur posisi, peran, dan tata hubungan mereka dengan pihak lain, terutama di dalam hubungan-hubungan keluarga. Secara umum tentu saja aturan yang dibangun dalam Islam bertujuan untuk memberi perlindungan dan kemaslahatan kepada anak. Namun dalam stuktur sosial yang ada kedudukan anak di dalam keluarga, masyarakat berpotensi memunculkan relasi yang timpang seperti dalam relasi antara orang dewasa dengan anak-anak; suami dengan istri; orang tua dengan anak dan seterusnya, anak dalam kelompok mayoritas dengan minoritas dan seterusnya.

Sebagai sebuah sistem nilai sekaligus praksis yang mengatur hubungan-hubungan sosial itu, Islam telah menawarkan aturan- aturan yang terkait dengan anak, baik aturan  yang bersifat normatif/nilai-nilai maupun yang bersifat praksis/terapan. Namun sebegitu jauh karena cakupan dan jangkauan penerapannya hanya mencakup relasi-relasi yang masih berada dalam lingkup privat, personal dan terbatas, perlindungan yang ditawarkan Islam terutama untuk yang bersifat terapan dianggap tidak dapat mencakup kebutuhan riil anak-anak dewasa ini. Hambatan yang paling besar adalah karena ajaran yang mengatur tentang tata hubungan bagi anak pada umumnya lahir dalam satu tatanan masyarakat patriark yang benar-benar masih berpusat kepada keluarga (ayah, atau laki-laki lain dari garis ayah)  di saat kekuatan keluarga masih bertumpu kepada sistem kekerabatan atau klan karena negara bangsa belum lahir sementara bangunan hubungan umat dan kekuasaan tak lagi menjadi model di dunia setelah terbentuknya negara bangsa. Apalagi kemudian Islam masuk ke dalam era kolonialisme dan berlanjut ke pembentukan sistem negara bangsa (republik) yang modern di mana keluarga hanya menjadi bagian kecil saja dalam pengaturan keluarga dan untuk pemenuhan hak-hak anak.

Harus diakui, akibat kolonialisme, dan konflik-konflik internal, serta berakhirnya masa kejayaan dan keemasan Islam yang ditandai dengan matinya pengembangan pengetahuan di internal dunia Islam, umat Muslim mengalami kemacetan paradigmatik dalam mengembangkan hak-hak anak yang berakar dari tradisi pemikiran Islam sendiri. Dalam perkembangannya paradigma untuk pemenuhan hak-hak anak mengalamai polarisasi, antara yang bertumpu pada hukum hukum internasional yang mengabaikan atau tidak mengadopsi pengalaman umat Muslim di satu pihak, dan umat Muslim sendiri yang terus berkuat dengan aturan-aturan fikih yang memang telah mengatur secara rinci tentang tata cara mengurus anak dalam keluarga yang enggan memperhatikan perkembangan internasional yang telah melahirkan konvensi-konvensi tentang anak.

Sebagaimana dijelaskan di bagian Pengantar dan seterusnya, buku ini merupakan ikhtiar untuk mengatasi kemacetan paradigmatik itu dalam upaya bersama menawarkan  perlindungan  anak dengan menyerap pengalaman umat Muslim. Cara yang dilakukan adalah melakukan dialog reflektif atas tiga domain besar sumber hukum yang secara de facto berkembang di dunia: hukum internasional konvensi hak anak, hukum Islam (fikih), dan yang menjadi sumber hukumnya itu sendiri yaitu al-Qur`an dan hadits.

Sebagaimana dilihat, buku ini terbagi ke dalam dua pembahasan. Pembahasan pertama mengurai norma-norma hukum dan pandangan agama yang telah tersedia dalam khazanah pemikiran dan karya para pendahulu yang mencurahkan perhatiannya kepada isu anak. Pembahasan kedua mencakup tawaran dekonstruksi pembahasan isu anak yang berupaya mempertemukan dua norma, sekaligus dua karakter, sumber hukum yang membahas isu hak anak yaitu norma regulasi (hukum positif) dan norma agama.

Pembahasan berangkat dari sekumpulan informasi untuk menjawab: sejauh mana dua norma  itu menyediakan seperangkat aturan yang dapat melindungi dan memenuhi hak anak di era kontemporer dewasa ini. Utamanya dari sisi norma agama yang secara historis telah dibangun selama berabad-abad di masa lampau. Ketika itu fikih dijadikan rujukan tunggal untuk urusan al-ahwâl al-syakhshîyyah atau hukum perdata, sementara norma regulasi seperti CRC, atau Konvensi Internasional tentang hak anak, dirumuskan di abad belakangan ketika struktur dan relasi-relasi sosial di dalam dan di luar keluarga telah berubah.

Pada pembahasan bagian pertama, dihadirkan beberapa persoalan; antara lain, problem cara pandang norma-norma (terutama norma agama) yang berorientasi kepada pendekatan legalistik sebagai prasyarat pemenuhan hak anak. Pendekatan itu berkonsekuensi pada pengabaian kepentingan anak itu sendiri karena subyek orientasi pendekatan legalistik itu (terutama dalam fikih) ternyata bukan anak melainkan orang dewasa. Di samping itu, problem lainnya ada pada fikih sendiri yang menganggap pemenuhan hak anak hanya bertumpu kepada tanggung-jawab individu (dalam tataran keluarga), tanpa menuntut negara, lembaga non negara, korporasi, perusahaan-perusahaan, lembaga dan organisasi, masyarakat secara umum, termasuk badan-badan dunia terutama kerjasama antar negara-negara Islam.

