Melepas Tentara yang Belum Terlatih

DALAM acara “Pelatihan Program Berpihak: Penguatan Kapasitas Lembaga Keagamaan dan Pesantren untuk Advokasi Pencegahan Perkawinan Anak” di Hotel Bukit Indah Cianjur, Pak M. Noor bercerita mengenai pengalamannya selama menjadi hakim di Pengadilan Agama.

Banyak sekali kasus yang Pak M. Noor tangani, khususnya yang terkait dengan dispensasi nikah. Dalam menangani kasus-kasus tersebut, tentu banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengeluarkan keputusan. Ia bercerita, misalnya, “Suatu hari seorang ibu datang kepada saya di pengadilan agama sambil menangis membawa anak perempuannya untuk meminta dispensasi nikah, apakah saya akan mengambil keputusan berdasarkan air mata ibu tersebut? Tentu saja tidak.”

Suatu saat datanglah seorang ayah yang membawa anak laki-lakinya untuk meminta dispensasi nikah. Pak M. Noor tidak menanyakan hal-hal yang berat-berat atau yang muluk-muluk. Ia hanya menanyakan hal-hal yang sederhana, misalnya, “Pak, anak bapak ini kalau tidur, ketika pagi tiba ia bangun sendiri atau dibangunin?” Dijawab, “Dibangunin, Pak.” “Kalau shalat masih disuruh atau shalat atas kesadaran sendiri?” Dijawab, “Masih sering disuruh, Pak.” Kemudian Pak M. Noor bilang, “Kalau begitu, Pak, saya tidak berani mengeluarkan dispensasi. Kalau saya tetap mengeluarkan dispensasi, itu sama seperti saya melepas seorang tentara yang belum terlatih dan belum siap tempur ke medang perang. Dan itu artinya saya menjerumuskannya ke dalam bahaya. Saya berdosa, apakah bapak mau menanggung dosa saya?”

Menurut Pak M. Noor, alasan yang sering disampaikan orangtua untuk meminta dispensasi nikah untuk anaknya adalah, “Anaknya sudah baligh, Pak.” Harus dijelaskan dengan tegas, kita mau menentukan usia ideal perkawinan itu berdasarkan baligh atau berdasarkan rusyd? Sementara di dalam al-Qur`an usia pernikahan sangat terkait dengan rusyd.

Ada lagi kejadian lucu, suatu ketika seseorang datang kepada Pak M. Noor di Pengadilan Agama untuk meminta isbat nikah. Orang itu bilang, “Pak, saya sudah menikah secara agama, tinggal secara negara.” Pak M. Noor bilang, “Ya sudah, tidak usah datang ke sini, karena di sini adalah pengadilan agama bukan pengadilan negara.”[]

Jihad Pemikiran Kyai Husein Muhammad

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

 

SAYA mengucapkan selamat untuk KH. Husein Muhammad atas penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa hari ini, Selasa, 26 Maret 2019, dari Universitas Islam Negeri Wali Songo, Semarang. Di ujung pidato Kyai Husein yang luar biasa, saya menitikkan air mata. Saya menganggap penganugerahan ini sebagai pengakuan akademis atas “jihad pemikiran” yang berliku dan panjang.

Jihad pemikiran, apalagi jika itu menerobos pemikiran yang sudah lama berakar dan menjadi “tembok kokoh” yang sulit ditembus, sangatlah tidak mudah. Kyai Husein pernah diadili secara terbuka di sejumlah tempat, gagasan-gagasannya disalah-pahami. Tetapi Kyai Husein, seperti semua para pemikir yang sabar dan tekun, terus berjalan, tanpa memedulikan cercaan dari kiri-kanan.

Pelan tetapi pasti, gagasan-gagasan Kyai Husein akhirnya dipahami oleh banyak kalangan, dan mulai diterima oleh komunitas akademis di pesantren.

