Apa Jadinya Jika Muslimah Bekerja di Dunia Kreatif?

Rabu, 5 Januari 2022 Rumah KitaB melaksanakan serial diskusi Muslimah Bekerja di Bandung dengan mengangkat tema “Apa Jadinya Jika Muslimah Bekerja di Dunia Kreatif”. Acara yang dihelat di Gajua Teh ini menghadirkan Iim Fahima (Founder @queenridesindonesia, Young Global Leaders of World Economic, 25 Asia Best Young Entrepreneur), Nur Rofiah (Dosen Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an [PTIQ] Jakarta & Founder Ngaji Keadilan Gender Islam), dan Deni Ramadhan (CEO Secco Guitar & CEO 372 Kopi) sebagai narasumber, dan Fadilla D. Putri (Rumah KitaB) sebagai moderator.

Serial diskusi yang dikemas dalam bentuk talkshow ini bekerja sama dengan Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) sebuah komunitas yang berisikan para musisi dan orang-orang kreatif yang berada di Bandung.

Nurasiah Jamil, Manager Opersional Rumah KitaB, membuka acara dengan menyampaikan bahwa serial diskusi Muslimah Bekerja ini adalah kali kedua yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB. Serial diskusi pertama dilakukan di Bogor pada 27 November 2021 dengan mengabil tema “Menjaga Kesehatan Mental dan Work-Life Balance di Masa Pandemi”.

Pemilihan tema untuk Bandung tidak terlepas dari sejarah yang melatari Bandung sebagai tempat inkubasi lahirnya inisiatif perubahan, kreatifitas yang mendorong tumbuhnya ekonomi, dan lahan yang subur untuk menguatnya gairah keagamaan sejak sebelum kemerdekaan. Dari Bandung bisa dilihat segala kreatifitas di sektor ekonomi, misalnya industry cloting dan distro, atau komunitas keagamaan, seperti Persis dan yang paling akhir adalah kemunitas pemuda hijrah yang mulai menjamur di berbagai masjid di Kota Bandung.

Talkshow dipandu oleh Fadilla D. Putri yang memulainya dengan memaparkan hasil riset Rumah KitaB mengenai penerimaan tentang perempuan bekerja. Secara bergiliran, Dilla melemparkan pertanyaan kunci kepada para narasumber.

Iim Fahima adalah narasumber pertama yang mendapat pertanyaan kunci mengenai sejauh mana perempuan bisa berkarier di dunia kreatif—yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Menurut Iim, perempuan, sebagaimana laki-laki, tak memiliki batasan dalam mengaktualisasikan diri dalam kerja-kerja kreatif. Satu-satunya hal yang bisa menghalangi perempuan seharusnya adalah dirinya sendiri, bukan yang lain atau orang lain, apalagi agama. Iim berbagi cerita bagaimana ia dibesarkan oleh keluarga Muslim tradisional yang sangat paham tentang agama. Dan, tak pernah sekalipun orang tua atau kakek neneknya melarang Iim untuk bekerja, apalagi di dunia kreatif yang dilakoni Iim saat ini.

Menurut Iim, bekerja atau mengaktualisasikan potensi adalah bentuk pengabdian (ibadah) kepada Tuhan. Karena kelak di akhirat, setiap orang, termasuk perempuan, akan dimintai pertanggung jawaban atas segala karunia dan potensi yang telah diberikan oleh Tuhan. Oleh karenanya, menurut Iim, bekerja bagi perempuan juga adalah sebentuk ibadah.

Iim juga menyoroti bahwa perempuan yang tidak melakukan aktivitas Kesehatan mentalnya akan terganggu. Hal ini berbeda jika perempuan diberi ruang untuk, berekspresi, bermanfaat untuk masyarakat. Menurut Iim, ketika perempuan beraktivitas kepercayaan dirinya meningkat dan sangat berpengaruh pada Kesehatan mental.

Pun dengan laki-laki yang dijadikan satu-satunya tulang punggung keluarga, menurut Iim juga rentan mengalami masalah Kesehatan mental. Sayangnya, fenomena ini tak tampak di masyarakat karena budaya patriarki yang kuat. Menurut Iim, patriarki ini menyakiti bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki.

Jika Iim sebagai perempuan yang aktif bekerja di dunia kreatif, Dilla kemudian melemparkan pertanyaan kunci kepada Deni Ramdhani—yang terbiasa bekerja dengan perempuan pekerja kreatif,, menyatakan bahwa perempuan sama potensialnya dengan laki-laki dalam dunia kreatif. Dengan pengalamannya di industri musik sebagai produser, Deni mengatakan bahwa perspektif perempuan sangat dibutuhkan dalam industri musik—ada beberapa bagian yang tak bisa diisi dengan perspektif laki-laki. Beberapa proyek yang dia kerjakan bahkan lebih dari setengah timnya berisi perempuan.

Ia kemudian mencerikan bagaimana kelas audio engineering yang ia ikuti selama mengenyam pendidikan master itu hanya berisi laki-laki. Ternyata Deni salah, karena kelas itu ternyata 40 persen diisi oleh perempuan, dan mereka dipekerjakan di festival worldwide. Menurut Deni ada beberpa style dan teknis yang akan susah untuk dipelajari laki-laki, seperti soal ketelitian dan sistem komando.