Sebagai tawaran, yang dibahas pada bagian kedua, konstruksi buku ini telah menggambarkan refleksi yang memperlihatkan perlunya kolaborasi antar norma. Artinya, baik norma agama maupun aturan hukum positif harus melakukan refleksi internal apakah semangat norma-norma itu betul-betul untuk memberikan hak-hak kepada anak atau masih ada hal yang perlu diperbaiki dan diperkuat. Kolaborasi dimaksud adalah tidak menutup peluang melainkan saling membuka diri dan memperkuat antar norma-norma atau aturan dengan tujuan utamanya yaitu semata-mata demi perlindungan anak.

Harus diakui, dalam upaya kolaborasi itu, kedudukan Undang-Undang (UU) seolah-olah lebih rendah dari norma agama. Ini dapat dimaklumi karena buku ini berangkat dari khazanah pemikiran umat Muslim. Hal yang terpenting UU harus berkolaborasi dengan konvensi internasional, atau dengan hukum adat dan hukum fikih sepanjang hasilnya untuk kebutuhan terbaik bagi anak. Begitu juga dengan hukum Islam, sebagai norma ia tidak boleh merasa paling benar dan paling sempurna dengan mengabaikan pengalaman sumber hukum lain meski nuansanya sekuar sekalipun.

Dalam pendekatan kolaboratif itu, norma-norma yang diatur dalam Islam harus terbuka  kepada  berbagai buah peradaban dunia, aturan, hukum, dan konvensi yang dengan sungguh-sungguh telah mengupayakan perlindungan bagi anak. Hal yang harus dilakukan adalah saling menguatkan bahwa norma dan aturan itu sejauhmana sudah benar-benar memberikan penguatan untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.

Sejauh ini, dalam konteks Indonesia regulasi yang tersedia sudah cukup jelas berkehendak untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan hak anak. Namun pernyataan itu masih harus diuji untuk memastikan bahwa semua UU terkait dengan anak yang telah ada  sudah benar-benar memberikan perlindungan kepada anak. Karenanya harus ada kesediaan uji materi terkait konten dan teks dari UU yang sudah ada. Studi Rumah KitaB dalam soal batas kedewasaan misalnya menunjukkan antara satu UU dengan UU yang lain masih berbeda-beda; dalam UU pemilu batas kedewasaan itu 17 tahun, tetapi untuk menikah harus 19 tahun, dan untuk UU trafficking ditetapkan batasannya 20 tahun.

Masih banyak contoh lain yang memperlihatkan adanya ketegangan dan silang seketa antara norma hukum dengan norma agama, di internal negara dan internal pandangan norma agama. Buku ini sebagaimana dilihat telah menekankan pentingnya upaya kolaborasi antar norma sepanjang bertujuan untuk perlindungan anak.

Perlunya konsolidasi dan kolaborasi di internal norma agama juga terkait dengan tradisi. Dalam hukum keluarga di Indonesia didasarkan teori resepsi yang dikembangkan sejak masa kolonial, tradisi atau kultur atau adat diterima sebagai hukum dan diserap menjadi hukum agama jika telah berlaku di dalam masyarakat meskipun dari sisi fikih/syariat belum tentu diterima. Sejauh penelitian untuk buku ini dilakukan, aspek kultur masih menjadi PR besar. Pada konteks ini, buku ini menegaskan bahwa hukum Islam harus hadir untuk menguatkan kultur dan norma agar anak-anak memperoleh hak dan perlindungan.

Sebagaimana dapat dibaca dalam bab satu sampai empat, bagian kedua dari buku ini  telah  mengarah pada upaya agar hukum (fikih) Islam tidak terjebak pada problem yang sama yang dialami oleh norma hukum atau regulasi. Bab-bab dalam buku ini telah mengupayakan agar hukum Islam tidak diposisikan sebagai aturan yang paling benar dan paling sempurna dan kebal kritik, melainkan menjadi norma yang dapat menguatkan norma yang lain (hukum postitif) demi memastikan anak-anak memperoleh hak-haknya, bahkan dengan mengakui kelemahan atau kekurangan dari cara kerja dan konsep-konsep yang ada dalam norma agama yang selama ini telah tersedia.

Sebagaimana diruaikan di semua bab dari buku ini, pembahasan hukum Islam terkait hak-hak anak ternyata belum sepenuhnya ditujukan untuk merespons kebutuhan anak, tapi lebih untuk merespons kondisi orang dewasa, yang asumsinya kelak secara resiprokal akan menjamin hak-hak anak. Orang dewasa dibahas secara sangat mendetail dengan asumsi sebagai prasyarat yang harus dimiliki oleh mereka (orang tua/orang dewasa) agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai pihak yang dapat melindungi anak. Namun ironisnya, terkait dengan hak anak sendiri ternyata porsi pembahannya justru sangat kecil.

