rumah kitab

Merebut Tafsir: Karena Teks Bukan Tuhan ( Membaca Rachel Rinaldo: Mobilizing Piety)

Oleh Lies Marcoes

Rabu petang, 27 Oktober 2020, sejumlah aktivis perempuan dari berbagai LSM dan Ormas keagamaan serta peneliti bertemu dengan seru. Kami membahas konsep dan praktik agensi organisasi perempuan berbasis Islam dalam kiprah mereka di ruang publik. Saya dan Prof. Nina Nurmila – purna bakti komisioner Komnas Perempuan dan dosen pada UIN Bandung memantik diskusi. Percakapan ini dipicu oleh dua hal: penelitian Rumah KitaB tentang kecenderungan menguat dan melebarnya aktivitas perempuan dalam jaringan Islam fundamentalis; kedua, bagaimana membedakan agensi feminis muslim dengan fundamentalis. Faktanya keduanya sama-sama “bergerak”menunjukkan keagenan mereka sebagai perempuan.

Melalui karya disertasi Rachel Rinaldo (2013), Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia, New York: Oxford University Press, dapat ditelusuri debat, perjumpaan, perpisahan/tolak belakang antara teori feminis liberal dengan feminis Muslim dalam konsep agensi pun tentang agensi perempuan fundamentalis/konservatif tekstualis. Lumayan seru diskusinya! Melalui karya Rinaldo kita dapat membedah kekayaan khasanah pemikiran feminis karya para sarjana yang melakukan kajian tentang kesalehan (piety) dan agensi (agency).

Boleh jadi Rinaldo tak sepopuler Saba Mahmood Piety of Politics di Mesir. Namun Rachel Rinaldo adalah sarjana Barat sangat penting dalam kajiannya tentang Islam dan Feminisme di Indonesia. Sebagai intelektual, peran Rinaldo sangat signifikan dalam menyuarakan bahwa menjadi feminis sekaligus muslim(ah) bukanlah hal ganjil. Sebaliknya Islam disumbang oleh pengayaan dan terobosan feminisme atas kemandekan konsep tentang peran perempuan yang terkunci di abad 13. Rinaldo adalah intelektual yang sangat produktif. Sebagian besar karya akademisnya membahas isu feminisme dan Islam di Indonesia.

Titik berangkat Rinaldo adalah kritik atas pandangan feminis liberal tentang agensi. Padangannya merupakan kelanjutan dari kajian Saba Mahmood tentang kesalehan yang tampaknya meninggalkan celah kritik terutama tentang batas otonomi dan dominasi. Pertanyaan kritisnya kira-kira dimanakah letak batas kesalehan sebagai agensi dan sebagai bentuk kepasrahan pada dominasi patriarkhi.

Dalam diskursus feminis liberal agensi merupakan tindakan resistensi terhadap struktur atau kultur dominan, termasuk, tentu saja pandangan agama. Itu sama sekali tak keliru jika melihat watak dominasi agama-agama langit atas perempuan. Sementara bagi Saba Mahmood agensi adalah ketundukan pada norma kultur atau nilai religiusitas demi kesalehan pribadi. Rachel Rinaldo, di lain pihak menawarkan konsep multiple agency, suatu varian agensi yang merupakan kombinasi antara kesalehan aktif dan interpretasi kritis atas sumber-sumber doktrinal.(Muhammad Ansor, Agensi Perempuan Kristen di Ruang Publik,2019).

Bagi kalangan feminis liberal, agensi artinya penguasaan seseorang atas otonomi tubuh mereka sendiri. Karenanya, bagi mereka alangkah anehnya suatu agensi muncul dari kesalehan. Sebab bukankah kesalehan itu tidak netral gender dan tidak netral relasi kuasa. Bagaimana otonomi tubuh dapat dikuasainya jika seluruh bangunan kesalehan demi ketundukan kepada norma patriarki. Dalam kerangka itu muncul istilah “paradoks relasi gender”. Sebab, meskipun religiusitas dalam bentuk ketundukan kepada ritual agama dan tradisi konservatif itu sebuah pilihan pribadi, namun ketundukan tak lebih dari wujud pelestarian subordinasi, pembakuan stereotype peranan sosial, dan menerima segregasi bertingkat antara lelaki dan perempuan di ruang publik pun domestik. Dalam ketundukan itu, di mananpun ruangnya, lelaki adalah sang patron. Agensi dalam religiusitas, jikapun mau diwujudkan, harusnya mensubversi norma sosial dan menolak dominasi pandangan keagamaan yang jelas-jelas mensubordinasikan perempuan.

Namun, sejumlah literatur baru memperlihatkan ragam agensi berbasis kesalehan dalam bentuk praktik sosial. Ambil contoh, praktik santunan yatim piatu dan lansia, pengumpulan dan pembagian zakat, sedekah, dan amaliah sejenisnya. Apalagi jika ada bencana. Perempuan seringkali yang paling awas dalam memperhatikan kebutuhan perempuan dan anak-anak meskpun terkadang sangat bias dalam memposisikan perempuan.

Penelitian Saba Mahmood tentang agensi perempuan Islam dalam kelompok “majelis taklim” di Kairo, Mesir menunjukkan bahwa ketundukkan pada tradisi dan ajaran kesalehan yang disangkakan telah menciptakan subordinasi itu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Sebab tujuannya adalah mewujudkan cita-cita berupa kesalehan, hasrat untuk berbuat baik, membentuk keikhlasan, membangun kekuatan untuk mendisiplinkan diri tanpa takut pada pengawasan orang lain (sebagaimana diteorikan Michel Foucault tentang panopticon). Ketundukan pada praktik keagamaan dan tradisi melalui ritual dan pendisiplinan itu bukanlah bentuk ketundukan kepada patriarki melainkan pendisipinan demi meraih kesalehan dengan tujuan yang mereka tentukan sendiri. Jadi dalam konteks itu, bagi Saba Mahmood, kepatuhan pada norma dan tradisi adalah sebentuk agensi!

Melalui etnografinya, Mahmood menguraikan secara detail situasi moral kultural agensi yang di(salah) pahami kalangan feminis liberal sebagai “ selalu berada dalam pengawasan dan tekanan tradisi”. Bagi Mahmood, agensi adalah merawat ketaatan kesalehan ketundukan kepada otoritas ajaran agama sebagai bentuk pelatihan moral positif untuk menempa kekuatan diri.
Meskipun gagasan Mahmood cukup solid, namun dalam beberapa hal menciptakan celah kritik. Dimanakah titik batas kesalehan berbasis agama itu tidak mengekspolitasi perempuan padahal dalam struktur “kelasnya” mereka adalah subordinat atas lelaki atau masyarakat lelaki (patriakh).

Dalam hal ini Rinaldo tampil dengan gagasannya tentang agensi ketundukan kritis sebagai varian dari konsep multiple agency. Melalui penelitiannya tentang empat organisasi perempuan dan LSM perempuan di Indonesia (tiga berbasis agama- Rahima, Fatayat, perempuan PKS, dan satu feminis sekuler, Solidaritas Perempuan), ia melihat bahwa perempuan Muslim baik dalam organisasi berbendera Islam maupun sekuler berusaha mensintesakan antara perlawanan dan ketundukan. Melalui disertasinya ia mendiskusikan dinamika diskursus agensi religius pada perempuan yang pada kenyataanya tidak tunggal.

Rinaldo melihat agama sebagai skema kultural yang heterogen. Skema itu membentuk varian agensi dalam dinamika masyarakat yang demokratis. Ia kemudian membagi agensi ke dalam tiga varian yaitu agensi feminis inklusif (seperti SP), agensi kesalehan aktif (seperti perempuan PKS), dan agensi kesalehan kritis (Fatayat dan Rahima).

AGENSI KESALEHAN KRITIS sebagaimana dikemukakan Rachel Rinaldo adalah sebuah kapasitas yang memampukan perempuan melihat teks secara kritis dan bersifat publik! Karenanya agensi kesalehan kritis bergerak dengan terlebih dahulu memeriksa teks dengan kacamata keadilan gender agar selaras dengan tujuan Islam sebagai agama keadilan. Dan cara ini ini membedakan secara tegas dengan agensi kesalehan AKTIF seperti perempuan PKS yang melihat teks secara literalis, dan dalam aktivitasnya tunduk kepada patron yang konservatif dalam memposisikan perempuan.

Ciri paling penting dan menjadi pembeda paling nyata adalah cara menyikapi teks. Dengan kemampuan nalar dan metodologi dalam cara membaca teks, pada kelompok kesalehan kritis terdapat kesanggupan untuk kritis terhadap teks doktrinal. Agensi kesalehan kritis, menempatkan upaya individu untuk hidup dalam norma religius sebagai bentuk agensi namun ketundukkan itu dicerna dan ditimbang oleh pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai perempuan yang kritis dalam melihat teks. Kapasitas itu memampukan mereka untuk menentukan di titik mana ajaran itu menindas dan di titik mana dapat membebaskan dan karenanya harus diperjuangkan!