Iim dan Deni mengakui memang ada tantangan yang dihadapi oleh perempuan ketika memilih bekerja di dunia kreatif. Misalnya, menurut Iim, meskipun pemerintah sudah membuat regulasi mengenai kantor harus menyediakan daycare bagi karyawan yang memiliki anak, tetapi tidak semua perusahaan menyediakannya. Belum lagi terkait dengan pembagian peran domestik dan public yang sering ditanggung secara bersamaan oleh perempuan. menurut Iim harus ada kampanye mengenai pembagian peran yang setara.

Setelah mendapatkan dua gambaran bagaiman perempuan bekerja di dunia kreatif, baik dari pelaku dan mereka yang bekerja dengan perempuan. Dilla kemudian memberikan pertanyaan kunci kepada Nur Rofiah. Sebagai ulama perempuan yang akan menjawab bagaimana pandangan Islam dalam memandang perempuan yang bekerja di ruang publik. Sebab, selama ini banyak sekali pertanyaan atau gunjingan terhadap perempuan yang bekerja di ruang publik, terutama di dunia kreatif, yang tidak sesuai dengan tuntunan agama dan menyalahi kodrat perempuan yang seharusnya di dalam rumah.

Nur Rofiah menjelaskan bahwa Islam hadir juga bukan di ruang kosong tapi di masyarakat yang memiliki nilai yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Tidak hanya di Jazirah Arabiyah, tetapi di berbagai belahan dunia, nilai yang ada ketika Islam hadir, ada satu nilai sosial bahwa perempuan itu mutlak milik laki-laki seumur hidupnya. Perempuan harus bergantung pada izin pemiliknya. Tradisi ini sampai kepada ayah boleh menjual anak perempuan. Bahkan perempuan menjadi harta warisan.

Ada juga tradisi di mana istri harus membakar dirinya hidup-hidup bersamaan dengan jenazah suaminya yang mati untuk membuktikan kesetiaan. Tradisi-tradisi seperti ini sudah banyak yang punah, tetapi nilai bahwa perempuan itu milik laki-laki sepertinya tidak ikut punah.

Dalam merespon situasi ini, Islam menegaskan bahwa perempuan adalah manusia. Sebagai perempuan kita harus membangun kesadaran bahwa mereka adalah manusia. Apa itu manusia: makhluk fisik, intelektual dan spiritual. Punya akal dan hati nurani. Perempuan bukan hanya makhluk seksual apalagi objek seksual. Perempuan adalah makhluk intelektual dan spiritual seperti laki-laki. Nilai perempuan tidak sebatas pada jenis kelamin, tapi oleh sejauh mana mereka menggunakan akal dan hati nurani. Sehingga setiap kegiatan berdampak kemashlahatan kepada diri sendiri dan pihak lain.

Hal di atas menurut Nur Rifiah merupakan  prinsip dasar karena akan menjawab pertanyaan sebaiknya perempuan bekerja atau tidak? Bekerjanya yang seperti apa? Laki-laki maupun perempuan setiap tindakannya di dalam ataupun di luar rumah, harus berdampak mashlahat bagi diri sendiri dan pihak lain seluas-luasnya.

Menurut Nur Rofiah, cita-cita tertinggi kemanusiaan dalam Islam adalah hidup itu harus menjadi anugrah. Seperti cita-cita Islam sendiri, yaitu menjadi anugrah bagi semesta. Nur Rofiah mengajak untuk berefleksi ketika hendak bekerja, apakah pekerjaan yang dimiliki saat ini adalah anugrah atau musibah? Jika perempuan diidentifikasikan sebagai (hanya) orang rumah, itu menentang Islam. Karena perempuan bukan tamu di ruang publik, seperti juga laki-laki bukan tamu di ruang domestik. Keduanya punya kewajiban menghadirkan kemashlahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemungkaran sealigus dilindungi darinya.

Setelah tiga narasumber mendapatkan giliran menjawab pertanyaan kunci, Dilla kemudian memberikan kesempatan pada audiens untuk bertanya. Setidaknya ada 5 penanya dalam sesi diskusi itu. Umumnya pertanyaan yang diajukan dalam sesi diskusi itu berangkat dari kisah pribadi, misalnya seputar tekanan dalam menjalani hidup sebagai perempuan mandiri, pola pengasukan orang tua dalam isu keuangan, pembagian pengeluaran bagi pasangan yang sama-sama bekerja, hingga bagaimana harus berjuang menjadi ibu tunggal dengan berbagai perannya setelah ditinggal meninggal suami. Seluruh pertanyaan itu datang dari peserta perempuan, tetapi salah satu penanya datang bersama pasangannya. Acara ini ditutup dengan penampilan Panji Sakti dengan lagu Jiwaku Sekuntum Bunga Kamboja.

Meskipun acara dibuat hybrid, tetapi keintiman dan kehangatan tidak bisa dilepaskan dari talkshow ini. Beberapa hal yang membuat talkshow ini terasa hangat, di antaranya karena ruangan yang dipakai adalah kafe yang sebetulnya bangunan rumah. Sehingga peserta serasa sedang bertamu ke rumah teman. Kedua, seluruh rangkaian acaranya dibuat “dekat” dan santai, sehingga memungkinkan audiens untuk bisa berbagi kisah dan bertanya dengan leluasa. Ketiga, karena acara ini berkolaborasi dengan Komuji yang menghadirkan banyak peserta laki-laki. [NA]

Refleksi Kawin Anak

Oleh Lies Marcoes

Akhir 2021, pemerhati isu perkawinan anak menutup kegiatan dengan webinar ”(Alasan) Islam Melarang kawin Anak”. Upaya pencegahan kawin anak di Indonesia telah berlangsung lebih dari 120 tahun dihitung dari tarikh surat protes Kartini atas perkawinan putri bupati Ciamis yang masih berumur 13 tahun di 1901. Namun, hingga kini kita masih menghadapi hal serupa.