Atas dasar itu pembahasan dalam buku tentang hak-hak anak ini berangkat dari kebutuhan anak dengan kerangka maqâshid al-syarî’ah. Hal yang sama juga terkait dengan kajian tafsir dan hadits. Dalam membedah isu-isu yang danggap penting dalam perlindungan anak, buku ini menawarkan kerangka maqâshid al-syarî’ah yang tidak alergi dalam mencari dan menemukan aturan, norma atau inisiatif yang sudah ada seperti di UU, atau di peraturan lainnya selama betul-betul memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Dalam kodifikasi hukum, pengalaman umat Muslim sebetulnya telah memadai. Seperti diketaui, pada awalnya dalam pencarian kebenaran, hukum Islam dilakukan kajian perbandingan antar metodologi dan antar mazhab. Satu sama lain diuji untuk memutuskan mana yang paling benar secara metodologis (tanpa memikirkan isi teks). Namun pada akhirnya, untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kontemporer, metode komparasi yang kaku  seperti itu sudah tidak dapat dilakukan lagi bahkan ditinggalkan. Sekarang semua ikhtiar dilakukan dengan cara  eklektik dan campuran: memakai mazhab Syafi’i dalam satu hal, tapi memakai mazhab Hanafi dalam hal lain sambil menanggalkan mazhab Syafi’i. Cara itu sekarang telah biasa dilakukan misalnya dalam perumusan hukum Islam di berbagai  lembaga, seperti Bahtsul Masail di NU dan keputusan fatwa MUI di Indonesia. Jadi untuk kebutuhan memberikan kepastian hukum (agama), segala sumber hukum yang berlaku dalam hukum Islam digunakan dengan mengambil seluruh khazanah keagamaan dari mazhab apapun. Pada akhirnya semuanya diambil selama itu bisa menjawab kebutuhan kontemporer.

Jadi buku ini berupaya menawarkan maqâshid al-syarî’ah sebagai kerangka yang  kuat untuk memastikan anak menjadi subjek dan terpenuhi haknya. Pembahasan tentang hak anak  menjadi lebih komprehensif ketika kerangka maqâshid al-syarî’ah berangkat dari kebutuhan anak itu sendiri. Dengan kerangka seperti itu, maka konsep prinsipil yang harus dijadikan landasan adalah hak anak, misalnya hak untuk hidup. Sementara aspek lainnya adalah partikular belaka yang harus tunduk dan menyesaikan dengan konteks, waktu dan keadaan.

Untuk memastikan bahwa kajian keagamaan, yaitu fikih, tafsir al-Qur`an dan kajian hadits dapat membuka diri kepada isu-siu baru terkait isu perempuan sembari menggunakan kerangka maqâshid al-syarî’ah atau kerangka lain yang sejenisnya seperti Mubadalah, buku ini mengusulkan agar dilakukan sejumlah kajian dan riset untuk tema-tema berikut:

Pertama, pemutakhiran riset-riset yang terkait situasi buruk anak di dalam atau di luar keluarga, di wilayah privat atau publik. Ini untuk menjelaskan bahwa problem anak saat ini  sama sekali tak sama dengan yang dibayangkan oleh umat Muslim di masa lampau sebagaimana dibayangkan dalam hukum-hukum fikih yang terlihat jejaknya dalam cara mengatasi  masalah itu yang masih betumpu kepada  penyediaan santunan anak yatim-piatu. Riset serupa ini juga diperlukan untuk mengenali karakteristik anak yatim piatu dewasa ini yang tak hanya berwujud yatim piatu karena tidak lagi memiliki ayah dan ibu, tetapi yatim piatu secara sosial di mana ayah dan ibu dihilangkan keberadaannya akibat sistem eksploitasi ekonomi yang menghisap kaum miskin seperti migrasi, sistem pengelolaan sumber ekonomi yang eksploitatif, sistem putting out di industri perkotaan atau karena mobilisasi orang tua yang memaksa mereka meninggalkan anak-anak di kampung.

Kedua, menyajikan kajian tentang keragaman anak; bahwa anak itu tidak tunggal dari sisi suku, ras, agama, gender, keadaan fisik, latar belakang geografi yang membedakan akses, partisipasi, penerimaan manfaat dan kontrol mereka atas sumber daya yang tersedia berupa sumber daya alam, ekonomi, politik, dan waktu.

Ketiga, pemutakhiran riset tentang kekerasan kepada anak dalam bentuk-bentuk yang harus didalami secara mendasar. Misalnya kekerasan yang tak kentara namun benar-benar nyata seperti pemaksaan perkawinan dengan menyalahgunakan aturan fikih seperti kawin mut’ah, kawin sirri dan sejenisnya. Riset terkait kekerasan juga harus dilakukan dengan menyadari perkembangan dan penyimpangan sosial media. Fikih dan tafsir keagamaan yang bersumber dari al-Qur`an dan hadits membutuhkan kajian yang cukup yang dapat menjelaskan soal model-model pengasuhan anak yang terlepas dari sistem kekerabatan tradisional sehingga pengawasan pada pengasuhan anak tak lagi memadai. Munculnya balita yang menjadi korban penggunaan gadget yang mengalami gangguan bicara, gangguan fokus, autis yang muncul di masa pengasuhan bukan bawaan, atau anak yang semakian tempramental dan cenderung menjadi pelaku kekerasan.