Rinaldo menerang-jelaskan di mana batas antara kesadaran semu dan kesadaran kritis di antara perempuan-perempuan itu: yaitu ketika seorang perempuan berdaya untuk melakukan aksinya bukan dengan pasrah bongkokan kepada teks melainkan dengan melakukan penafsirannya secara kritis atas teks. Secara lebih konkrit misalnya ditunjukkan dalam cara menerima dan menolak poligami, atau kepemimpinan perempuan. Sebab bagi para pelaku kesalehan kritis, teks (agama) bukanlah Tuhan melainkan petunjuk (hudan) bagi orang yang taqwa untuk menuju Tuhan #Lies Marcoes 28 Oktober 2020

Aneka Ragam Kelompok Puber Berislam, Puber Bersurga?

Penulis: Sumanto al Qurtuby

Sejak rezim Orde Baru tumbang, umat Islam yang dulu gerak-geriknya dibatasi dan diawasi kini bebas-merdeka merayakan ekspresi berislam. Namun ada beberapa jenis atau kelompok “puber berislam” di Indonesia.

Karena khawatir terhadap penyebaran “Islam politik” dan kekerasan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di masyarakat yang bisa berpotensi menganggu stabilitas nasional dan pemerintahannya, mantan presiden Soeharto dulu memang membatasi ruang gerak umat Islam sehingga membuat mereka sangat terbatas dalam melakukan ekspresi keberagamaan. Tapi kini lain. Seiring dengan mundurnya Pak Harto, umat Islam kemudian berhamburan keluar merayakan kebebasan berislam laksana burung yang baru keluar dari sangkarnya.

Saya perhatikan ada beberapa jenis atau kelompok “puber berislam” di Indonesia. Pertama, kelompok puber berkhilafah. Mereka adalah pengurus, aktivis atau simpatisan Hizbut Tahrir (HT), sebuah orpol (organisasi politik) transnasional yang bermarkas di Inggris yang cabangnya di Indonesia bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).  Mereka ini sejatinya adalah kelompok ideologis. Para tengkulak HT ini rajin sekali menjajakan barang dagangan “sistem khilafah” ke publik muslim sebagai “jalan dan solusi” bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sistem khilafah ini adalah “barang dagangan rongsokan” yang tidak laku di negara-negara lain, termasuk negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Asia Tengah, Asia Selatan, dlsb., tapi diminati oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Yang menjadi impian dan tujuan utama dari HTI adalah bagaimana mengubah dan mengtransformasi Indonesia menjadi sebuah negara yang berbasis sistem politik-pemerintahan khilafah.

Kedua, golongan puber berbusana syar’i

Mereka adalah kaum muslim/muslimah yang mengimajinasikan sebuah busana yang dipersepsikan sesuai dengan syariat, ajaran normatif Islam, perintah Al-Qur’an, serta praktik berbusana Nabi Muhammad dan generasi awal umat Islam. Tetapi lantaran semangat berislam mereka itu tidak diimbangi dengan pengetahuan dan wawasan yang memadai, akibatnya jadi rancau dan lucu. Alih-alih ingin “nyunah” atau “nyar’i”, malah jauh dari sunnah dan syariat.

Misalnya saja begini: sebagian kaum muslim laki-laki mengenakan “celana cingkrang” dengan alasan “nyunah”. Padahal, “celana setengah tiang” itu adalah produk kebudayaan masyarakat India-Pakistan. Para “cheerleader” Jamaah Tabligh-lah yang membawa dan memperkenalkan busana itu ke Indonesia. Kelompok lain mengenakan gamis/jubah. Padahal itu produk kebudayaan masyarakat Arab kontemporer, bukan masyarakat Arab di zaman Nabi Muhammad.

Sementara itu kaum muslimah ramai-ramai memakai abaya hitam plus hijab dan cadar hitam. Padahal itu produk kebudayaan kelompok Islamis revivalis kontemporer, baik Salafi Sunni (misalnya Ikhwanul Muslimin Mesir dan Afganistan era Taliban), Wahabi-Qutubi atau Syahwah (misalnya Arab Saudi atau kawasan Arab Teluk dan Yaman), maupun Syiah (misalnya Iran sejak Khomeini). Pakaian jenis abaya (jilbab gelombor) sendiri asal-usulnya berasal dari Persia, Yunani, dan Mesopotamia. Merekalah yang memperkenalkan busana itu ke masyarakat Arab.

Ketiga, golongan puber berakidah (Islam)

Mereka sejatinya golongan lama (yang sudah ada sejak abad-abad silam di Indonesia) yang muncul kembali karena ada angin segar yang memunculkan mereka. Kelompok ini adalah golongan umat Islam yang hobi mengafirkan, mensyirikkan, dan mengharamkan sesuatu karena dianggap tidak sesuai dengan akidah Islam.

Di mata mereka, apa saja atau praktik apa saja bisa distempel kafir, syirik dan haram kalau dianggap atau diklaim oleh mereka tidak sesuai dengan akidah Islam. Dalam praktiknya, sering kali kelompok ini sering overdosis atau kebablasan sehingga banyak sekali yang sudah mendapat cap kafir, syirik, atau haram seperti Nyi Roro Kidul, Dewi Lanjar, patung Cheng Ho, pohon cemara, seni menyusun batu, wayang, Valentine, musik, arca, makam, dlsb.

Keempat, kelompok puber berhijrah. Mereka adalah kelompok Muslim anyaran (mualaf) dan komunitas Muslim urgan penggemar pengajian yang sedang senang-senangnya mengumpulkan pahala dan berbulan madu dengan Islam. Lagi-lagi, karena semangat berislam tidak diiringi dengan wawasan dan pengetahuan yang mumpuni, akhirnya konsep hijrahnya pun jadi lucu dan wagu.

Misalnya kalau ada Muslimah berhijab dianggap berhijrah, kalau ada Muslimah berjilbab gelombor dianggap berhijrah, kalau ada Muslim berjenggot atau bergamis dianggap berhijrah, kalau ada yang ngomong akhi-ukhti atau tetek-bengek bahasa Arab dianggap berhijrah, begitu seterusnya. Padahal, di Timur Tengah, semua itu dipraktikkan oleh berbagai kelompok agama: Yahudi, Kristen, Yazidi, dlsb. Bukan hanya muslim/muslimah saja.

Kelima, kelompok puber bersurga. Mereka adalah golongan “surga hunter” atau pemburu surga. Mereka berimajinasi bahwa surga adalah tempat khusus yang dibuat Tuhan untuk umat Islam yang berpandangan dan berperilaku seperti mereka. Umat Islam (apalagi umat agama lain) yang tidak berpandangan dan berperilaku seperti mereka dianggap atau diklaim tidak akan masuk surga. Mereka pun rajin sekali melakukan atau mempraktikkan sesuatu yang dianggap bisa menjadi jalan menuju surga (misalnya dengan menutup rapat-rapat tubuh mereka).

Bukan hanya itu. Mereka bahkan juga rajin “memasarkan” surga itu dan mengingatkan orang lain akan masuk neraka kalau tidak berpandangan dan berperilaku seperti mereka. Mereka lupa bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang memiliki konsep surga.

Faktor-Faktor Munculnya Kelompok Puber Berislam 

Kenapa kaum puber dan overdosis berislam muncul di Indonesia? Sudah saya singgung di awal paragraf ini, tumbangnya Pak Harto dan Orde Baru yang kemudian diikuti dengan munculnya (kembali) iklim demokrasi telah menjadi faktor utama (primer) atas muncul dan berkembangnya berbagai kelompok puber/overdosis berislam ini.

Selain itu, ada sejumlah faktor sekunder yang menjadi pendukung atau komplemen. Misalnya, munculnya para penceramah Salafi dan Wahabi yang mengisi berbagai acara pengajian keislaman, baik di TV, radio maupun tempat-tempat publik. Kaum Salafi dan Wahabi adalah agen utama atau produser utama keislaman yang bercorak konservatif, intoleran, radikal, dan militan.

Kemudian berkembangnya media sosial (atau “sosmed”) seperti Google, Facebook, atau YouTube juga berperan besar dalam menyebarluaskan paham Salafisme dan Wahabisme. Kini YouTube menjadi medium distribusi berbagai kelompok dan aliran keislaman yang masing-masing memiliki pengikut setia. Banyak pengajian-pengajian on-line atau “vlog” yang diposting di YouTube oleh berbagai mazhab dan kelompok keislaman. Faktor lain adalah semakin meluasnya distribusi buku-buku bercorak Salafi-Wahabi.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang menjadi penyebab menjamurnya kaum puber berislam adalah kelembekan pemerintah dan aparat hukum dalam menangani berbagai macam aksi antitoleransi dan antikemajemukan di masyarakat yang dilakukan oleh berbagai kelompok Salafi ekstrem, Islamis militan, muslim intoleran, atau ormas Islam arogan.