Tulisan ini mengelaborasi upaya pencegahan kawin anak satu dekade terakhir dan tantangannya. Berdasarkan sejumlah data, angka perkawinan anak di Indonesia masih tertinggi kedua di ASEAN; satu dari sembilan anak kawin di bawah umur 18 tahun (GnB 2019), hanya sebagian kecil dari perkawinan itu bertahan, selebihnya cerai di bawah satu tahun dari umur perkawinan.

Data lain, hanya dua dari 10 yang kawin anak bisa balik ke sekolah. Itu pun berkat otoritas tokoh seperti pimpinan pesantren, kepala sekolah atau tokoh lokal karismatik. Meski tak ada regulasi resmi yang menghalangi mereka kembali ke sekolah, tak tersedia langkah afirmatif yang bisa jemput mereka kembali setelah pesta usai.

Fenomena kawin anak memang seperti isu colongan dalam pembangunan. Semula ini bukan tema krusial dibandingkan isu kependudukan seperti KB, kematian ibu dan anak. Tampaknya dunia begitu yakin, ketika pembangunan mengintroduksi tangga perubahan berbasis teknologi, praktik itu niscaya hilang dengan sendirinya.

Perubahan dari masyarakat agraris ke industri diandalkan jadi lantaran untuk hilangkan kebiasaan buruk itu. Hal serupa pernah terjadi misalnya dalam penghapusan perbudakan meski di sejumlah negara harus diperjuangkan berdarah-darah.

Ketika masyarakat masuk ke era transformasi informasi digital abad 21, secara logis seharusnya praktik irasional seperti kawin anak pupus. Anehnya, saat dunia memasuki era industri 5.0 yang mengharuskan keterlibatan “society” sebagai pengendali perkembangan teknologi, masyarakat justru kian kencang mencengkeram tradisi dan agama.

Argumen keagamaan

Praktik kawin anak bukan pengecualian. Dari alasan yang mengemuka, praktik itu begitu erat berkaitan dengan tradisi berbasis ketimpangan gender: demi menjaga martabat keluarga, untuk menutupi malu, hamil tak dikehendaki akibat tak dikuasainya teknologi pengaturan fertilitas, beban tanggung jawab moral yang sepenuhnya di pundak anak perempuan, kemiskinan akut akibat tak terhubungnya antara kemajuan industri dengan kesejahteraan.

Menyadari bahwa kawin anak terkait dengan tradisi dan pandangan keagamaan, membangun argumen keagamaan untuk menolak pandangan itu tentu menjadi penting. Karenanya pertanyaan “Mengapa Islam Menolak Kawin Anak” menurut Dr Nur Rofiah, salah satu pembicara dalam webinar ini menegaskan bahwa karena kawin anak lebih banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat, maka harus ditolak.

Logika yang sama tampaknya juga digunakan kelembagaan terkait seperti KUA, peradilan agama bahkan Mahkamah Agung (MA). Pun sejumlah ormas sipil Islam seperti jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan yang menegaskan keharusan negara dan elemen masyarakat menghentikannya.

Dalam satu dekade terakhir, tercatat sejumlah ikhtiar serius dari pemerintah dalam mengagendakan langkah-langkah strategis pencegahan kawin anak. Antara lain terbitnya revisi UU Perkawinan No 16/2019 tentang kenaikan batas usia kawin dari 16 ke 19 tahun. Juga terbit Peraturan MA No 5/2019 tentang tata laksana pengaturan dispensasi nikah. Bappenas mencanangkan lima agenda strategi nasional yang secara komprehensif mengupayakan langkah konkret pencegahan perkawinan anak minimal guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).

Namun tampaknya titik tekan dalam penanggulangan kawin anak terlalu mengandalkan sektor hukum. Terbitnya regulasi nasional, peraturan gubernur, perda, peraturan bupati hingga peraturan desa jadi agenda prioritas. Padahal perkawinan anak efek domino dari persoalan yang lebih rumit dari sekadar persoalan rendahnya usia kawin.

Perubahan ekonomi seperti kepemilikan dan pemanfaatan lahan untuk industri melahirkan kesenjangan relasi gender di tingkat keluarga yang berujung pada kawin anak bahkan sebelum mereka menuntaskan wajib belajar 12 tahun.

Sebuah policy brief berbasis studi oleh Bank Dunia, Desember 2020 menegaskan, benar Indonesia dalam satu dekade terakhir telah mencapai kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Misalnya dilihat dari meningkatnya literasi, angka partisipasi sekolah, dan ketenagakerjaan, dan kebijakan untuk mendorong terwujudnya masyarakat berkeadilan gender.

Namun terkait pendidikan, meski rata-rata nasional telah mengalami peningkatan, berbagai perbedaan signifikan terjadi di tingkat daerah, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Di banyak daerah anak perempuan mengalami ketertinggalan. Di Probolinggo, misalnya, persentase anak laki-laki yang bersekolah di tingkat dasar 1,5 kali lebih banyak daripada anak perempuan terutama pasca-Covid-19 (Noah Yarrow).

Ditelikung regulasi

Telah cukup bukti berbasis riset yang menunjukkan besarnya mudarat daripada manfaat kawin anak. Namun, sampai sejauh ini upaya untuk mengatasinya berada di titik abu-abu. Ini misalnya terlihat dari masih diterimanya pengecualian berupa izin menikah melalui pemberian dispensasi. Tentu saja, dispensasi hanyalah pintu darurat yang meski tersedia, seharusnya tak perlu digunakan.