Keempat, pemutakhiran riset untuk isu-isu khusus gender di mana anak perempuan mengalami penyingkiran dari lembaga pendidikan, tempat kerja, ruang publik, atau mengalami beban kerja yang berlipat ganda.

Kelima, pemutakhiran riset kekerasan kepada anak dalam situasi konflik fisik, psikis, sosial ekonomi.

Keenam, hal yang tak kalah penting adalah pemutakhiran riset dari dampak menguatnya konservatisme agama yang menyebabkan anak menjadi korban pendekatan keagamaan yang tekstualis yang melahirkan praktik kawin anak, sunat perempuan, kawin paksa, dan pola asuh yang hegemonik dan doktriner pada anak yang menjauhkan mereka dari dunia permainan untuk tumbuh kembangnya yang relevan.

Kajian kajian serupa itu harus hadir dalam referensi umat Muslim ketika bicara tentang hak-hak anak. Dengan melakukan upaya-upaya pemutakhiran data dan analisis, kita akan mendapatkan jalan untuk panduan ke depan tentang bagaimana hak-hak anak dapat dikembangkan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai yang berlaku dan dikenali dalam Islam. Sebagaimana dalam kajian gender, sangat penting untuk membangun paradigma baru dalam metode pembacaan teks, antara lain maqâshid al-syarî’ah yang digunakan untuk melihat hak-hak anak. Hal lain yang dapat dilakukan adalah meletakakkan secara setara sumber-sumber hukum yang ada baik dari konvensi, hukum fikih maupun tafsir al-Qur`an dan hadits. Hal yang tak kalah penting adalah mendialektikkan sumber hukum yang ada  dengan cara yang lebih membaca solusi ke depan, dengan membaca tantangan yang lebih nyata berbasis riset.[]

Hikmah di Balik Peristiwa Qurban

MENGAPA kisah Ibrahim as. selalu diulang-ulang kepada kita setiap tahun? Apa tujuan umat Muslim mengikuti teladan Nabi Ibrahim menyembelih qurban? Dan mengapa tindakan seorang ayah yang ingin menyembelih anaknya ribuan tahun yang lalu itu menjadi perayaan yang penuh suka cita dan kegembiraan? Semua pertanyaan ini muncul di benak kita saat kita merenungkan kisah Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as. Dan untuk menjawab semua pertanyaan ini, ada baiknya bila kita membaca ulang firman Allah di dalam al-Qur`an,

Dan Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai [pada usia sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis[nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. Dan Kami panggil dia, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, [yaitu] ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman,” [QS. al-Shaffat: 99 – 111].

Berdasar ayat ini, setidaknya ada sejumlah hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa agung tersebut yang bisa menjadi petunjuk bagi setiap keluarga yang menginginkan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.

Pertama, kebenaran mimpi para nabi. “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” [QS. al-Shaffat: 102]. Di masa kecilnya Ismail tahu bahwa mimpi para nabi adalah haqq, benar, bukan hoax, dan bahwa mimpi para nabi di dalam tidur adalah wahyu dari Allah, sehingga tanpa ragu ia berkata, “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Ini menunjukkan bahwa sejak kecil Ismail telah menerima pendidikan ketauhidan dan keimanan yang sempurna dari Nabi Ibrahim.

Kedua, mendengar dan mentaati perintah Allah: Ismail menerima permintaan ayahnya meskipun permintaan itu sangat berat dan sulit, “Tatkala keduanya telah berserah diri,” [QS. al-Shaffat: 103]. Ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim dan Ismail menerima dan mentaati perintah Allah. Nabi Ibrahim menutup wajah Ismail supaya beliau tidak melihatnya kesakitan saat disembelih sehingga membuat beliau ragu untuk menunaikan perintah Allah tersebut.

Ketiga, ketaatan akan segera mendapatkan balasan dari Allah: ketika seseorang mentaati Allah, Allah akan membalasnya dengan kebaikan. “Dan Kami panggil Ibrahim, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” [QS. al-Shaffat: 104 – 107]. Nabi Ibrahim langsung menerima penghargaan dari Allah karena keberhasilannya menghadapi cobaan keluarga, dan Ismail juga langsung menerima penghargaan berupa domba jantan karena ketaatannya.

Keempat, perbuatan baik akan berumur panjang dan pengaruhnya sangat besar. Kisah ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi sejarah bagi manusia dan agama bagi kemanusiaan. Pengaruh dari peristiwa agung itu akan terus kita rasakan bahkan hingga hari Kiamat.

Kelima, yang dapat kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail adalah jalinan hubungan kepercayaan antara keduanya. Kita lihat percakapan antara Nabi Ibrahim dan Ismail yang menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat kuat. Hubungan yang terjalin antara keduanya bukan sekedar hubungan ayah dan anak, tetapi hubungan kepercayaan. Hubungan seperti ini sangat sulit kita temui pada zaman sekarang ini, di mana orangtua dan anak saling percaya satu sama lain. Nabi Ibrahim tidak pernah bohong kepada Ismail. Sebaliknya, Ismail, karena pendidikan yang diterimanya sejak kecil, selalu percaya kepada Nabi Ibrahim.