Kelembekan dan kelambanan ini menyebabkan mereka semakin leluasa. Ironisnya lagi, aksi-aksi konyol mereka sering kali didukung oleh oknum-oknum pemerintah dan aparat keamanan, selain mendapat legitimasi dari lembaga keulamaan seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Alih-alih menindak tegas, pemerintah justru ikut “menternak” mereka. Pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sering kali dituding sebagai rezim yang turut menyuburkan pertumbuhan kaum Salafi dan kelompok muslim ekstrem ini. Di masa pemerintahannyalah, aneka kelompok Islam puritan-intoleran-konservatif, khususnya jaringan Partai Keadilan Sejahtera, mendapat perhatian besar. Partai inilah, antara lain, yang menjadi “markas” dan “induk semang” dari aneka ragam “kelompok Sawah” (Salafi-Wahabi) di Indonesia.

Sepanjang kelompok berislam ini tumbuh dengan tetap menghargai kemajemukan, memelihara perdamaian dan toleransi, serta menjaga ideologi dan konstitusi negara, saya kira tidak masalah. Tetapi kalau sudah antipluralitas, suka berbuat kekerasan dan keonaran, serta tidak mengindahkan idologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945, maka pemerintah dan masyarakat wajib untuk mengingatkan, menindak tegas, dan menghalau mereka.

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.

Sumber: https://www.dw.com/id/aneka-ragam-kelompok-puber-berislam/a-53499023

Islam, Demokrasi, dan Perdebatan yang Belum Usai

Lies Marcoes Natsir, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Kitab menceritakan satu kenangan bersama almarhum Presiden Indonesia keempat, Abdurrahmah Wahid alias Gus Dur. Dia ingat, suatu saat berada dalam forum seminar bersama Gus Dur di Erasmus Huis.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan, di banyak negara Islam, belum tentu perempuan diberi tempat sebaik di Indonesia. Di mana kondisi itu adalah konsekuensi logis, sejak adanya pesantren putri dan perempuan bisa masuk ke perguruan tinggi Islam. Langkah itu, membawa mereka ke banyak pilihan, seperti Fakultas Syariah, yang akhirnya memungkinkan perempuan menjadi hakim.

“Sesuatu yang di negara Islam lain tidak mungkin, pada waktu itu tahun 1957, perempuan bisa menjadi hakim. Jadi, penerimaan perempuan ada di ruang publik dan menduduki peran-peran yang strategis hampir tanpa diskriminasi, itu adalah satu ciri penerimaan atau kesesuaian Islam dan demokrasi,” ujar Lies.

Kenangan itu dipaparkan Lies dalam forum yang juga digelar Erasmus Huis dalam bingkai AE Priyono Democracy Forum, Jumat (16/10) sore. Kali ini, forum berbincang mengenai Islam dan Demokrasi: Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia.

Moderat Sejak Lama

Lies ingin meyakinkan publik, bahwa Islam di Indonesia sejak lama sebenarnya bersifat moderat atau yang disebut sebagai washatiyah. Sikap moderat itu menjadi pilar yang menjamin perkembangan dan bersemainya demokrasi.

Faktornya, kata Lies, antara lain karena Indonesia memiliki dua organisasi sipil Islam yang kuat, yaitu NU dan Muhammadiyah. Indonesia juga memiliki pesantren, sebagai subculture dari Islam, dimana perempuan yang diwakili figur Bu Nyai, berperan sangat penting. Faktor ketiga, menurut Lies, Indonesia memiliki perguruan tinggi Islam, dimana moderasi beragama dikembangkan. Paling penting dari itu, salah satu ciri khas Islam di Indonesia, dimana demokrasi bisa berkembang, karena perempuan mendapatkan tempat di ruang publik.

Sayangnya, dalam periode Orde Baru, kondisi justru berubah. Dalam ideologi yang memadukan pengaruh Jawa dan militer, kata Lies, perempuan dipindah perannya ke belakang, yang dikenal dengan istilah “konco wingking”.

AE Priyono Democracy Forum, Islam dan Demokrasi Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia, Jumat, 16 Oktober 2020. (Foto: screenshot)

“Yang paling menyedihkan, saya kira, sehingga kita punya masalah sekarang, di era Orde Baru kita tidak diberi kesempatan melakukan kontestasi, dengan pandangan-pandangan yang datang dari Islam,” tambah Lies.

Setelah reformasi kondisinya kembali berubah, ada kelompok yang di era ini justru kembali mengangkat ide-ide berdasar teks keagamaan. Demokrasi, kemudian,seolah muncul kembali pertentangannya dengan Islam.

Tantangan Bagi Muslim

Budhy Munawar Rachman, pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas menyebut beberapa kemungkinan, mengapa Indonesia masih memiliki masalah ketika persoalan Islam dan demokrasi sebenarnya sudah selesai.

“Pertama kali, mungkin kita harus ingat bahwa demokrasi ini sebenarnya sesuatu yang memang baru. Betul-betul baru untuk dunia Islam. Baru dalam arti, bahwa ini adalah norma internasional yang di dunia Islam belum dikenal. Walaupun ,kita bisa mencari akar demokrasi di dalam tradisi-tradisi Islam,” kata Budhy.

Karena baru itu, dibutuhkan refleksi yang mendalam dari komunitas muslim, terutama cendekiawan, tentang ide-ide yang berkembang di dunia Islam. Hal itu perlu agar persoalan ini menjadi bagian dari Islam, dari pemikiran Islam, kata Budhy.

Para pemikir muslim Indonesia, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, dan banyak lainnya, menurut Budhy sebenarnya sudah menunjukkan kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Budhy memberi contoh, negara-negara mayoritas muslim yang akhirnya memilih menerapkan demokrasi ketika merdeka, adalah bukti Islam selaras dengan demokrasi.

Dia juga meyakinkan, jelas tidak ada masalah demokrasi sebagai sebuah nilai. Persoalannya tinggal teknis penerapan demokrasi dalam kenyataannya.

“Tugas kita sebagai muslim sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan mutu dari demokrasi tersebut. Masalah kita bukan, apakah Indonesia itu negara demokrasi atau bukan karena kita adalah negara demokrasi. Nilai apa yang disumbangkan kalangan muslim terhadap proses demokratisasi itu dan meningkatkan mutu demokrasi adalah tanggung jawab kita,” papar Budhy.

Polarisasi Kian Terasa

Peneliti yang sedang menempuh program doktor di Australian National University, Nava Nuraniyah, menyebut, kelompok-kelompok dalam Islam memberi dukungan politik yang berbeda di Indonesia.

Dalam dua Pemilu terakhir, posisi keduanya semakin terlihat karena dukungan yang terpusat pada dua kubu berseberangan. Karena hanya dua kubu itulah, polarisasi semakin terasa. Perbedaan dalam demokrasi sebenarnya sesuatu yang wajar, namun dalam kasus dua Pemilu terakhir, kondisi itu justru membahayakan demokrasi.

“Polarisasi yang berimbas kepada demokrasi, adalah ketika berbagai macam permasalahan yang ada di masyarakat, dari mulai perbedaan etnis, agama, sampai ketimpangan ekonomi, itu dikerucutkan, diesensialisasikan menjadi seakan-akan itu cuma satu jenis pembelahan identitas,” kata Nava.

Dia memberi contoh, yang terjadi di Amerika Serikat antara kelompok kulit putih dan imigran serta kulit hitam. Atau di India, yang terjadi antara Hindu dengan minoritas muslim. Di Indonesia, periode ini dikenal dengan perseteruan Kadrun dan Cebong. Karena polarisasi, Pemilu yang semestinya menjadi adu program kebijakan, berubah serupa perang suci antara dua ideologi, ujar Nava.

Di Indonesia, lanjut Nava, kubu yang dianggap pluralis menang dalam Pemilu, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus pembubaran HTI misalnya, muncul banyak kritik karena prosedur itu tidak dilakukan melalui pengadilan.

Nava memaparkan, ada tiga mazhab dalam menyikapi kondisi yang saat ini terjadi, yang dibahas kalangan peneliti demokrasi. Aliran pertama adalah mereka yang percaya, bahwa demokrasi harus dibela dengan cara militan. Mereka percaya, kebebasan berbicara dan berkumpul bisa dibatasi untuk kelompok tertentu yang memang mengancam demokrasi. Namun, tindakan itu harus melalui jalur hukum, bukan keputusan sepihak seorang presiden.

Mazhab kedua adalah demokrasi liberal prosedural. Kelompok ini menegaskan, bahwa dalam demokrasi, negara harus mengakomodasi seluas-luasnya semua pendapat, bahkan bagi kelompok intoleran. Tujuan memberi akomodasi ini, karena pertimbangan lebih baik kelompok ini berada dalam sistem daripada bertambah radikal di luar. Jika mereka mengikut kompetisi politik yang fair, kelompok ini akan belajar menjadi lebih pragmatis. Di Indonesia, kelompok yang awalnya pro syariah, kemudian melunak karena dalam sistem demokrasi kelompok ini dipaksa melakukan proses take and give.

“Yang terakhir, sosial demokrasi. Ini lebih menekankan pada keadilan sosial, bahwa untuk memperkuat demokrasi, tidak cuma institusinya yang dikuatkan, tetapi juga rakyatnya dikuatkan. Pertama, ketimpangan ekonomi harus diselesaikan dahulu. Ketika rakyat menikmati akses setara dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kebebasan berpendapat dalam demokrasi, maka dengan sendirinya rakyat akan merasa memiliki dan membela demokrasi,” papar Nava. [ns/ab]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/islam-demokrasi-dan-perdebatan-yang-belum-usai/5624093.html

Public Virtue Institute: Pemerintah Harus Tegakkan Demokrasi Yang Persuasif Atasi Gejala Islamisme

Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Institute sangat khawatir tren menguatnya konservatisme dan intoleransi dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam. Tren ini juga meliputi munculnya gejala Islamisme politik yaitu gerakan menuju pembentukan negara Islam dan menolak sistem demokrasi.