Masalahnya, dispensasi nikah justru jadi andalan menyelesaikan kedaruratan untuk setiap penyimpangan dari batas usia kawin. Karenanya penghentian praktik kawin anak di tingkat nasional sampai desa seperti ditelikung sendiri oleh regulasi pintu darurat itu.

Kawin anak butuh solusi lain di luar sektor hukum. Teratasinya problem kemiskinan, tersedianya informasi memadai tentang kesehatan reproduksi, ketegasan dalam menyatakan perkawinan anak adalah bentuk kekerasan, dan tersedianya program untuk menutup celah dari batas umur berhentinya sekolah setelah wajib belajar 12 tahun dengan masa menunggu kawin yang dilegalkan secara hukum di usia 19 tahun.

Ini antara lain bisa diatasi dengan tersedianya lapangan kerja permanen bukan musiman sampai tingkat desa. Kita juga butuh ketegasan sikap dengan cara menggeser sudut pandang abu-abu dalam melihat isu kawin anak yang seolah bisa dibenarkan sepanjang terpenuhi aspek legalitasnya, ke sikap yang lebih tegas bahwa ini bentuk kekekerasan terhadap anak yang dilegalkan.

Lies Marcoes
Peneliti Rumah Kitab

 

Sumber foto: freepik.com

Pengesahan PATBM Berdaya Desa Songgom

Yayasan Rumah Kita Bersama menyelenggarakan kegiatan “pengesahan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat). Kegiatan ini dilakukan secara offline pada tanggal 11 November 2021 di Desa Songgom. Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Bidang DPPKBP3A Kab. Cianjur beserta tim, Kepala Desa Songgom, Bapak Camat Kecamatan Gekbrong, kelompok remaja dan masyarakat Desa Songgom. Kegiatan ini dibuka dan dipimpin (MC) oleh Bapak Sekretaris Desa Songgom yang merupakan pengurus PATBM juga. Para undangan lain yang hadir dari aparat desa RW dan RT serta BPD, KUA, tokoh masyarakat setempat, dan PKK Desa, semuanya hadir sekitar 40-50 orang.

Pembukaan acara pelantikan

Sambutan pertama oleh perwakilan Rumah KitaB Nurasiah Jamil, menjelaskan alasan pencegahan perkawinan anak perlu dilakukan di Cianjur karena dapat meningkatkan angka stunting anak dan dapat menyebabkan rendahnya indeks pembangunan manusia. Selain itu, hal ini juga didorong dengan adanya Undang-Undang yang mengharapkan setiap desa memiliki lembaga yang mengatasi masalah perlindungan anak. Di Cianjur sendiri, pencegahan ini akan dilakukan melalui PATBM dengan tujuan menjadi wadah masyarakat yang membutuhkan pertolongan. PATBM merupakan upaya untuk mewujudkan desa layak anak. Adapun tiga tugas dari PATBM, yaitu sosialisasi, advokasi, dan pendampingan. Partisipasi kelompok remaja dikatakan memiliki peranan penting karena mereka adalah agen perubahan yang menjadi sasaran program ini.

Kedua, Kepala Desa Songgom Ade Suryati, menyampaikan harapannya terhadap program PATBM. Melalui program ini diharapkan angka perkawinan anak menurun di desa Songgom. Kepala Desa menghimbau masyarakat tidak hanya melihat keberhasilan desa melalui pembangunan infrastruktur saja, tetapi juga non-infrastruktur seperti akhlak. Selain remaja, Kadus juga memiliki peran penting karena mereka yang paling mengerti tentang permasalahan lingkungannya.

Ketiga, Bapak Camat, Pujo Nugroho juga mengajak semua pihak berpartisipasi dalam program ini, tidak hanya dari instansi pemerintahan setempat, tetapi juga dari Lembaga Swadaya, donator hingga masyarakat setempat. Kemudian Bapak Camat juga mengajak masyarakat menyamakan visi dan misi dengan Lembaga terkait penyelenggara PATBM agar mendapatkan hasil yang sesuai rencana. Selain itu, dalam penyelenggaraan program PATBM diharapkan tetap memperhatikan kaidah-kaidah Islam. 

Keempat, terdapat masukan-masukan yang disampaikan oleh Kepala Bidang PPPA DPPKBP3A Kabupaten Cianjur. Hj. Tenty Maryanty Pertama, materi tentang perlindungan anak diharapkan tidak hanya disampaikan ketika sosialisasi ketika ada acara formal saja. Materi perlindungan anak dapat diselipkan juga ketika melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat. Kedua, terkait advokasi, kegiatan PATBM ini dapat diadvokasikan kepada para pengusaha untuk mendapatkan dukungan. kemudian, dukungan lainnya dapat didapatkan dari media sebagai publikasi. Ketiga, masyarakat diajak mengubah paradigma bahwa pelecehan bukanlah aib. Hal ini sesuai dengan tugas PATBM, yaitu Dare to Speak yang berarti korban diharapkan berani berbicara terkait kasus pelecehan agar pelaku mendapatkan hukumannya. Kabar baiknya, tahun depan akan dibentuk UPTD PPA di Kabupaten Cianjur sebagai wadah untuk melaporkan kasus tersebut.

Sesuai agenda kegiatan, acara selanjutnya yaitu pengesahan, penandatanganan, dan penyerahan SK oleh Pemerintah Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur kepada ketua PATBM dan ketua forum anak Desa Songgom.