Kekuatan Kyai Husein adalah kecintaannya yang tiada terkira pada tradisi ilmu pesantren, dan ketekunannya menelaah keluasan tradisi itu. Kyai Husein bukan sekedar membaca segudang kitab yang terhampar di lantai khazanah pemikiran Islam, tetapi ia juga “bergumul”, berdialog, bergulat dengan teks. Kyai Husein memperlakukan teks bukan sebagai “barang mati”, melainkan “a living text“, teks hidup yang ia hadapkan dengan kenyataan san realitas yang terus berubah.

Sumbangan Kyai Husein secara pemikiran sangat tak ternilai, terutama untuk menampilkan pemahaman dan tafsir keislaman yang ramah pada perempuan, yang membela hak-hak perempuan.

Penganugeran hari ini adalah “crowning moment“, saat ketika seluruh jerih-payah Kyai Husein selama bertahun-tahun diberikan “crown“, dianugerahi mahkota.

Saya menemani Kyai Husein sejak bertahun-tahun yang lampau. Dan saya ikut bahagia, seraya menitikkan mata, atas momen seperti ini. Jihad pemikiran Kyai Husein akhirnya membuahkan hasil, dan diakui.

Mabruk, Doktor Husein Muhammad!

Merebut Tafsir: Metamorfosa Kyai Husein Muhammad (2)

HARI ini, 26 Maret 2019, Indonesia membuat sejarah dalam dunia pendidikan Islam. Seorang kyai dari dunia pesantren tradisional dari Cirebon mendapatkan gelar akademi Doktor Honoris Kausa di UIN Semarang dalam bidang gender. Ini merupakan langkah  maju dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Utamanya karena isu atau bidang pemikiran yang diberi kehormatan adalah (bidang/isu) gender. Gender merupakan isu penting dalam dunia pembangunan karena dengan menggunakan analisis gender pembangunan niscaya akan dicapai lebih cepat, merata dan genap tanpa meninggalkan salah satu pihak akibat prasangka gender.

Dalam konteks Indonesia dan sejumlah negara yang meletakkan ajaran agama (Islam) sebagai sentral pertimbangan, penggunaan analisis dan aksi untuk kesetaraan gender membutuhkan pemikiran yang bersumber dari ajaran Islam. Namun pengalaman menunjukkan, ini bukanlah agenda politik yang gampang. Dalam membahas persoalan gender termuat tiga gugatan yang terlanjur dimiliki dan dinikmati oleh dunia patriarki.

Ketiga basis gugatan yang dibawa oleh (analisis) gender itu adalah: pertama, menyoal secara mendasar kategori sosial yang terlanjur meletakkan secara tidak setara antara kedudukan lelaki dan perempuan, dan karenanya perempuan invisible atau subordinat dari lelaki; kedua, mempertanyakan analisis sosial yang seringkali abai dalam membaca relasi gender (dan kelompok minoritas sosial lainnya seperti ras, suku, agama, usia dan keadaan fisik); ketiga, akibat dari analisis yang tumpul dalam melihat relasi gender itu, maka (analisis) gender menggugat strategi perubahan sosial/aksi yang cenderung bias bahkan diskriminatif secara gender kepada kelompok perempuan.

Dalam ke tiga elemen itu, pandangan agama menjadi titik krusial yang membutuhkan keberanian untuk melakukan perubahan. Hal ini karena gugatannya menyoal arus kekuasaan berbasis perbedaan gender yang dengan sendirinya mengguncang singgasana kaum lelaki atau kaum patriakh yang selama  ini telah diuntungkan oleh penafsiran yang bias gender. Di titik itu pemberian gelar akademik kepada Kyai Husein Muhammad merupakan langkah strategis. Setidaknya ada empat hal yang menunjukkan di mana letak sumbangan Kyai Husein.

Pertama, semua isu yang terkait dengan persoalan perempuan dan anak perempuan membutuhkan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Dalam dunia Islam di Indonesia pembaharuan tampaknya tak mungkin lahir dari pemikiran yang terputus dengan dunia pemikiran klasik/kitab kuning. Pada kenyataannya, dalam mendekati isu-isu tertentu orang cenderng menanyakan status hukumnya. Itu berarti penggunakaan metode ushul fiqh menjadi niscaya. Persoalan-persoalan itu, antara lain eksitensi perempuan di ruang publik (kepemimpinan perempuan), kemiskinan akut berwajah perempuan, perempuan dan kesehatan, perkawinan anak dan perkawinan paksa, kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik dan publik, pelibatan paksa perempuan dalam konflik dan terorisme, perempuan penyandang disabilitas, perempuan dalam kelompok minoritas agama dan isu-isu lainnya.