Namun Public Virtue juga mendesak pemerintah untuk mengutamakan kebijakan dan pendekatan yang persuasif, bukan represif. Pendekatan pemerintah dalam hal menegakkan demokrasi dan pluralisme yang represif justru semakin menurunkan kualitas demokrasi dan pluralisme itu sendiri. Kebebasan individu dari setiap warga, termasuk jika seseorang memiliki pandangan berbeda tentang demokrasi, tetaplah harus dilindungi.

Pendekatan persuasi dalam menjaga demokrasi dari fenomena Islamisme penting karena ada banyak ajaran Islam yang selaras dengan demokrasi. Menurut Public Virtue, Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat Islam untuk mempromosikan ajaran-ajaran Islam untuk memajukan dan menjaga sistem demokrasi dan nilai-nilai pluralisme. Yaitu dengan melindungi kebebasan individual dan keadilan sosial. Perlindungan kebebasan individual akan membuat mereka yang konservatif dilindungi hak-haknya. Pemenuhan keadilan sosial akan membuat masyarakat yang marjinal tidak mudah diprovokasi oleh paham-paham yang dikhawatirkan oleh pemerintah.

Kesimpulan tersebut disampaikan oleh Public Virtue saat menggelar acara seminar bertema “Islam dan Demokrasi: Menyoal Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial” pada Jumat, 16 Oktober 2020. Seminar ini merupakan edisi keempat dari Forum Demokrasi A.E Priyono yang diselenggarakan atas kerja sama Public Virtue dan Erasmus Huis, Kedutaan Kerajaan Besar Belanda.

Acara yang dimoderatori oleh pegiat Public Virtue Anita Wahid menghadirkan para pembicara seperti Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes, pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas Budhy Munawar Rachman, dan peneliti Indonesia yang berbasis di Australian National University, Nava Nuraniyah.

“Kami menghormati langkah pemerintah untuk menjaga kemajemukan masyarakat (pluralisme) di Indonesia. Namun langkah itu harus mengutamakan pendekatan persuasi, bukan represi. Cara ini diperlukan agar kualitas demokrasi Indonesia tidak semakin dinilai merosot. Negara harus melindungi kebebasan individual sekaligus keadilan sosial,” kata Direktur Eksekutif Public Virtue Ahmad Taufiq.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu`ti yang menjadi pembicara kunci menyatakan, “Demokrasi bukanlah sekedar sistem politik, tetapi sistem nilai yang menjadi dasar pembentukan kesejahteraan dan keadilan sosial serta keadaban suatu bangsa. Emansipasi, meritokrasi, dan pluralisme adalah tiga nilai dasar demokrasi yang juga merupakan nilai-nilai utama dan keutamaan dalam Islam”.

Senada dengan Mu’ti, salah satu pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS) serta pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas Budhy Munawar Rachman, “Islam dan Demokrasi adalah dua norma yang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya menggambarkan ideal yang sama tentang masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis. Islam mendukung norma-norma internasional baru seperti demokrasi. Visi keislaman harusnya mendorong kita mengembangkan kualitas demokrasi kita di Indonesia.”

Sementara itu, pemerintah dan para pemimpin organisasi keagamaan juga harus bekerja sama menghadapi tantangan polarisasi sosial di kalangan masyarakat Islam. Tantangan ini terlihat dalam ajang pilikada di DKI pada 2017 dan Pilpres 2019, yang bahkan telah dimulai pada Pilpres 2014.

Bagi Nava Nuraniyah yang juga menjadi pembicara, Perbedaan dalam masyarakat adalah hal wajar, apalagi dalam demokrasi. Tapi bukan itu yang dimaksud polarisasi. Polarisasi adalah ketika berbagai macam masalah di masyarakat berupa perbedaan ras, agama, ketimpangan ekonomi dikerucutkan oleh aktor-aktor populis menjadi satu jenis pembelahan identitas: pribumi vs imigran; pro-NKRI vs anti-NKRI; kadrun vs cebong”.

Nava melanjutkan bahwa polarisasi sosial tersebut berimbas negatif pada Pemilu. “Pemilu yang sejatinya adalah ajang adu program kebijakan malah menjadi semacam “Armageddon” atau perang suci antara dua ideologi,” kata NavaDia juga mengkhawatirkan bahwa pada akhirnya semua berdampak negative pada kualitas demokrasi di tingkat atas maupun bawah. Di tingkat bawah, pihak oposisi tidak mau mengakui kekalahan atau bahkan mengancam akan revolusi. Sedangkan di tingkat atas, si pemenang jadi sangat alergi dan represif terhadap oposisi.

Para pembicara sepakat untuk menolak penggunaan agama sebagai strategi untuk memecah belah masyarakat dengan hasutan kebencian untuk mencapai tujuan kepentingan kekuasaan jangka pendek. Mereka juga sepakat bahwa Islam adalah ajaran agama yang nilai-nilainya selaras dengan demokrasi.

Nilai-nilai yang sama tersebut mencakup ajaran tentang keadilan, persamaan hak dan derajat, persaudaraan dan kebebasan. Sepanjang negara berpegang pada nilai-nilai itu, maka mekanisme yang diterapkan sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian berdirinya sebuah negara Islam yang bersifat formalistis dan ideologis sudah tidak terlalu penting adanya. (*)

Sumber: https://event.tempo.co/read/1396808/public-virtue-institute-pemerintah-harus-tegakkan-demokrasi-yang-persuasif-atasi-gejala-islamisme/full&view=ok

Perempuan Alami Kematian Fisik dan Non Fisik

Selama beberapa tahun terakhir perempuan menjadi target dari kelompok fundamentalis. Sejumlah perempuan bahkan tidak berdaya dan hidupnya dibatasi dalam berbagai hal, terutama jauh dari ruang-ruang publik.

Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR

22 Oktober 2020

Jakarta, Kompas – Kendati fenomena keterlibatan perempuan dalam kelompok fundamentalis terus menguat, hingga kini tidak banyak yang menyadari bahaya dan dampak luas yang dialami perempuan. Perempuan tidak hanya mengalami kematian secara fisik karena menjadi korban bom dan sebagainya, tetapi kehidupannya juga mengalami kematian non fisik pada jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandiriannya.

.

Ancaman fundamentalisme terhadap perempuan, terungkap dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di lima daerah urban yakni di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan Solo Raya pada tahun 2019-2020. Di kalangan fundamentalis, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, karenanya fitrah perempuan adalah tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian non fisik yang dialami oleh perempuan yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan, bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah.(Lies Marcoes)

“Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian non fisik yang dialami oleh perempuan yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan, bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah,” ujar Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, pada Seminar Internasional “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”, Rabu (21/10/2020) secara daring.

.

Seminar yang diselenggarakan Rumah KitaB bekerja sama dengan the Sydney Southeast Asia Centre (SSEAC) The University of Sydney dan Kresna Strategic, membahas temuan penelitian dan rekomendasi akademis untuk advokasi kebijakan, terkait upaya mengatasi kekerasan ekstrem di Indonesia dengan memperhatian aspek-aspek relasi jender dalam membaca perkembangan fundamentalisme di Indonesia.

.

Menurut Lies dampak yang dialami para perempuan di kelompok fundamentalisme, melalui sejumlah pandangan “tersamar” yang menimbulkan rasa khawatir, takut, rasa bersalah dan tak berdaya, serta rasa tergantung yang sangat besar kepada laki-laki yang diyakini akan menyelamatkan perempuan.

.

“Kami menyaksikan bahwa ajaran ini berkawan dan berkawin dengan kapitalisme dan pasar yang memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan produksi-produksi yang mencirikan sebagai sesuatu yang lebih baik dari yang lain,” tegas Lies yang menyampaikan hasil penelitian bersama Nur Hayati Aida, peneliti Rumah KitaB.

.

Narasi sama

.
Dari penelitian yang mengusung tema “Identifikasi Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan akibat Intoleransi dan Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan melalui Penelitian Feminis” tersebut, Aida mengungkapkan ada sejumlah temuan kunci pandangan kelompok fundamentalis tentang perempuan, yang meskipun disuarakan atau dinarasikan oleh beragam orang di beberapa wilayah tetapi narasi yang diajarkan mengenai perempuan itu hampir persis  sama dan serupa.

.

Misalnya, soal perempuan sebagai sumber fitnah (sumber kegonjangan dan kekacauan sosial). Karena itu, keberadaan perempuan harus tertutup bukan hanya secara fisik tetapi juga relasi sosial atau ruang publik.
Karena sumber fitnah, maka fitrah perempuan, adalah tempat perempuan hanya di rumah, baik sebagai anak ketika ia belum menikah atau berperan sebagai istri dan ibu ketika ia sudah menikah. Posisi laki-laki baik sebagai ayah, terutama sebagai suami sangat penting.
“Betapa besarnya posisi laki-laki di kehidupan perempuan. Kalaupun perempuan boleh memiliki pekerjaan di luar rumah, itu hanya ada dua hal yaitu di bidang pendidikan dan di bidang kesehatan,” ujar Aida.
.