Maka ketika Nabi Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”, beliau tahu dan yakin bahwa Ismail pasti akan menerimanya. Kenapa? Karena Ismail percaya bahwa yang dikatakan Nabi Ibrahim adalah kebenaran, bukan hoax. Oleh karena itu, setiap orangtua perlu menjalin hubungan saling percaya dengan anak-anaknya.

Keenam, perlunya dialog antara orangtua dan anak. “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Meskipun Nabi Ibrahim menerima perintah penyembelihan dari Allah Swt., tetapi beliau tetap meminta pendapat dari Ismail. “Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ini merupakan suatu isyarat pendidikan yang sangat penting, bahwa orangtua harus selalu berdialog dengan anak-anaknya bahkan dalam perkara-perkara wajib yang datang dari Allah sekalipun. Karena anak-anak, terutama anak-anak remaja, saat mereka diajak untuk berdialog, mereka akan merasa dihormati dan dihargai. Mereka sangat benci dan tidak suka dipaksa-dipaksa. Makanya jalan dialog, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim, adalah jalan yang dapat ditempuh oleh para orangtua untuk menanamkan kesadaran kepada anak-anaknya mengenai kewajiban menjalankan perintah agama.

Ketujuh, kesabaran melaksanakan perintah yang sulit. “Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Ismail, seorang anak yang usianya belum genap 15 tahun, mengerti betul mengenai arti kesabaran dan menjalankannya di dalam kehidupan dengan selalu meminta pertolongan dari Allah. Ini merupakan indikasi keberhasilan pendidikan di dalam rumah tangga Nabi Ibrahim, meskipun beban dan cobaan yang beliau hadapi sangat berat dan sulit.

Kalau Nabi Ibrahim gagal mendidik Ismail menjadi anak yang beriman dan sabar, ketika dikatakan kepadanya, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”, mungkin Ismail akan menjawab, “Ayah, aku masih muda, banyak yang bisa aku lakukan untuk masa depan. Justru ayah yang sudah tua renta dan bau tanah yang harus disembelih. Tanpa disembelih pun sebentar lagi ayah juga akan mati.”

Kedelapan, cobaan keluarga. “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, [yaitu] ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim,” [QS. al-Shaffat: 106 – 109]. Nabi Ibrahim sudah lama menginginkan kehadiran seorang anak di dalam rumah tangganya. Baru di usia yang ke-86 tahun beliau dikaruniai seorang anak bernama Ismail. Sungguh, itu adalah penantian yang sangat panjang. Ketika Ismail sudah terlahir ke dunia, Nabi Ibrahim sangat mencintai dan menyayanginya. Bersama Siti Hajar beliau mendidik dan mengasuh Ismail dengan baik. Cinta dan kasih-sayang Nabi Ibrahim kepada Ismail diwujudkan dengan memberikannya pendidikan yang baik, bukan menuruti apapun kemauannya.

Berbeda dengan orangtua di zaman sekarang. Demi anak, banyak orangtua di zaman sekarang yang rela melakukan apapun, rela “peras keringat banting tulang” siang dan malam tanpa kenal lelah. Dan beberapa waktu lalu kita mendengar berita yang sempat viral mengenai seorang ayah yang nekat mencuri laptop supaya anaknya bisa belajar online seperti anak-anak yang lain. Bahkan di zaman ini, demi mendapatkan anak, banyak laki-laki yang tega menceraikan istrinya supaya bisa kawin lagi.

Ketika Nabi Ismail mulai menginjak usia remaja, dan Nabi Ibrahim sedang sayang-sayangnya, Allah Swt. memberikan perintah untuk menyembelihnya. Bayangkan, Nabi Ibrahim menunggu selama 86 tahun untuk mendapatkan seorang anak. Tetapi begitu anak itu lahir, beliau diminta untuk menyembelihnya. Dan hal yang paling berat adalah penyembelihan itu harus dilakukan oleh Nabi Ibrahim sendiri. Ini adalah cobaan keluarga yang amat sangat hebat. Tetapi Nabi Ibrahim berhasil melewati cobaan itu, sehingga Allah kemudian menganugerahi beliau dengan kelahiran anak kedua, yaitu Ishaq.

Kesembilan, bahwa pertolongan pasti datang setelah kesusahan. “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” [QS. al-Shaffat: 110]. Inilah sunnah kehidupan, bahwa akhir yang baik adalah bagi orang-orang bertakwa, bahwa kemenangan akan datang bagi orang-orang yang sabar, dan bahwa bersamaan dengan kesusahan terdapat kelapangan. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah fana, sirna, dan bisa lepas dari genggaman. Dunia tidak abadi, dan tidak ada satu makhluk pun yang hidup kekal di dunia ini. Demikian juga kesusahan, pasti berlalu, tidak langgeng, dan waktunya terbatas.

Banyak sekali nilai kebaikan yang bisa pelajari dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Dan Allah telah memasukkan Nabi Ibrahim dan Ismail ke dalam golongan muhsinîn, yaitu orang-orang yang ikhlas dalam amal-perbuatan karena selalu merasa diawasi oleh Allah, sabar menghadapi segala cobaan hidup, dan senang melakukan kebajikan dan kebaikan. Mereka adalah “orang-orang beribadah kepada Allah seolah-olah mereka melihat-Nya, dan jika mereka tidak melihat-Nya maka mereka yakin bahwa Dia melihat mereka”.