Kyai Husein berangkat dari dunia pesantren dengan penguasaan sangat dalam baik dalam teks-teks klasik maupun metodologi pembacaannya (ushul fiqh). Kemampuan dalam membaca referensi klasik diraihnya dari tempaan panjang pendidikan di pesantren Cirebon dan Lirboyo Jawa Timur, di perguruan tinggi PTIQ dan di Kairo. Itu merupakan modal maha penting baginya. Namun kelebihan Kyai Husein adalah bacaan atas teks klasik dan metodologinya itu ia kembangkan dengan cara baca baru dengan menyerap ragam metodologi yang berasal dari dunia pemikiran modern seperti filsafat, sosiologis, feminisme dan HAM. Kemampuannya dalam menggunakan berbagai alat itu telah menyumbang pada pemikiran yang bukan hanya progresif tetapi juga relevan. Penggunaan metodologi ushul fiqh bersama perangkat analisis/metodologi lain membuat pandangan-pandangan Kyai Husein dalam sederet persoalan gender di atas memiliki dasar argumen yang ketat. Terlebih karena pandangan-pandangannya bukan hanya kajian akademik tetapi juga solusi yang dapat  menjadi dasar pijakan dalam pengambilan hukum. Salah satu pandangannya yang sangat penting adalah soal larangan secara syar’i tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tercakup dalam kategori larangan itu adalah perkawinan anak/perkawinan paksa, sunat perempuan, pemaksaan poligami, pemiskinan perempuan, perlakukan subordinatif dan pengucilan perempuan.

Kedua, Kyai Husein bukan kyai penceramah, kyai panggung yang mengandalkan silat lidah agar jamaahnya terhibur. Kyai Husein adalah pemikir yang menuangkan hasil olah pikirnya dalam karya. Dibantu oleh sejumlah mitranya seperti Faqihuddin Abdul Qodir, Marzuki Wahid serta tim media Fahmina, lahir puluhan buku referensi yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk aksi perubahan sosial dengan basis pandangan keagamaan dan gender. Gaya tulisan Kyai Husein sangat khas; ketat dalam kaidah/metodologi, lugas dan logis, dan di beberapa bukunya bernuansa sastra.

Ketiga, Kyai Husein adalah pendidik. Dari berbagai kegiatan yang dilakoninya menjadi pendidik para santri putra-putri, utamanya yang telah menguasai bacaan teks klasik merupakan aktivitas yang tampaknya sangat menggembirakannya. Dalam kerangka mendidik pula ia sangat rajin memenuhi undangan berbagai forum. Ia tak enggan untuk duduk sebagai peserta dan menyerap pengetahuan dari orang lain, namun jika menjadi nara sumber ia akan menyajikan paper yang sangat serius didasarkan dari bacaa dan olah pikirnya.

Keempat, ini yang jarang dimiliki kyai pengasuh pondok pesantren, Kyai Husein bekerja dalam jaringan, namun ia menghindar dari jaringan politik termasuk dalam jajaran elit NU. Ia bersuka cita menjadi pendiri atau dewan pembina, atau pengurus sejumlah yayasan LSM yang bergerak dalam isu gender dan Islam. Dalam membangun jaringan, Kyai Husein berani bekerja keras guna menggabungkan antara pemikirannya dan aksi yang kadang beresiko pada kesehatannya. Dalam kerangka itu pula ia turun gunung menjadi salah satu komisioner Komnas Perempuan yang membantu merumuskan pandangan-pandangan keagamaan soal kekerasan terhadap perempuan. Dan puncak kiprah dalam berjaringan itu adalah mendampingi sejumlah aktivis dan lembaga swadaya masyarakat berbasis pesantren dalam menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

KUPI, Komnas Perempuan, Fahmina Institute, Rahima, WCC Balqis, Lakpesdam NU, Puan Amal Hayati, Jaringan Alimat, Rumah Kitab, adalah di antara rumah-rumah pemikiran dan aksi yang dalam kelahiran dan kegiatannya terdapat finger print dan jejak langkah Kyai Husein. Gerakan perempuan Indonesia yang bekerja dalam upaya mengatasi beragam kesenjangan perempuan sungguh telah berhutang budi kepada Kyai Husein Muhammad. Selamat Dr. (HC) Husein Muhammad!