Dari  sisi seksualitas, ajaran kelompok fundamentalis juga mengontrol tubuh perempuan, melalui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan, sehingga perempuan kehilangan otoritas tubuh dan seksnya.  Baik janda ataupun gadis akan dipaksa harus menikah.
“Karena apa? Menikah adalah salah satu cara supaya perempuan tidak lagi menjadi fitnah,” kata Aida.

.

Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) penanggulangan radikal terorisme merupakan harus menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah, tetapi semua pihak harus terlibat.
“Yang paling utama adalah membangkitkan civil society terutama silent majority, yang mayoritas moderat. Tapi masyarakat Indonesia yang mayoritas mereka  silent, sementara kelompok radikal teroris ini sedikit tapi berisik, terutama di media sosial. Ini yang harus kita bangkitkan,” katanya.

.

Prof Michele Ford (Sydney Southeast Asia Center The University of Sydney, Australia) menilai dampak fundamentalis semakin membahayakan perempuan, kemungkinan karena selama ini suara-suara progresif dalam dunia Islam di ruang publik agak kalah dibandingkan suara-suara yang lebih konservatif.

.

“Jadi mungkin ada kebutuhan untuk meraih kembali ruang-ruang publik dan menempatkan wacana yang lebih progresif, yang lebih lebih mengakui kemungkinan perempuan bisa hidup secara berdaulat, tapi juga bisa jadi orang Islam yang baik,” ujar Michele.

 

Sumber: https://kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2020/10/22/perempuan-alami-kematian-fisik-dan-non-fisik/

Laporan Seminar Internasional Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Rumah KitaB, 21 Oktober 2020

 

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Muslim Indonesia dikenal memiliki cara pandang keagamaan moderat (wasathiyyah). Dua aspek yang menonjol dan hampir tak dimiliki oleh negara berpenduduk Muslim lain adalah terbukanya akses bagi perempuan ke ruang publik untuk sektor apapun, dan terjadinya konvergensi alamiah antara feminis sekuler dengan feminis Islam –yang bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan perempuan. Selain, tentu saja, dipengaruhi dua Ormas keagamaan raksasa di negeri ini, yaitu NU dan Muhammadiyah.

 

Namun, seiring perubahan, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional, moderatisme Islam yang menjadi ciri umum masyarakat Indonesia mendapat tantangan serta banyak mengalami pergeseran. Hal ini ditandai semakin menyempitnya ruang gerak perempuan  akibat fundamentalisme agama, yaitu sebuah paham yang memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak.

 

Inilah salah satu yang melatarbelakangi penelitian Rumah KitaB tentang dampak fundamentalisme agama terhadap perempuan. Desember 2019 sampai Juni 2020 Rumah KitaB melakukan penelitian di lima wilayah di Indonesia, yaitu Depok, Jakarta, Bogor, Bandung dan Solo Raya. Menurut Lies Marcoes, selaku direktur eksekutif sekaligus koordinator penelitian ini, Rumah KitaB merekrut dan melatih 14 peneliti muda yang  didampingi 4 supervisor untuk melakukan penelitian sekaligus kaderisasi peneliti feminis.

 

Hasil penelitian itu kemarin (21/10) diluncurkan melalui Webinar dengan tajuk “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”. Webinar hasil kerjasama Rumah KitaB dengan Sydney Southeast Asian Centre The University of Sydney (SSEAC) ini mengundang sejumlah pembicara dan panelis: Lies Marcoes, M.A. (Direktur Rumah KitaB), Nur Hayati Aida (Peneliti Rumah KitaB), Prof. Dr. Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP]), Prof. Dr. Michele Ford (sydney Southeast Asian Centre, The University of Sydney, Australia), Nurhady Sirimorok, M.A. (peneliti senior Rumah KitaB), Dr. Noor Huda Ismail (Nanyang Technological University, Singapura), Ihsan Ali Fauzi, M.A. (PUSAD Paramadina), R. Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M. (Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme [BNPT]). Acara dibuka oleh Ulil Abshar Abdalla (board Rumah KitaB) dan Walter Doetsch (Director Office of Democratic Resilience dan Governance, USAID Indonesia. Acara ini dihadiri sekitar 234 peserta, termasuk di antaranya datang dari Malaysia, New Zealand, Australia, dan Belanda. Peserta yang hadir beragam mulai dari akademisi, peneliti, aktivis CSO, pengurus organisasi kemasyarakatan, wartawan, hingga dari unsur pemerintahan

 

Dalam sambutannya, Doetsch mengucapkan terima kasih kepada Rumah KitaB yang telah melakukan penelitian penting ini. Menurutnya, hal ini sejalan dengan perhatian dan kerja organisasinya dalam mendorong kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Penelitian ini juga sangat berguna dan ikut memberikan kontribusi signifikan dalam CVE dan demokratisasi.

 

Dalam presentasinya, Lies Marcoes menyebut bahwa penelitian ini berhasil menemukan dan meredefinisi konsep kekerasan ekstrem. Selama ini kekerasan lebih banyak dipahami secara maskulin sebagai kekerasan fisik yang menyebabkan kematian fisik. Dengan menelaah everyday oppression melalui hegemoni ajaran tentang fitrah dan fitnah perempuan mengalami kematian jiwa, pikiran, kemandirian dan kebebasan. Kekerasan ini bersifat non-fisik akibat cara pandang tentang perempuan sebagai fitnah dan fitrah. Inilah kekerasan ekstrem yang dialami banyak perempuan yang hanya dapat dilihat jika digunakan alat analisis yang tepat yaitu analisis gender.

 

Cara efektif yang mereka lakukan untuk menyebarkan gagasannya adalah  mendelegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyyah –yang tadinya bersifat cair dan memberi ruang kepada perempuan. Melalui konsep hijrah, ruang gerak perempuan dipersempit dan selalu dalam pengawasan laki-laki (hegemoni patriarki). “Fenomena ini tak hanya terjadi di perkotaan, tapi sudah merambah ke pedesaan.  Ajaran ini semakin menemukan momentumnya setelah berkawan dan berkawin dengan kapitalisme,” ujar Lies. Dalam maksud itu ajaran fundamentalisme diterjemahkan oleh pasar dan melahirkan “ merek” barang dan jasa yang dicap syar’i dan tidak syar’i.

 

Mempertajam pemaparan Lies Marcoes, Aida menjelaskan bahwa melalui riset feminis-etnografi ini struktur-struktur relasi sosial dan gender yang timpang, yang menjadi ancaman bagi keamanan insani perempuan bisa terlihat dengan jelas. Ancaman itu terjadi sepanjang hari terhadap perempuan, dan hampir-hampir sulit untuk dikenali sebagai sebuah kekerasan. Sebab, peran dan relasi gender dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang punya daya paksa dalam membentuk kepatuhan. Hasil temuan penelitian ini mengerucut pada ajaran tentang perempuan sebagai fitnah. Karena itu, untuk menjaga stabilitas moral, maka fitrah perempuan harus tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

 

Melalui dua ajaran tersebut menghasilkan rumusan tentang konsep gender transendental, yaitu sebuah ide tentang keadilan yang akan diraih perempuan ketika negara Islam atau minimal syarat Islam telah diterapkan, atau kelak di akhirat.

 

Tiga temuan ini menjadi antitesis atas konsep keadilan gender yang selama ini dikembangkan sebagai metode dan strategi untuk meraih kesetaraan gender. Tiga temuan itu menjelaskan tentang narasi dan logika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan akibat hegemoni paham fundamentalisme melalui proses penundukkan yang berlangsung terus menerus dan setiap hari. Ajaran fundamentalisme juga mendelegitimasi tradisi dan ajaran Islam wasathiyyah yang selama ini menghargai keberagaman.

 

Selain itu, kata Prof. Michele Ford, ketidakbolehan perempuan bekerja akibat konsep fitnah dan fitrah, menyebabkan ketergantungan perempuan. Bagi mereka yang mapan secara ekonomi, mungkin hal ini tak begitu bermasalah. Namun, bagi mereka yang secara ekonomi kurang mapan, tentu akan menambah beban ganda bagi perempuan. Namun, Michele juga merekomendasikan semestinya penelitian ini lebih jeli dalam melihat bahwa di lapangan pandangan serupa itu tak melulu ditemukan dalam kelompok Salafi Fundamentalis, tetapi di dalam pandangan tradisional pun juga muncul.  Sebagaimana yang ia amati dalam kelompok atau lingkungan buruh yang menjadi pusat amatannya. Karenanya, ia mengusulkan harus melihatnya sebagai sebuah kontinum dari yang moderat sampai yang fundamentalis.