Sosialisasi PATBM 

Sosialisasi PATBM diawali dengan memperkenalkan kepengurusan PATBM. Selanjutnya penyampaian visi dan misi oleh ketua PATBM. Visi PATBM adalah untuk menjadikan lembaga yang terdepan dalam memperjuangkan perlindungan anak dan memastikan tetap sehat, cerdas, berakhlakul karimah, mandiri dan produktif. Kemudian misinya untuk memperkenalkan PATBM Desa Songgom sebagai lembaga rujukan perlindungan anak, memperkuat fungsi pelayanan penanganan kekerasan, dan meminimalisir penyalahgunaan wewenang orang tua terhadap pernikahan dini. Adapun rencana tindak lanjutnya akan dilakukan dengan memanfaatkan waktu dan fasilitas dari berbagai kegiatan pertemuan warga, seperti posyandu, majlis ta’lim, musyawarah desa, dan pertemuan lainnya. 

Terkait pertemuan warga, terdapat posyandu, pertemuan masyarakat, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan yang dijadwalkan setiap bulan. Kegiatan ini dapat diatur oleh tenaga kesehatan, desa, maupun pengurus PATBM. Materi yang akan disampaikan berupa perkenalan PATBM kepada masyarakat, pendataan, dan sosialisasi dan edukasi tentang hak anak. Kemudian untuk pertemuan majlis ta’lim, peserta nya juga sama seperti sebelumnya, namun akan dilakukan setiap minggu dan diatur oleh masyarakat. Materi yang disampaikan pun tidak hanya edukasi hak anak, tetapi juga pencegahan perkawinan anak. Selanjutnya untuk pertemuan rutin Posyandu akan diatur oleh Kader yang akan dilaksanakan setiap bulan. Materi yang disampaikan pun sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.  Terdapat pula posyandu remaja yang akan dihadiri oleh forum anak, remaja, dan pengurus PATBM yang akan dilakukan setiap bulan (conditional). Adapun materi yang diberikan adalah penyuluhan pencegahan kekerasan masa remaja dan penguatan nilai-nilai keagamaan. Sementara untuk musyawarah lainnya akan dihadiri oleh pemerintah desa, LKMD, DPD, pengurus PATBM yang berlangsung conditional. Materi yang akan disampaikan antara lain, sosialisasi hak anak, pencegahan perkawinan anak, dan perumusan kebijakan terkait perlindungan anak. 

Selain sosialisasi, PATBM juga hadir untuk mendampingi masyarakat yang menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu, masyarakat dapat melaporkan masalahnya kepada PATBM.

Sosialisasi Kelompok Remaja

Sosialisasi ini dibuka dengan pengenalan pengurus Kelompok Remaja disampaikan oleh perwakilan kelompok remaja. Selanjutnya penyampaian visi misi oleh kelompok remaja. visinya adalah terwujudnya anak remaja yang berakhlakul karimah dalam mewujudkan generasi yang berkelanjutan, memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi untuk mengembangkan bakat dan minat, dan meminimalisir pelanggaran hak anak.  

Adapun rencana kegiatan yang akan dilakukan kelompok remaja antara lain, sosialisasi hak anak, kampanye anti kekerasan terhadap anak termasuk pencegahan perkawinan anak, gerakan internet, sehari bersama anak. 

Setelah sosialisasi tersebut, acara selanjutnya yaitu sesi pemberian masukan dari peserta sosialisasi. Salah satu masukan yang didapatkan adalah kegiatan PATBM diharapkan dapat bekerjasama dengan PKK mengingat di daerah pelosok masih banyak orang tua yang menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal ini merupakan tantangan bagi semua pihak, tidak hanya PATBM, tetapi juga pemerintah setempat dan masyarakat. 

Kegiatan pengesahan pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan kelompok remaja untuk perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak di Desa Songgom ditutup dengan foto bersama.

Kolom Kang Faqih

Benarkah Muslimah Bekerja Perlu Izin Suaminya?

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Jawabanya bisa benar dan bisa tidak, karena hukum selalu melihat konteks, kondisi, dan alasan (al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman). Kita mengawali penjelasan pertama, yaitu ketika izin suami menjadi ajang transparansi, diskusi, dan antisipasi, maka ia menjadi baik dan perlu. Seorang perempuan muslimah yang mau bekerja, tentu, memerlukan ruang berbagi informasi, dukungan keluarga terutama suami, penguatan, dan bisa jadi antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Izin suami menjadi ajang bagi perempuan untuk hal-hal baik ini, yang akan menopang dan mendukungnya untuk memperoleh yang terbaik dari keputusannya untuk bekerja.

Bisa jadi, melalui ajang izin ini, suami lebih memahami jenis pekerjaan yang akan digeluti istrinya, mengenal lingkungan pekerjaan tersebut, atau orang-orang untuk jenis pekerjaan yang serupa, atau jaringan dan hal-hal lain yang bisa mendukungnya. Minimal, dengan mengetahui istrinya bekerja di suatu tempat, suami dapat mengantisipasi hal-hal tertentu ke depan. Bisa jadi ditanya anak-anak, orang tua, keluarga, atau kolega tentang keberadaan istrinya. Bisa jadi, ada kejadian pada istrinya yang memerlukan bantuanya. Atau antisipasi apapun, yang memang, dalam kehidupan sering terjadi.