Merebut Tafsir: Metamorfosa Kyai Husein Muhammad (1)

SAYA kenal Kyai Husein setua saya beraktivitas di dunia gerakan dan LSM. Tahun 90-an sebelum Konferensi Beijing saya menjadi koordinator program Fiqh An-Nisa P3M. Program pemberdayaan perempuan dalam isu kesehatan reproduksi yang “dibaca” dengan perspektif gender. Ini adalah sebuah program yang didukung oleh the Ford Foundation.

Mengingat salah satu elemen yang mengkonstruksikan gender, termasuk di dalamnya yang meletakkan secara tidak setara antara lelaki dan perempuan adalah pandangan domain agama (fiqh), maka salah satu kegiatan yang dikembangkan dalam Fiqh An-Nisa adalah kajian-kajian dalam isu gender. Secara lebih khusus kami membahas isu kesehatan reproduksi seperti KB, menstruasi, kehamilan, kemungkinan aborsi, penyakit menular seksual, HIV/AIDS. Titik terang kajian kami adalah pada konstruksi pemahaman gender yang menyebabkan perempuan/istri, anak tidak mandiri atas tubuh dan seksualitasnya. Untuk keperluan ini kami kerap menyelenggarakan seminar atau Bahtsul Masa’il tematik dalam forum-forum yang berbeda.

Salah satu nara sumber yang kami undangn adalah Kyai Husein Muhammad. Maaf jangan bayangkan Kyai Husein dengan pandangan-pandangan top seperti sekarang. Ketika itu Kyai Husein sebagai kyai dengan perspektif yang luas dalam teks klasik, menyajikan jawaban-jawaban yang kerap bersifat eklektik tanpa metodologi yang ketat. Dengan pendekatan itu terasa bahwa hal yang utama bagaiman agama secara tegas membela kaum perempuan sulit diandalkan. Sebab dengan jawaban yang bersifat eklektif selalu terdapat kemungkinan untuk menjawab yang sebaliknya. Kalau disajikan sejumlah ayat, hadits atau qaul ulama yang melarang kekerasan, maka dengan pendekatan eklektik itu akan ada agrumen bahwa pemukulan boleh, sebab dalam teks memang dapat ditemukan hal yang serupa itu.

Salah satu contoh, ketika kami membahas kekerasan terhadap perempuan. Kyai Husein menyajikan hadits yang “membenarkan” tindakan itu dalam kerangka mendidik. Karenanya dalam qaul qadim (pendapat lama) Kyai Husein memukul tetap diperbolehkan namun caranya tak boleh mengenai wajah dan menggunakan sapu tangan sebagaimana terdapat dalam hadits. Kami menantangnya. Sebab realitas pemukulannya bukan dengan sapu tangan tetapi sapu dan tangan.

Kami menantangnya dengan fakta kekerasan yang dialami para perempuan TKW. Pakaiannya yang tertutup tak menjamin terhindar dari kekerasan karena kekerasan terjadi dalam relasi yang timpang.

Cerita lain adalah ketika kami membahas isu mentsruasi di Pesantren Cipasung. Saat itu kami membahas soal menstruasi yang kacau akibat penggunaan kontrasepsi hormonal. Degan berbekal teks-teks klasik bacaannya Pak Kyai membahas perbedaan darah haid dan karenanya tidak wajib menjalankan ibadah seperti shalat dan puasa, dengan darah istihadhah atau darah penyakit. Di forum itu beliau “ditertawakan” ibu-ibu nyai ketika ia duga, haid itu rasanya seperti mau kencing karenanya bisa dikenali kapan keluar dan kapan berhentinya.