 

Karena itu, menurut Musdah Mulia, penting sekali merebut kembali ruang publik untuk menarasikan bahwa agama sudah seharusnya tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas, emansipasi, kesetaraan, dan keadilan. Agama harus mampu mengentaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan,dan keterbelakangan. Singkatnya, agama harus mampu mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi.

 

Di samping mengapresiasi hasil penelitian ini, para panelis juga memberikan masukan dan beberapa catatan. Salah satunya dari Ihsan Fauzi. Menurutnya, penting juga dijelaskan karakteristik masing-masing wilayah penelitian: Mengapa wilayah itu dipilih dan unsur-unsur apa saja yang dilihat. Juga dipertajam bentuk-bentuk resiliensinya.

 

Nurhady Sirimorok mencatat sejumlah rekomendasi sebagai penajaman yang diusulkan Ibu Musdah tentang pentingnya melanjutkan penelitian dan produksi pengetahuan. Sebagai pegiat dalam gerakan sipil, Nurhady menyarankan untuk melakukan penelitian terlibat agar perempuan sendiri dapat mencatat dan menganalisis problem yang mereka alami ketika berhadapan dengan hegemoni fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

Sementara Noor Huda Ismail menekankan perlunya penggunaan media populer yang kreatif untuk mensosialisasikan ancaman keamanan insani agar tak elitis dan hanya menjadi isu kalangan elit saja.

 

Sejumlah penanggap mengapresiasi tinggi atas penelitian dan merekomendasikan agar kajian ini disosialisasikan dengan cara populer dan dilakukan studi lanjutan untuk mendokumentasikan perempuan yang berhasil melakukan resiliensi. [] JM

ic

 

 

 

 

 

rumah kitab

Merebut Tafsir: Fitnah, Fitrah, dan Kekerasan Berbasis Gender

Oleh Lies Marcoes
.
Hari ini, 21 Oktober 2020, Rumah KitaB mempresentasikan penelitiannya tentang fundamentalisme (dalam) Islam dan dampaknya kepada kekerasan berbasis gender. Penelitian satu tahun di lima kota ini menyajikan temuan yang layak timbang untuk merumuskan penanganan kekerasan ekstrem di Indonesia. Empat pertanyaan diajukan dalam penelitian etnografi feminis ini: pandangan tentang perempuan, sosialisasi ajaran, dampak, dan resiliensinya.
Fundamentalisme dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai paham atau ideologi yang apapun jenis kelompoknya telah memperlakukan teks secara literal dan karenanya pandangannya merasa paling otentik, otoritatif, dan paling benar. Atas dasar itu, watak ideologinya menjadi anti keragaman. Klaim atas otentisitas kebenarannya mengancam secara fisik, non-fisik atau simbolik kepada pihak lain yang berbeda. Ini disebabkan oleh ajaran tentang al walâ’ wal barâ’, sebuah sikap loyal kepada kelompoknya dan melepaskan diri dari keterikatan kepada pihak lain di luar kelompoknya. Konsep itu melahirkan sikap eksklusif, intoleran, dan dapat membenarkan kekerasan untuk memaksakan pandangannya.
.
Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang kekerasan ekstrem. Selama ini konsep itu didominasi oleh cara pandang maskulin patriarki yang menguncinya ke dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa, kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
.
Penelitian ini mencatat kekerasan atas keamanan insani perempuan ini juga mengancam pilar-pilar yang selama ini menjadi penyangga kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran yang peduli pada keragaman sebagai warisan tak ternilai dari Islam Indonesia yang moderat/ wasathiyah.
.
Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama soal apa dan siapa perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan terus menerus ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik menjadi lantaran instabilitas moral yang (dapat) merusak tatanan sosial bahkan ekonomi. Untuk mengatasi hal itu, perempuan karenanya musti tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai dan batasi hadirnya di ruang publik baik secara langsung maupun simbolik.
.
“Iman mah kuat, ini si“amin” yang tak kuat. Keluhan personal seorang guru- pemilik si “amin” itu segera menjadi landasan keluarnya regulasi yang kewajiban murid dan guru perempuan (muslimah) memakai jilbab. Ini terjadi di sebuah SMA Negeri di salah satu lokasi penelitian ini. Namun hal sejenis dalam upaya menormalisasikan konsep perempuan sebagai fitnah dapat ditemukan di kelembagaan mana saja hingga perempuan sendiri merasa “salah tempat”.
.
“Setiap kali mau berangkat kerja, rasanya seperti mau ke tempat maksiat, sejak di jalan, di pabrik sampai pulang saya terus ikhtilat [bercampur dengan bukan muhrim]”. Keluhan seorang buruh perempuan yang telah berpakaian rapat ini akhirnya berujung pada “pilihan” mundur dari dunia kerja.
.
Kedua, ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional seperti ceramah:
“Biar nangis darah, Bu, fitrah wanita mah tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki, pertama wanita tak bisa sempurna ibadahnya karena ditakdirkan haid, nifas, perempuan suka ghibah (gosip), suka riya (pamer) suka tabarruj (dandan); kedua Allah sudah mengunci, sudah menetapkan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.
.
Ceramah lain di tempat lain begini ujarnya:
“Allah telah menetapkan kepala keluarga itu laki-laki, pencari nafkah itu laki-laki. Bagi yang tidak ada suami, yang jomblo, sama saja. Mereka tanggungan Bapaknya, atau walinya […] Namun Barat telah mengubahnya [..] Wanita sekarang ikut mengejar karier, anak dan rumah ditinggal. Laki-laki kehilangan martabatnya. Aturan Allah laki-laki memimpin, jelas itu, tapi ikut-ikutan [Barat], perempuan jadi manajer, jadi direktur, laki-laki jadi bawahan, hasilnya apa? Ketika ada pelecehan, minta Undang-Undang KDRT, UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kan lucu…, kalian yang tak nutup aurat, kalian yang nggak mau di rumah, pas kena resikonya kalian nyalahin laki-laki”.
.
Sepintas ungkapan itu masuk akal. Terutama bagi mereka yang meyakini bahwa ruang publik sepenuhnya milik lelaki didasarkan kepada teks yang menyatakan lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun ceramah serupa yang disuguhkan sebagai keyakinan kebenaran dan bukan sekedar pendapat, dapat merontokkan harapan perempuan untuk layak di ruang publik sekaligus membenarkan ruang publik memang tak aman bagi mereka.
Sosialisasi dan normalisasi ajaran perempuan sebagai fitnah ini gencar bukan main. Ini dilakukan melalui ragam platform sosial media serta kampanye kreatif lainnya. Dalam 13 minggu, peneliti di suatu wilayah, misalnya peneliti mencatat ada 23 flyer yang menyebarkan ajakan perempuan berhijrah.
.
Ketiga, ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus setiap hari itu mampu membobol mental mereka. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai suluh neraka. Pengecualiannya adalah jika mereka pasrah ikhlas pada apapun yang didapat dari suami sebagai imamnya.
.
Benar, suami adalah pencari nafkah, itu wajib. Tapi kalau ibu-ibu ikhlas atas apapun pemberian suami, tidak ngomel, tidak melawan, tidak maido (mencela), jannah menanti ibu dari mananpun pintu masuknya”.
.
Namun pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa kuasa atas modal dan pasar.
“Mau jilbab Dewi Sandra, atau hijab Umi Pipik, atau Peggy Melati Sukma Umi jual, dulu juga jual kerudung bordir model Ibu Gus Dur, tapi sekarang nggak laku lagi, lagian kan nggak syar’i, pakai kerudung tapi leher kelihatan, mana bisa, makanya nggak laku saya juga nggak jual lagi.”
“Aurat perempuan ya aurat, mau bayi mau dewasa, barangnya itu-itu juga. Laki-laki banyak juga yang kegoda lihat aurat bayi perempuan. Jadi bukan asal jualan, kita jualan untuk dakwah, menghindari setan masuk ke pikiran, biar nggak terjadi zina, minimal ndak zina mata.”
.
Adopsi terhadap pandangan serupa ini juga nggak recehan. Mengikuti keyakinan bahwa tempat terbaik perempuan adalah di rumah, para subyek penelitian ”menerima” pembatasan ruang gerak ekonomi dan sosialnya. Sebagian besar, terutama kaum pendatang, seperti para pekerja urban, mengalami keterputusan dengan akar tradisinya karena ajaran [baru] yang mereka ikuti telah memutus mewajibkan untuk seluruh keterhubungan mereka dengan kampung (tradisi beragama, tradisi budaya, cara berpakaian, cara berkeluarga dan cara bersilaturahmi) dengan alasan untuk menghindari perbuatan dosa besar dari bid’ah. Hal ini memunculkan ketergantungan mereka kepada kelompok-kelompok barunya di kota yang diikat oleh keyakinan-keyakinan baru mereka dalam ragam kelompok seperti salafi. Seorang mantan buruh di Bekasi mengurai kegelisahannya.
“Kadang saya kangen pulang ke Jawa (xx), tapi di kampung tidak ada yang pakai hijab begini, Ibu saya karena belum paham juga tidak setuju saya pakai baju ini. Maklum ibu saya petani. Lebaran tahun lalu tersiksa rasanya karena banyak yang nggak ngaji sunah. Wara wiri tetangga saudara-saudara naik motor kreditan, isi rumah mebel baru kreditan. Padahal itu semuanya hasil riba, haram. Badan saya rasanya panas.”
.
Namun penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan meskipun tidak/ belum membentuk agensi. Paling jauh berupa adaptasi terhadap perubahan- perubahan itu, atau perlawanan tanpa kekuatan pengorganisasian dan apalagi sikap kritis. Sebagian bahkan ”melawan” karena tak punya kesanggupan untuk ikut hijrah akibat kemiskinananya.
.
Demikianlah kekerasan ekstrem yang terpetakan dalam penelitian itu. Ini hanya dapat bisa dibaca dengan kaca mata yang peka dan sanggup membaca bagaimana perempuan dibentuk dan didefinisikan. Sistem patriarki telah melanggengkan kuasa laki-laki terhadap perempuan melalui kontrol, dan kepemilikan yang distrukturkan oleh ideologi dan sistem keyakinan. Padahal kontrol, kuasa, dan kepemilikan itu sangat rentan memunculkan kekerasan; fisik non-fisik serta hal-hal yang diakibatkan oleh sistem dominasi dan struktur yang menghasilkan ketidaksetaraan.
Situasi ini semakin gayeng karena pasar dan modal ikut melanggengkannya melalui konsep barang dan jasa serba syar’i. Namun, sikap negara yang seolah menarik jarak dari campur tangan terhadap masuk dan berkembangnya pandangan ekstrem serupa ini, telah melanggengkan kekerasan terhadap perempuan melalui hegemoni nilai-nilai patriarki yang terkandung dalam tafsir dan praktik keagamaan fundamentalis.
.
Hal ini jelas tak bisa terus berlangsung. Karenanya, penelitian ini merekomendasikan hal-hal yang seyogyanya dilakukan negara, masyarakat sipil, pelaku usaha utamanya para pendukung Islam moderat Indonesia secara lebih luas. Mewujudkan human security yang komprehensif dengan menggunakan perspektif gender yang mengharuskan tersedianya sistem perlindungan (protection) sekaligus pemberdayaan (empowerment) akibat cuci otak fitnah dan fitrah.
.
[] #Lies Marcoes 21102020