Kesepuluh, bahwa penyembelihan Ismail yang diganti dengan binatang berupa kambing jantan, menurut para ulama mempunyai dua makna:

(1). Merupakan simbol bahwa manusia harus mampu mengendalikan nafsu kebinatangan di dalam dirinya. Di dalam diri manusia terdapat dua unsur, yaitu unsur kemalaikatan dan unsur kebinatangan. Manusia dituntut untuk menjaga keseimbangan antara keduanya. Asupan bagi otak adalah ilmu dan pengetahuan, sedangkan asupan bagi perut adalah makanan. Banyak orang yang karena terlalu sibuk mengurusi urusan perut sampai lupa memberikan asupan kepada otaknya. Makanya ada pepatah yang mengatakan, “Law lâ al-‘ilmu lakâna al-nâs ka al-bahâ`im,” (Kalau tidak karena ilmu, niscaya manusia akan seperti binatang). Artinya, orang yang hanya peduli dengan urusan perutnya, maka ia tak ubahnya seperti binatang.

(2). Merupakan sebuah petunjuk bahwa kita tidak boleh membunuh manusia tanpa alasan yang hak. Salah satu tujuan diturunkannya syariat (maqâshid al-syarî’ah) adalah hifzh al-nafs (menjaga jiwa), yaitu menjaga jiwa manusia. Allah Swt. berfirman,

Bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu [membunuh] orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya,” [QS. al-Maidah: 32].[]

Al-Qur`an, Sejarah, dan Budaya

MASIH jelas dalam ingatan kita pandangan kontroversial tentang historitas dan kebudayaan al-Qur`an yang dilontarkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam karyanya, “Mafhûm al-Nashsh”. Ia berpendapat bahwa al-Qur`an adalah produk budaya (muntaj tsaqâfîy). Banyak orang yang menilai pandangan itu menyesatkan. Namun, itu adalah kreativitas Nasr Hamid Abu Zaid sebagai seorang pemikir yang mempunyai wawasan keagamaan cukup dalam dan punya kemauan keras untuk mengkaji al-Qur`an berdasarkan kerangka sosio-historisnya.

Ada beberapa faktor yang membuat kita sependapat dengan pandangan Nasr Hamid Abu Zaid tentang historitas dan kebudayaan al-Qur`an. Pertama, penggunaan bahasa Arab. Allah berfirman dalam al-Qur`an, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur`an dengan bahasa Arab, agar kamu berpikir (memahami).” Memahami ayat ini, kita melihat bahwa maksud Allah menurunkan al-Qur`an dengan bahasa Arab adalah agar kita menggunakan potensi akal untuk berpikir. Setiap muslim tentu yakin dan beriman bahwa al-Qur`an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada utusan-Nya, Muhammad Saw., melalui perantara malaikat Jibril dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Namun yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa al-Qur`an itu menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa Arab.

Sebagai bahasa manusia, tentunya bahasa Arab memiliki banyak keterbatasan karena sifatnya yang konvensional. Berbahasa Arab menandakan pula berbahasa menurut tradisi masyarakat Arab ketika itu yang tidak saja berkaitan dengan korelasi kata dan makna, lebih dari itu juga berkaitan dengan bahasa dan pola pikir mereka. Tidak mengherankan bila banyak dari materi atau kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang dipengaruhi oleh unsur-unsur sosio-kultural, politis, mistis dan hal-hal lainnya yang memang menjadi khas masyarakat Arab.

Kedua, maskulinitas al-Qur`an. Siapapun orang yang membaca al-Qur`an sepintas akan berpandangan bahwa kitab suci tersebut cenderung memihak kepada kaum laki-laki. Namun ini tidak lantas menunjukkan bahwa Allah lebih mengutamakan kaum laki-laki dan mengesampingkan kaum perempuan (Mahasuci Allah dari sifat diskriminatif), melainkan salah satu dampak dari pemakaian bahasa Arab sebagai bahasa masyarakat yang menganut sistem patriarkhi kala itu.

Ketiga, respon al-Qur`an dalam menjawab prolematika yang ada. Ini sangat historis sekali. Dalam kaitannya dengan hal ini kita bisa mencontohkan asbâb al-nuzûl yang artinya sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur`an. Misalnya begini: dalam al-Qur`an ada sebuah ayat yang berbunyi “Yas`alûnaka ‘an al-khamr” (Mereka bertanya kepadamu tentang khamr). Kita harus tahu kenapa ayat ini turun. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa pada suatu hari ada seorang sahabat yang mengeluh kepada Nabi bahwa para sahabat mabuk, bagaimana mereka mau shalat? Sedangkan saat itu Islam sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun di Madinah. Mereka bertanya, dan Nabi tidak bisa menjawab langsung hari itu juga. Karenanya beliau menyuruh para sahabat menunggu hingga esok hari. Ini artinya apa? Nabi menunggu wahyu. Ini membuktikan bahwa potongan ayat-ayat al-Qur`an itu dibangun dari konstruksi kesejarahan yang sangat kuat. Bisa dibayangkan kalau, misalnya, saat itu tidak ada orang yang bertanya tentang khamr kepada Nabi. Mungkin hingga sekarang kita tidak akan mempunyai ayat tentang khamr. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa al-Qur`an tumbuh dan berkembang bersama sejarah. Dan menurut Nasr Hamid Abu Zaid, itu bisa diinterpretasikan secara historis. Bahasa al-Qur`an adalah bahasa sejarah, bahkan kontekstual, dan konteksnya adalah adalah konteks sejarah.