Jika izin bekerja ini benar-benar menjadi ruang seperti demikian, maka hukumnya akan mengikuti hukum bekerja itu sendiri. Jika bekerja itu hukumnya wajib bagi seorang perempuan, misalnya karena dibutuhkan masyarakat dan dia satu-satunya orang yang mampu mengerjakan hal tersebut, atau penghasilanya diperlukan untuk kebutuhan primer keluarga, maka izin suami menjadi wajib. Jika hukum bekerjanya turun menjadi sunnah, maka izinnya juga menjadi sunnah. Hal ini didasarkan pada kaidah, bahwa sesuatu yang baik, wajib maupun sunnah, jika tidak sempurna tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini juga menjadi baik dan perlu (ma la yatimm al-hasanu illa bihi fahuwa hasanun).

Izin suami sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi mempersyaratkan relasi pasutri (pasangan suami istri) yang mubadalah (kesalingan). Relasi ini, seperti digariskan Al-Qur’an, memiliki lima pondasi. Yaitu, pertama, relasi pasutri dipandang sebagai kemitraan dan berpasangan (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. 2: 187); kedua, relasi pasturi dipandang sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama (mitsaqan ghalizan, QS. An-Nisa, 4: 21); ketiga, relasi harus bertumpu pada perilaku saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); keempat, satu sama lain saling bermusyawarah (tasyawurin, QS al-Baqarah, 2: 233), dan kelima, satu sama lain saling mencari kerelaan (taradhin, QS al-Baqarah, 2: 233).

Dengan lima pondasi relasi mubadalah yang Qur’ani ini, tidak hanya izin suami, melainkan izin istri bagi suami yang akan bekerja juga menjadi baik dan perlu. Fungsinya sama, sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi. Saat ini, besar kemungkinan, sang istri memiliki pengetahuan yang cukup yang bisa dibagikan kepada suaminya terkait yang akan dikerjakannya. Minimal, sang istri memiliki informasi, sehingga bisa ikut mengantisipasi hal-hal yang bisa saja terjadi pada suaminya atau pekerjaanya. Lebih mulia lagi, jika izin istri dijadikan suami sebagai ajang implementasi dari lima pondasi relasi yang Qur’ani di atas. Sebagai perwujudan relasi berpasangan (zawaj), mengokohkan ikatan pernikahan (mitsaqan ghalizan), memperlakukan istri secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bermusyawarah (tasyawurin), dan mencari kerelaan istri (taradhin).

Hukum izin suami akan berbeda pada kondisi relasi yang timpang, dimana perilaku suami semena-mena dan menggunakannya sebagai ajang hegemoni terhadap istrinya. Istri dilarang bekerja tanpa sebab, dilarang mengaktualisasikan dirinya demi impuls suami yang tidak jelas, dan ditempatkannya sebagai subordinat yang harus selalu minta izin suami dalam segala urusan. Relasi yang demikian bertentangan dengan lima pondasi relasi Qur’ani di atas, sehingga izin suami yang turun dari relasi timpang ini, juga menjadi tidak Qur’ani. Pada kondisi yang demikian, yang diperlukan bukanlah membiasakan izin suami oleh seorang istri, tetapi mengedukasi suami agar terlebih dahulu memiliki relasi yang Qur’ani dengan lima pondasi mubadalah tersebut di atas.

Tanpa prasyarat relasi mubadalah ini, izin suami justru bisa membuat seorang laki-laki bertambah jumawa, sombong, dan semena-mena. Hak-hak dasar yang dimiliki seorang perempuan, untuk hidup nyaman, belajar, bekerja, berpartisipasi secara sosial, bisa dilarang suaminya secara semena-mena melalui tiket ideologi izin yang dimilikinya. Untuk laki-laki seperti ini, seperti pesan Nabi Muhammad Saw, justru ditolong dengan mengendalikannya dan tidak menggunakan praktik izin untuk menzalimi istrinya.

عَنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ (صحيح البخاري، رقم: 2484).

Dari Anas r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami pasti menolong yang dizalimi, bagaimana menolong yang zalim itu? Rasul Saw menjawab: “Menolong yang zalim itu dengan mengendalikannya (agar tidak berbuat zalim lagi)”. (Sahih Bukhari, no. 2484).

Ketika izin suami digunakan untuk menzalimi hak-hak istri sebagai manusia muslimah yang utuh, maka kita diminta Nabi Saw menolong yang dizalimi dan yang menzalimi. Yaitu dengan melarang praktik izin yang zalim dari suami dan mendukung para perempuan yang dizalimi oleh praktik tersebut. Di antaranya adalah dengan mengedukasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) tentang relasi yang mubadalah dan mendorong mereka mempraktikkan lima pondasi Qur’ani tersebut di atas. Hanya dalam relasi yang demikian, praktik izin suami bisa membawa kebaikan dan keberkahan.

Apakah ada teks hadis yang menuntut seorang muslimah yang mau bekerja meminta izin dari suaminya? Tidak ada. Lalu, darimana pandangan yang cukup populer ini berkembang? Dari ajaran dasar bahwa seorang istri harus selalu patuh kepada suami. Padahal kepatuhan dalam Islam, sebagaimana juga ditegaskan Nabi Saw, harus dalam hal-hal yang akan membawa kebaikan, bukan dalam hal-hal yang justru membawa kemaksiatan, atau keburukan dan kemafsadatan (Musnad Ahmad, no. 1110).

Sebaliknya, untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, Nabi Saw justru melarang laki-laki menggunakan praktik izin ini bagi menghalangi para perempuan dari hak-hak dasar yang mereka miliki sebagai muslimah. Kita bisa merujuk pada pernyataan Nabi Saw di bawah ini:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا (صحيح البخاري، رقم: 881).