Dari pengalaman-pengalaman berinteraksi dan “tantangan” kami itulah tampaknya Kyai Husein terus berpikir soal bagaimana agama memberi manfaat dalam isu-isu kekinian yang dihadapi perempuan. Di sinilah letak metamorfosa Kyai Husein.

Pertama, Kiyai Husein membangun metodologi cara membaca teks agama. Dalam pemikiran Islam, metodologi adalah aspek paling penting sebab ia menjadi “kaca mata” baca. Dalam Islam, ragam metodologi dikenali seperti dalam ilmu Ushul Fiqh yang mengenalkan kaidah-kaidah untuk pengambilan hukum. Dalam metamorfosa Kyai Husein, metodologi klasik itu digunakan untuk membaca realitas di mana Kyai Husein memasukan metode-metode baru seperti feminsime, gender, HAM sebagai instrumen yang memberi kekuatan kepada metode klasik. Dengan menggunakan kaca mata barunya tanpa meninggalkan kaca mata lama, dari kyai Husein kita dapati sebuah argumen yang kuat (qaul jadid) bahwa kekerasan mutlak dilarang.

Kedua, Kyai Husein memperkaya pengetahuannya dengan melihat realitas yang berubah. Di dalam perubahan-perubahan realitas itu sangatlah penting mendengar subyek atau para pihak yang menjadi pokok pembahasan. Di situlah Kyai Husein melengkapi metodologinya. Ia mewajibkan kepada kita untuk mendengar suara peempuan, anak, kelompok minoritas dan mereka yang selama ini dalam pembahasan isu agama menjadi pihak yang tak terdengar suaranya dalam setiap kali hendak menentukan suatu hukum.

Inilah catatan saya tentang Kyai Husein Muhammad. Dan saya sangat bangga menjadi santri beliau dan sebagai saksi perjalanan metamorfosa Kyai Husein, sekaligus yang sering menantangnya untuk terus berpikir agar agama tetap relevan sebagai petunjuk peta kehidupan kita. Selamat Pak Kyai atas penganugerahah Doktor Honoris Kausa dan isu gender.[]

Mantan Wakil Syaikh Al-Azhar: Islam Melarang Perkawinan Anak

Syaikh Mahmud Asyur, mantan Wakil Syaikh Al-Azhar menjelaskan bahwa di dalam Islam tidak dikenal apa yang disebut dengan perkawinan anak. Pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Sayyidah Aisyah ra. di usia 6 tahun dan menggaulinya di usia 9 tahun itu adalah adalah fitnah terhadap beliau. Menurutnya, berdasarkan pendapat sejumlah ulama, usia Sayyidah Aisyah ra. saat itu adalah 19 tahun.

Ia memandang bahwa perkawinan mempunyai syarat dan rukun tersendiri yang telah ditentukan oleh negara. Di Mesir, usia perkawinan telah ditentukan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Dan merupakan hak pemerintah menegakkan ketentuan ini demi kemaslahatan bangsa. Adapun orang-orang yang menyerukan dan mendukung perkawinan anak, sebenarnya mereka adalah masyarakat Jahiliyah yang hadir kembali di zaman modern ini.

“Ibu adalah pilar atau tiang keluarga yang harus mempunyai beragam pengetahuan. Bagaimana mungkin seorang anak gadis yang belum cukup umur mampu mendidik suatu generasi dan menanggung beban-beban keluarga sementara ia masih senang bermain di jalanan? Berbagai argumen dari para pendukung perkawinan anak sama sekali tak punya landasan dari segi kesehatan. Makanya pendidikan anak-anak perempuan, yang dengan begitu dapat menaikkan usia perkawinan, sangat penting sehingga mereka mempunyai pemahaman dan kesadaran mengenai tanggungjawab yang akan mereka pikul di pundak mereka, serta mampu mendidik putra-putri mereka dengan pendidikan yang baik,” tegasnya.