Keempat, masa-masa kodifikasi al-Qur`an. Pada masa Nabi, al-Qur`an hanyalah merupakan tulisan-tulisan pendek di atas kulit-kulit hewan, daun-daun, dan batu-batu atau juga dalam bentuk hafalan. Jadi, sejak semula sudah ada upaya-upaya serius dalam rangka pemeliharaan al-Qur`an, yang mencapai puncak kesempurnaannya pada masa Utsman ibn Affan. Disebutkan bahwa setelah al-Qur`an dikodifikasi dan menjadi sebuah kitab utuh, sejumlah salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai kota metropolitan Islam.

Menurut pandangan yang diterima secara luas, satu mushaf al-Qur`an disimpan di Madinah, dan tiga salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah, Damarkus, dan satu mushaf lagi disimpan oleh Utsman sendiri. Mushaf di tangan Utsman inilah yang kemudian dikenal sebagai al-imâm (mushaf induk). Latar belakang kodifikasi Utsman dan penyebarannya pada saat itu sangatlah terkait dengan perbedaan bacaan di kalangan umat Muslim. Setelah penyebaran, berbagai mushaf atau fragmen al-Qur`an lainnya yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani dimusnahkan atas perintah Khalifah.[1] Inilah yang kemudian menimbulkan masalah, al-Qur`an yang selama ini diyakini sebagai firman Allah yang a-historis dan sangat transenden, pada akhirnya harus ‘terintervensi’ oleh upaya tangan-tangan manusia yang tidak bisa lepas dari bias-bias politik, sosial, dan budaya.

Kelima, adanya literatur tentang asbâb al-nuzûl, al-ãyãt al-makkîyyah dan al-ãyãt al-madanîyyah juga tentang ayat-ayat yang dihapus/diganti dan menggantikan (mansûkh wa nâsikh). Ini juga sudah cukup dijadikan sebagai justifikasi bahwa konteks sosio-politik dan historis sangat mempengaruhi turunnya ayat-ayat al-Qur`an.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa al-Qur`an adalah wahyu dari Allah. Namun ketika ia hadir ke tengah-tengah manusia dan menggunakan bahasanya, maka ia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh budaya masyarakat di mana ia turun. Apalagi ketika ia terlibat dalam merespon balik problematika kemanusian yang ada ketika itu. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid ketika ia berpendapat bahwa al-Qur`an adalah produk budaya.

Al-Qur`an disampaikan, sebagaimana diriwayatkan, dalam proses kontinyu selama kira-kira 23 tahun. Ketika wahyu diturunkan pertama kali telah terjadi dialog antara Nabi Muhammad dan Jibril di gua Hira. Dialog itu tidak bisa dianggap sederhana, terputus, tetapi merupakan dialog ‘intim’ dan sehat antara manusia dan malaikat, antara bumi dan langit. Dialog tersebut memiliki dimensi-dimensi yang pengaruhnya luas dan menjadi karakter seluruh ajaran Islam. Ketika Malaikat Jibril meminta untuk membaca, Nabi tidak menjawab dengan penolakan. Jawaban beliau adalah “Mâ anâ bi qâri’”. Menurut Prof. Dr. George Tamer—dalam pengantarnya untuk buku “Târîkh al-Qur`ân” (Sejarah al-Qur`an) karya Noldeke—, pernyataan ini, kalau dianggap sebagai pemberitahuan, maka itu menunjukkan sikap sebenarnya dari suatu wujud yang riil. Dan kalau dianggap sebagai pertanyaan, maka itu merupakan tanya-jawab sesungguhnya, yang menggambarkan ‘kebingungan’ akan wahyu yang baginya, untuk pertama kali, nampak sangat aneh dan mengherankan.

Pada dua kondisi tersebut kita melihat sisi ‘kemanusiaan’ yang menerima firman yang turun dari atas. Dimensi kemanusiaan, dimensi realitas historis yang menerima wahyu Allah, tidak ‘mati’, baik dalam dialog tersebut dan juga dalam masa-masa setelahnya. Pengulangan perintah dan jawaban menunjukkan bahwa wahyu tidak datang secara otomatis (sekaligus), akan tetapi dalam proses berkelanjutan. Dalam proses ini Nabi ikut serta dengan segenap jiwa raganya. Di kala wahyu tidak turun, Nabi gelisah dan cemas. Bahkan tak jarang beliau ingin mengakhiri hidupnya. Tidak ada yang melarangnya melainkan malaikat datang memperingatkan. Hal ini perlu direnungkan secara cermat untuk menyingkap beragam makna. Jika dilihat dalam konteks sekarang, sikap Nabi tersebut adalah sikap seseorang yang penuh hasrat dan rindu akan firman Allah yang belum diturunkan, lalu muncullah dalam jiwanya yang penuh kerinduan itu rasa sakit yang mendalam. Dan dalam keadaan seperti itu tidak ada jalan lain untuk menggapai firman Allah kecuali kematian. Dimensi kemanusiaan, dalam posisi ini, berbicara dengan sangat kuatnya dan menampakkan dirinya secara tajam dan jujur.