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, Abdullah bin Umar ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Jika istri seseorang di antara kalian sudah meminta izin, maka (izinkan dan) janganlah halang-halangi dia”. (Sahih Bukhari, no. 881).

Teks hadis ini secara gamblang meminta laki-laki untuk tidak menghalangi-halangi istrinya, jika sudah meminta izin. Teks hadis ini bersifat umum untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, seperti beribadah, belajar, bekerja, beramal sosial, dan yang lain. Beberapa riwayat lain memberi contoh tentang izin untuk pergi ke masjid, terutama salat pada malam hari, dimana para suami biasanya merasa khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik, sehingga merasa berhak untuk tidak mengizinkan. Namun, Nabi Saw dengan tegas mengatakan: izinkan dan jangan halangi para perempuan dari masjid-masjid Allah (Sahih Muslim, no. 1019).

Dengan demikian, merujuk pada hadis tersebut dan prinsip-prinsip relasi mubadalah di atas, praktik izin adalah baik di antara pasutri jika diimplementasikan dalam kerangka berbagi informasi di antara mereka, berdiskusi, bermusyawarah, berbagi pengetahuan dan dukungan, sertai antisipasi hal-hal yang justru bisa mendatangkan keburukan bagi kehidupan mereka berdua. Jika tidak dalam kerangka yang demikian, maka praktik izin pasutri perlu ditinjau ulang. Wallahu a’lam.

Reportase PENGUKUHAN DAN PELANTIKAN PENGURUS PERLINDUNGAN ANAK TERPADU BERBASIS MASYARAKAT (PATBM) KELURAHAN KALI BARU, KECAMATAN CILINCING KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA

Atas dukungan Rumah KitaB dan AIPJ2, kepengurusan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kelurahan Kalibaru resmi dikukuhkan, dilantik, oleh Lurah Kelurahan Kalibaru, Bapak H. Mulyadi, pada hari Rabu, 15 Desember 2021, pukul 08.30 – 12.00 WIB. Kegiatan tersebut berlokasi di Ruang Pola Lantai 3 Kantor Kelurahan Kalibaru

Kegiatan tersebut dihadiri Camat Cilincing, H. Muhammad Andri, dan para kepala seksi di Kantor Kelurahan Kalibaru, seperti Kepala Seksi Pemerintahan (Kaspem), Kepala Seksi Kesejahtraan Rakyat (Kasi Kesra), seksi kebersihan serta para staf lainnya

Kegiatan ini diselenggarakan di tengah kondisi PPKM (Program Pembatasan Kegiatan Masyarakat) level 2 di wilayah Provinsi DKI Jakarta, dengan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Satgas Covid-19 Wilayah Provinsi DKI Jakarta

Berdasar kondisi tersebut (PPKM level 2), jumlah peserta yang hadir sangat dibatasi jumlahnya hanya sebanyak 35 orang, dengan 5 orang panitia. Begitu juga waktu kegiatan dibatasi hanya 3×60 menit, sehingga pada kesempatan ini, kegiatan terbatas pada pelantikan, pengukuhan pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru, disertai dengan perumusan rencana kerja terbatas untuk 6 bulan berikutnya

Para Aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (APTBM) Kelurahan Kalibaru yang hadir dalam pelantikan  ini merupakan perwakilan dari berbagai komunitas, khususnya perwakilan unsur Ketua/Pengurus lintas RW, kader lintas RW, Kepala Gugus TK Kecamatan Cilincing, perwakilan Guru SMP dan SMA, dan para tokoh orangtualintas RW. Selain itu, para tokoh remaja juga hadir sebagai pengurus aktif PATBM Kelurahan Kalibaru, mereka berasaldi berbagai komunitas remaja seperti Posyandu Remaja, Karang Taruna, perwakilan Remaja Masjid. Ketiga perwakilan komunitas ini (tokoh formal&non formal, orangtua, dan remaja) adalah mereka yang selama ini aktif dan memiliki keberpihakan terhadap perlindungan anak dan memiliki kesatuan sikap bersama untuk mencegah dan melarangkekerasan terhadap anak perempuan dan anak penyandang disabilitas

Berdasarkan hal itu, tema dari kegiatan ini adalah “Perlindungan Maksimum terhadap Anak  Perempuan dan Anak Penyandang Disabilitas dari berbagai bentuk praktik kekerasan baik kekerasan fisik, non fisik, dan simbolik. Sebagaimana dalam redaksi pengukuhan yang ditegaskan oleh Lurah Kelurahan Kalibaru:

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan yang Maha Esa, senantiasa melimpahkan rahmat-Nya,  kasih sayang-Nya, dan hidayah-Nya kepada kita semua serta memberikan kekuatan lahir dan batin, penuh keteguhan dan kesungguhan, serta penuh keikhlasan dalam melaksanakan pengabdian ini demi terciptanya masa depan anak-anak bahagia menjadi generasi emas di masa mendatang, melalui perlindungan anak maksimum tanpa membeda-bedakan agamanya, sukunya, dan rasnya, dan mengutamakan mereka yang berada di kalangan kelompok rentan dan berpotensi didiskriminasi di ruang sosial seperti anak perempuan dan anak dengan disabilitas”,

Dan juga sebagaimana ikrar para aktivis PATBM untuk menjamin perlindungan terhadap anak-anak perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta menciptakan kelurahan Kalibaru sebagai “Kelurahan Layak Anak”, yang dipimpin oleh Lurah dan diikuti oleh seluruh aktivis PATBM Kelurahan Kalibaru,

“Kami Pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara, berjanji akan memperjuangkan berbagai upaya Perlindungan Anak di seluruh wilayah Kelurahan Kalibaru, termasuk anak-anak penyandang disabilitas.