Nabi Ditanya, Mengapa Perempuan Jarang Disebutkan dalam al-Qur’an?

Oleh Fera Rahmatun Nazilah

Ini pertanyaan penting, memangnya perempuan tidak penting ya kok sampai jarang disebut Al-Quran?

Akhir-akhir ini, gerakan penyetaraan gender semakin digaung-gaungkan oleh berbagai kalangan, dari mulai para feminis hingga ibu rumah tangga. Namun apabila kita telisik lebih dalam lagi, upaya penyetaraan gender sesungguhnya telah muncul sejak masa Nabi SAW.

Sebelum Islam datang, Bangsa Arab dikenal sebagai penyembah berhala yang berkelakuan amoral. Oleh sebab itulah masa itu disebut jahiliyah. Philip K. Hitti mendefinisikan masa jahiliyah sebagai masa di saat masyarakat tidak memiliki nabi tertentu yang diutus dan memimpin, serta tidak memiliki kitab suci khusus yang diwahyukan dan menjadi pedoman hidup (Philip K. Hitti, 2005).

Salah satu prilaku jahiliyah mereka adalah ketidakadilan pada perempuan. Bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap aib bagi keluarga. Perempuan dianggap lemah dan hanya bisa menjadi beban ekonomi keluarga. Kalaupun bayi perempuan terbebas dari maut, mereka akan hidup dalam kesengsaraan. Tidak diakui hak-haknya, tidak mendapatkan warisan dan justru diwariskan seperti barang.

Namun Islam datang membawa misi pembebasan bagi manusia, termasuk pembebasan perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Islam menjunjung tinggi hak-hak perempuan, serta mengangkat harkat dan martabat mereka.

Di samping misi mulia Islam, kita perlu meningat pula bahwa mengubah keadaan yang telah melekat turun-temurun tak semudah membalikkan telapak tangan. Coba kita ingat kembali bagaimana larangan meminum khamr diturunkan secara bertahap. Juga upaya Islam menghapuskan perbudakan manusia secara perlahan.

Begitu pula upaya menghapuskan ketidakadilan bagi perempuan, sungguh tak mudah mengubah pola pikir yang telah mengakar dari nenek moyang. Meskipun demikian, pembelaan Islam terhadap hak-hak perempuan merupakan kemajuan pesat dibandingkan perlakuan masyarakat Arab jahiliyah kala itu.

Upaya penyetaraan hak antara laki-laki dan perempuan tidak hanya diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi, tapi juga didukung para sahabat perempuan. Salah satu sahabat perempuan yang cukup lantang dalam menyuarakan hak-hak perempuan adalah Ummu Umarah.

Dalam sunan at-tirmidzi, musnad Ishaq bin Rohawaih dan al-Mu’jam al-Kabir li Thabrani, disebutkan hadis tentang Ummu Umarah yang bertanya kepada Rasulullah SAW.

يَا رَسُولَ اللَّهِ, مَا أَرَى كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا لِلرِّجَالِ , لَا أَرَى لِلنِّسَاءِ ذِكْرًا

“Ya Rasulullah, tidaklah aku lihat segala sesuatu melainkan diperuntukkan untuk laki-laki, dan setahuku kaum perempuan tidak disebutkan sama sekali.” Maka Allah SWT kemudian berfirman surah al-Ahzab ayat 35:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Dalam riwayat lainnya, disebutkan bahwa Ummu Salamah juga pernah mengutarakan kegelisahan yang sama. Dari Abdurrahman bin Syaibah, ia mendengar Ummu Salamah bertanya kepada Nabi SAW:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا لَا نُذْكَرُ فِي الْقُرْآنِ، وَيُذْكَرُ الرِّجَالُ

“Ya Rasulullah, mengapa kami (kaum perempuan) tidak (amat jarang) disebutkan dalam al-Qur’an, sedangkan laki-laki (selalu) disebut-sebut?”

Setelah mengutarakan kegelisahannya pada Rasulullah, Ummu Salamah kemudian berkata “Tidak ada yang paling mengejutkanku di hari itu kecuali suara Rasulullah di atas mimbar. Ketika itu aku sedang menyisir rambut, aku langsung membenahi rambutku lalu keluar menuju suatu ruangan dan mendengarkan (khutbah Nabi).” Ternyata beliau berkata di atas mimbar:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ -الأحزاب:35

Hadis ini tercantum dalam beberapa kitab, diantaranya Musnad Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ahmad, dan al-Jami’ ash-shahih lissunan wal masanid karya Suhaib Abdul Jabbar.

Peristiwa ini menggambarkan upaya para sahabat perempuan dalam menjunjung hak dan kesetaraan gender. Mereka tak takut menyuarakan pikiran dan isi hatinya kepada Nabi. Peristiwa ini juga membuktikan bahwa Islam begitu menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Bahkan Allah SWT dan Nabi SAW begitu cepat merespon suara perempuan yang mengadukan isi hatinya. Ketika Nabi ditanya “Mengapa perempuan jarang disebutkan dalam Al-Qur’an?” Allah SWT langsung menurunkan ayat yang menyebutkan perempuan.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT tidak melihat hambanya dari jenis kelamin semata, melainkan dari iman dan takwanya. Terlebih dalam khutbahnya Nabi juga memperingatkan seluruh manusia (يَا أَيُّهَا النَّاسُ) untuk memperhatikan ayat ini, tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan. Ini artinya, kesetaraan gender memang harus diperjuangkan oleh siapapun, bukan hanya para perempuan saja. Karena Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan persamaan.

Wallahu a’lam bisshawab

Sumber: https://islami.co/nabi-ditanya-mengapa-perempuan-jarang-disebutkan-dalam-al-quran/

Program Berbagi Sayur Sehat di Lombok Utara

Oleh Nursyda Syam
.
Bagi kita yang hidup beruntung di tanah yang subur, banyak air dan bisa menanam apa saja, tentu saja sayur mayur dapat kita peroleh dengan cara yanh mudah. Tapi Hati-hati, justru terkadang hidup dalam kemudahan-kemudahan membuat kita lalai untuk mensyukuri nikmat hidup yang Allah beri. Bisa jadi tomat atau terong yang kita dapatkan dengan mudah di halaman atau bisa kita beli dengan harga murah di pasar, merupakan bahan makanan yang sangat diidamkan oleh mereka yang hidup di desa atau dusun yang kekeringan. Bagaimana mungkin bisa menanam dengan baik tanpa ada air?. Jangankan air untuk menyiram tanaman, untuk minum, memasak, mandi dan mencuci saja mereka kesusahan.
.
Jadi program berbagi sayur sehat untuk saudara-saudara yang terdampak kekeringan insya allah sangat membantu pemenuhan kebutuhan sayur mayur mereka. Alhamdulillah kali ini ada 27 paket sayur. Oya, karena ikan kering sedang kosong dan masih dijemur, kita ganti dengan buah sawo. Isi paket kali ini : tomat, terong bulat terong panjang, cabe dan sawo.
.
Program berbagi sayur sehat ini di dukung sepenuhnya oleh masyarakat Singapura beserta sahabat kami Abang