Unsur kemanusiaan begitu jelas terpampang dalam dialog dengan Allah selama turunnya wahyu. Allah tidak hanya berbicara dengan Nabi, tetapi juga dengan kaum Mukmin, bahkan dengan para Ahlul Kitab dan non-Muslim. Mereka semua adalah ‘lawan bicara’ Allah, mereka juga berbicara satu sama lain, sebagaimana yang terjadi antara para nabi dan kaumnya. Jadi, bukan hanya Allah satu-satunya yang berbicara secara langsung dalam al-Qur`an. Di sana terdapat orang lain yang berbicara. Sebagian berbicara dengan firman Allah, dan sebagian yang lain tidak. Ini tidak berarti bahwa al-Qur`an bukan wahyu dari Allah, tetapi wahyu Allah yang memuat pembicaraan manusia.

Jadi, struktur al-Qur`an sangat dialogis, dinamis dan diskursif. Struktur ini sesuai dengan kondisi-kondisi di mana ia muncul, ketika nantinya ia merupakan wahyu yang diterima, dipindah dan dipindah-pindahkan. Studi ilmiah terhadap al-Qur`an merupakan upaya untuk menyentuh realitas historis ini, upaya mengingatnya kembali melalui studi terhadap surat-surat dan ayat-ayat, tidak terlepas dari ruang dan waktu ketika pertama kali ia diwahyukan. Studi ilmiah adalah upaya untuk kembali ke asal (al-ushûl), ke masa yang di dalamnya wahyu merupakan realitas dinamis, huruf-huruf yang berdenyut, kalimat-kalimat yang dibaca, yang ketika orang yang mendengarkannya pertama kali menjadi terheran-heran dengan keindahan dan keanehan isinya. Upaya untuk mencari jejak asalnya, menyingkap realitas historis yang di dalamnya al-Qur`an dikodifikasi, sekaligus juga muncul riwayat dan pembacaan yang variatif.

Upaya-upaya kritik terhadap kodifikasi al-Qur`an tidak berarti meragukan eksistensinya sebagai kitab suci. Para pemikir seperti Mohammed Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan beberapa pemikir Muslim lainnya, tidak satupun dari mereka yang tidak percaya bahwa al-Qur`an berasal dari Allah. Justru, ketika membaca karya-karya mereka, keimanan kita terhadap al-Qur`an akan semakin bertambah. Dengan keimanan itu kita akan menjadi lebih terbuka untuk berdialog dengan orang lain.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur`an sebenarnya hendak menunjukkan bahwa al-Qur`an tidak lepas dari campur tangan manusia. Artinya, antara al-Qur`an dan manusia selalu terjadi dialektika; pergulatan yang terus-menerus, tidak turun dari Allah langsung berupa sebuah kitab seperti yang ada di tangan kita saat ini. Dari sini dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah berkehendak agar manusia juga ikut berperan—walaupun hanya dalam proses kodifikasi; di samping itu tentu saja dalam penafsirannya—, sebab al-Qur`an diturunkan bukan untuk kepentingan Allah, tetapi demi kepentingan manusia.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur`an tidak dimaksudkan untuk merobohkan keimanan kita terhadapnya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menentukan metode penafsiran yang sesuai. Untuk saat ini, biarlah al-Qur`an kita lihat apa adanya; sudah menjadi sebuah kitab. Yang kita butuhkan adalah metode penafsiran, agar al-Qur`an tidak hanya menjadi sekumpulan teks yang mati, tetapi ia tetap hidup dan dinamis serta mampu berdialektika dengan zaman.

Sekali lagi, studi ilmiah terhadap al-Qur`an sama sekali bukan untuk merendahkannya. Semestinya, di setiap zaman, dalam diri kita harus senantiasa muncul kesadaran bahwa Allah menurunkan makna-makna baru al-Qur`an. Untuk mencari makna-makna baru itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan model penafsiran ulama klasik, di samping itu diperlukan model-model lain yang tentu saja lebih cocok untuk konteks sekarang.

Banyak sekali cara yang bisa digunakan untuk menggali makna-makna baru dalam al-Qur`an. Misalnya dengan cara mengkritisinya dengan membaca ulang sejarah kodifikasinya. Apa yang selama ini digembar-gemborkan tentang kritik terhadap al-Qur`an, bukan terhadap teks al-Qur`an itu sendiri, tetapi lebih kepada hasil penafsiran para ulama terdahulu. Kesempurnaan al-Qur`an justru terletak pada “keterbukaannya” untuk ditafsirkan. Harus ada ijtihad baru sebagai upaya interpretatif terhadap teks-teks al-Qur`an. Ini sesuai dengan perkataan Imam Ali ra., bahwa al-Qur`an tidak bisa bicara, ia hanya bicara melalui manusia dalam menjawab tantangan zamannya.[]

_______________________

 

[1]          Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`an, Yogyakarta: FkBA, 2001, Cet. 1, hal. 131