Kami Pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara, berjanji akan memperjuangkan berbagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak-anak di wilayah Kelurahan Kalibaru baik Kekerasan Fisik, kekerasan non fisik maupun  kekerasan simbolik, termasuk anak penyandang disabilitas.

Kami Pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara, berjanji akan memperjuangkan berbagai upaya Pencegahan Perkawinan Anak di seluruh wilayah Kelurahan Kalibaru.

Kami Pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara, berjanji akan memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak terkait untuk memperkuat berbagai upaya perlindungan anak, pencegahan kekerasan terhadap anak-anak, dan pendampingan terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan, dan korban perkawinan anak.

Kami Pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara, berjanji akan memperjuangkan berbagai upaya demi mewujudkan Kelurahan Kalibaru menuju Kelurahan Layak Anak”.

PATBM dan Pilot Project Pemprov DKI Jakarta

Kegiatan ini sangat penting mengingat Kelurahan Kalibaru merupakan pilot project Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak sejak tahun 2019. Tentunya, dukungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus hadir di wilayah Kalibaru secara berkelanjutan, terutama dalam mengoptimalkan peran PATBM Kelurahan Kalibaru dalam berbagai upaya perlindungan anak.

Upaya menjadikan Kalibaru sebagai Kelurahan Layak Anak apalagi sebagai “pilot project pengentasan kemiskinan” tentu tidaklah mudah, membutuhkan peran aktif para stackholders di tingkat Kota Adm Jakarta Utara untuk bersama bahu membahu bekerja secara aktif di lapangan, dan tidak bisa mengandalkan mindset lama yang hanya mengandalkan wilayah yang sudah bagus  dan menjadikannya sebagai proyek percontohan, sesuatu yang memperlihatkan buruknya semangat juang para petugas layanan.

Camat Cilincing mengatakan kegiatan ini sangat penting, dan harusnya dapat diduplikasi (oleh kelurahan-kelurahan lainnya) di wilayah Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara.

Kegiatan ini merupakan langkah awal yang sangat penting bagi perjuangan kemanusiaan, dan mensemarakkan momen peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) Tahun 2021 dan menjelang Hari Ibu (22 Desember), sehingga kegiatan ini menjadi sangai spesial, dalam mengawali upaya perubahan di tengah banyak praktik kekerasan seksual di wilayah Kelurahan Kalibaru yang berujung tindak pidana dan pemaksaan perkawinan terhadap anak-anak.

Kegiatan ini diakhiri dengan rapat program kerja pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru. Setiap Divisi terdiri dari Perempuan dan laki-laki Dewasa serta remaja dan anak-anak menyuarakan gagasan rencana program kerja yang berfokus pada keberpihakan pada anak-anak dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Di antaranya, PATBM Kelurahan Kalibaru membuka call center yang dipegang oleh perempuan dewasa dan remaja, untuk membuka kesempatan bagi para korban untuk mengadukan berbagai praktik kekerasan yang menimpanya. Kedua, sosialisasi program perlindungan anak kepada 14 RW dan 15 organisasi di level komunitas. Ketiga,  membuat akun PATBM di media-media sosial mainstream seperti Instagram, Facebook, dan twitter, sebagai kanal penyambung lidah PATBM dan masyarakat secara live. [AH]

Audiensi Pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru dengan Lurah Kalibaru

Paska Pelatihan kedua kalinya terkait Penguatan Kader PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru, perwakilan pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru terdiri dari Ketua PATBM (H. Abdul Karim), Sardimanto (sekretaris PATBM), Mariani (Bendahara PATBM), Kadmi (Kepala Seksi Penanganan dan Pendampingan Korban Kekerasan), Komaruddin (Kepala Seksi Sosialisasi dan Publikasi PATBM), menghadiri kegiatan audiensi dengan Lurah Kelurahan Kalibaru, H. Mulyadi. Dalam kegiatan tersebut, Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Kelurahan Kalibaru, selaku Wakil Pembina PATBM Kelurahan Kalibaru.

Kegiatan audiensi ini diselenggarakan pada 10 November 2021, di Ruang Kerja Lurah Kelurahan Kalibaru.

Audiensi Pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru dengan Lurah Kelurahan Kalibaru, mendiskusikan beberapa hal; Pertama, terkait revisi SK PATBM Kelurahan Kalibaru, yang masih belum menyertakan nama-nama kader pengurus PATBM yang potensial terlibat aktif yang berasal dari 3 komunitas itu, yaitu komunitas tokoh formal/non formal, komunitas orangtua, dan komunitas remaja. Perubahan SK PATBM hingga Desember 2021 masih akan mengalami revisi kembali dengan memasukkan tokoh-tokoh remaja ke dalam SK PATBM tersebut. Kedua, penyampaian aspirasi para pengurus PATBM terkait pentingnya koordinasi dan sinergitas yang baik dalam upaya perlindungan anak di Kelurahan Kalibaru dan upaya mendukung “Kelurahan Kalibaru menuju Kelurahan Layak Anak”; Ketiga, pemberiaan arahan dan bimbingan dari Lurah Kelurahan Kalibaru selaku Pembina PATBM Kelurahan Kalibaru kepada para Pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru, wabil khusus terkait tantangan kerja-kerja perlindungan anak di Kelurahan Kalibaru, di mana lembaga ini bersifat swadaya masyarakat.