Tj Mohd dan Kak Ros Moe
.
Terima kasih yang tak terhingga kepada semua donor, Abang TJ dan Kak Ros atas inisiatif yang luar biasa ini. Selain membantu pemenuhan gizi warga di daerah kekeringan juga membantu membeli hasil panen dengan harga yang sangat layak, sehingga gerak perkembangan kebun pangan bisa terjaga. Tuhan saja yang bisa membalas semua kebaikan Abang TJ, Kak Ros dan semua donor.
.
Tak putus juga rasa terima kasih kami kepada Rumah Kitab, We Lead, Hivos, Bunda Lies Marcoes, Fadilla Dwianti Putri, Nura Jamil atas dukungannya pada Kebun Pangan Klub Baca Perempuan. Kebun pangan yang semula hanya penyaluran hobby Mamik, Mamak, anak-anak dan teman-teman kemudian didampingi oleh Rumah Kitab beserta mitra sehingga bisa berkembang sejauh ini. Terasa betul kami didampingi.
.
Semoga kelak, melalui ranum buah tomat dan sayur mayur beserta semua produk Rumah Indonesia, Klub Baca Perempuan bisa mengantar anak-anak sekolah setinggi-tinggi, bisa berkontribusi memberi tambahan gaji guru di sekolah kami nanti, bisa jadi tabungan kesehatan bersama, bisa mewujudkan impian untuk umroh bersama bagi yang muslim ( amiin ya rabb ). Semoga hasil kebun pangan melimpah agar bisa digunakan untuk membeli buku-buku berkualitas, bisa buat mengirim anak-anak magang dan belajar, bisa digunakan untuk membuat lebih banyak pojok baca dan lainnya.
.
Dan semoga, suatu hari nanti, hasil kebun pangan KBP bisa mewujudkan impian Mbok Ajeng Sudewi, Kak Tuan Suciatun Ninadaya, Kak Kurniatun Dafa, untuk membeli tiket PP Indonesia – Korea Selatan – Indonesia, untuk membawakan hadiah sayur buat idola mereka Yong Hwa.
.
Tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Selama kita percaya pada-Nya, insya allah semua bisa mewujud dengan kun fa ya kun Nya.

Perempuan Pencari Nafkah

Oleh Een Suryani.
.
Pernikahan membawa banyak konsekuensi. Ijab qobul dalam pernikahan adalah ikrar yang tak main-main. Sebuah perjanjian agung, mitsaqon ghaliza, yang melahirkan komitmen besar untuk memberi, melindungi, berkorban, juga bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi untuk orang yang dicintai.
.
Pernikahan telah menghalalkan hubungan yang awalnya haram menjadi halal. Karena itu, hubungan antar suami istri akan diikuti pula beban dan tanggung jawab proses reproduksi. Perempuan adalah makhluk yang dianugerahi seperangkat alat untuk reproduski tersebut. Menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Sedangkan laki-laki tidak mengalami fase itu semua. Untuk itulah laki-laki diberikan amanah awal sebagai bentuk tanggung jawabnya dengan memberikan perlindungan materi dan rasa aman terhadap perempuan yang ia nikahi.
.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa : 34)
.
Ayat tersebut dalam tafsir klasik dan pertengahan banyak menjadi rujukan sebagai rekomendasi kepemimpinan keluarga pada laki-laki. Menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanita karena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria diberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpin atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan watak.
Ibn al-‘Arabi menafsirkan qawwam pada ayat ini diartikan orang yang dipasrahi, yang menjaganya dan memberinya rasa aman, mengurusi segala kebutuhannya serta memperbaiki keadaannya. Ibn Katsir mengartikan kata qawwam pada ayat ini dengan pemimpin, pembesar, penguasa, dan pendidik yang senantiasa mengurusi dan membimbingnya.
.
At-Thabari juga menafsirkan kata qawwam dengan ahlu qiyam yang diartikan sebagai penanggung jawab, yakni bertanggung jawab mengurusi istrinya, bertanggung jawab membimbingnya dan menanggung segala kebutuhannya.
Dengan demikian, menurut tafsir para ulama, kata qowwam diberikan kepada laki-laki diikuti syarat yang mengikutinya yaitu mempunyai kelebihan (kapasitas) dan memberi perlindungan nafkah harta kepada istrinya.
Dalam tataran realitas, tak sedikit keluarga yang kehilangan peran suami sebagai pencari nafkah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020, tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 % perempuan sebagai kepala rumah tangga. Dengan faktor penyebab bercerai dengan suaminya, suami difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi lama tanpa memberi nafkah, ada pula yang suaminya tidak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena pengangguran dan sakit.
.
Lalu, bagaimana memaknai kembali kata qowwam dalam QS.An-Nisa ayat 34 tersebut ketika suami tidak lagi memenuhi syarat karena tidak memiliki kapasitas dan kemampuan memberi nafkah?
.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm telah menyimpulkan bahwa tanggung jawab suami kepada istri adalah mencukupi kebutuhannya. Termasuk di dalamnya adalah nafkah. Konsekuensinya adalah bahwa suami tidak diperbolehkan menikmati istrinya tetapi melalaikan apa yang menjadi haknya. Karena itu, jika suami tidak memberikan apa yang menjadi hak istrinya, maka istri boleh memilih di antara dua opsi; tetap melanjutkan rumah tangganya atau berpisah dengan suami. Istri diberikan pilihan untuk bercerai ketika tak ada lagi jaminan nafkah dari suaminya.
.
Namun, apa iya tujuan pernikahan hanya sebatas laki-laki mendapat layanan seks dan perempuan mendapat perlindungan sosial dan materi? Ketika materi tidak didapatkan maka perceraian menjadi solusi?
Maka yang dibutuhkan sejak awal adalah mengubah persfektif relasi antara suami istri. Pernikahan bukanlah kontrak politik antara bos dan bawahannya. Suami menjadi bos yang memberi upah sehingga bebas memperkerjakan istrinya. Ketika tak ada upah, maka selesai pulalah masa kontraknya.
.
Pernikahan selayaknya menempatkan suami istri dalam hubungan yang setara untuk bekerja sama. Sebagai pasangan yang saling memperlakukan dengan baik (muasyarah bil ma’ruf), saling memberikan rasa aman dan kenyamanan satu sama lain, serta rela untuk menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing (taradhin).
Prinsip saling bekerja sama dan membantu dalam kebaikan ini dapat terjalin untuk mencari nafkah. Peran perempuan tidak perlu lagi dipermasalahkan ketika bekerja sebagai pencari nafkah. Laki-laki dan perempuan bisa saling membantu untuk membiayai kehidupan rumah tangga maupun untuk berbagi beban pekerjaan rumah tangga lainnya.
.
Ketika laki-laki memang sengaja menelantarkan istrinya tanpa nafkah, bertindak sangat pelit padahal mampu, atau dengan sengaja bermalas-malasan di atas kerja keras istrinya mencari nafkah, maka perilaku demikian merupakan kedzaliman dan sudah mencederai tujuan pernikahan untuk saling membahagiakan.
.
Namun, ketika laki-laki dalam keadaan tertentu tidak dapat melakukan fungsi perlindungannya berupa nafkah, maka peran perempuan dibutuhkan sebagai pencari nafkah. Ia akan mendapat apresiasi yang sama seperti laki-laki ketika keluar rumah mencari nafkah. Para perempuan pencari nafkah, dari setiap langkah dan tetes keringat yang dikeluarkannya, akan dicatat sebagai pahala.
.
Dari Abi Mas’ud Ra., dari Nabi Muhmmad Saw., yang bersabda, “Apabila seorang laki-laki menafkahkan (hartanya) kepada keluarganya dengan ikhlas, maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah (berpahala).” (Shahih Bukhari, No. 55).
.
Tidak hanya untuk laki-laki, hadits di atas bisa berlaku juga untuk perempuan yang menafkahkan harta demi keluarganya sehingga akan dinilai sedekah yang berpahala.
.
Suami istri sebagai partner atau mitra dalam pekerjaan rumah tangga menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam mitra kesetaraan tersebut, tugas-tugas kerumahtanggan merupakan tugas-tugas terpadu suami istri. Begitu pun dalam hal nafkah. Keterpaduan dan kemitraan ini digambarkan oleh Allah dalam Alquran, “Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan saling menjadi penolong terhadap yang lain” QS. Al-Taubah (9):71.
.
Tidak semua rumah tangga hidup dalam kondisi yang ideal. Ada banyak rumah yang justru memerlukan istri pergi bekerja. Pahala besar menanti untuk perempuan yang ikhlas menghidupi keluarganya. Selama suami istri selalu berusaha memberikan yang terbaik dan senantiasa menghadirkan cinta dengan penerimaan yang paripurna, sehingga mereka rela dan ridho atas kelebihan dan kekurangan pasangannya, maka hal itulah yang kelak akan membawanya menuju surga.
.
“Seseorang yang meninggal dunia, sedangkan pasangannya rela padanya, ia akan masuk surga.” (Sunan a;-Tirmidzi, No. 1194).
Wallahualam.
***