Sementara Dr. Muhammad Farid, anggota Komisi Fatwa Al-Azhar, mengatakan bahwa Islam sesungguhnya melarang perkawinan anak. Justru Islam sangat menginginkan agar perkawinan itu dicatat secara legal oleh negara. Kalau Undang-Undang Negara menaikkan usia perkawinan, maka itu tentu untuk kemaslahatan anak-anak perempuan, bukan sebaliknya.[]

 

Sumber: http://www.ahram.org.eg/NewsQ/136865.aspx

Syaikh Ali Jum’ah: Perkawinan Anak Itu Haram dan Perbuatan Kriminal!

Prof. Dr. Ali Jum’ah, mantan Mufti Nasional Mesir, mengatakan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak dan dilarang oleh agama.

Ia menambahkan di dalam penjelasannya, bahwa sebagian umat Muslim sekarang ini sangat memerlukan dakwah Islam yang sesungguhnya, karena sebagian mereka tidak mengetahuinya, sebagian lainnya tidak mengetahui kaidah-kaidahnya, dan sebagian lainnya tidak ingin menerapkannya karena mereka lebih suka mendengarkan bisikan-bisikan hawa nafsunya dan kemudian menjadikannya sebagai dalil untuk membenarkan setiap tindakan yang mereka lakukan.

Ia menegaskan bahwa Undang-Undang di Mesir sudah kaffah di bawah payung syariat sehingga tidak mungkin bertentangan dengan ajaran Islam.

Menurutnya, orangtua yang mengawinkan putrinya yang masih anak-anak telah melakukan setidaknya dua pelanggaran: pertama, pemalsuan dokumen yang memungkinkan usia putrinya seolah telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Kedua, menjerumuskan putrinya ke dalam bahaya.[]

 

Sumber: https://www.almasryalyoum.com/news/details/987138

Sayyid Qutb dan Ma’alim fi al-Thariq

Ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla untuk Seri I Diskusi Radikalisme dalam kitab Ma’alim fi al-Thariq oleh Sayyid Qutb, yang diselenggarakan  Rumah Kitab bekerjasama dengan Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan.

Ma’alim fi al-Thariq (selanjutnya Ma’alim) adalah pamflet yang ditulis oleh Sayyid Qutb saat ia di dalam penjara, dan terbit pertama kali pada 1964. Pamflet ini merupakan salah satu karya penting Sayyid Qutb karena ia dianggap meletakkan landasan pandangan dunia bagi gerakan-gerakan Islam radikal yang muncul di Mesir pada era setelah 60an. Qutb mati diieksekusi pada 1966, persisnya pada 29 Agsutus. Saya mengenal buku ini pertama kali pada 1985. Buku ini dihadiahkan kepada saya oleh Kiai Sahal Mahfudz, salah satu guru saya di Kajen.

Membaca Ma’alim adalah membaca sebuah manifesto dari sebuah gerakan atau pemikiran yang belakangan kita sebut sebagai Islam radikal. Jika kita hendak mengetahui paradigma dan cara berpikir gerakan ini, maka buku Qutb itu bisa menjadi pemandu yang sangat baik. Buku ini mendedahkan kepada kita pandangan dunia para aktivis Muslim radikal di zaman modern. Meskipun kita tahu bahwa gerakan-gerakan Islam radikal tidaklah monolitik, dan di dalamnya terdapat pertengkaran yang keras sekali (memakai ungkapan Quran: tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta – engkau kira mereka satu, padahal hati mereka tercerai-berai, saling tengkar), tetapi mereka, dengan segala keragamannya, memiliki paradigma berpikir yang sama.

Selain itu, membaca Ma’alim fi al-Tariq juga memberikan kenikmatan tersendiri. Dia bukan saja ditulis oleh seorang ideolog yang melihat dunia dengan kaca mata hitam putih, melainkan juga oleh seorang kritikus sastra dan penyair. Sebagaimana kita tahu, Sayyid Qutb adalah man of letters, seorang pecinta sastra dan penulis puisi yang indah. Dia menulis sebuah kumpulan puisi berjudul “Al-Shathi’ al-Majhul” (Pantai yang Tak Dikenal), berisi puisi-puisi yang ia tulis antara 1925-1934. Ketika pertama kali membaca buku Ma’alim ini sewaktu masih di pesantren di Kajen dulu, di 80an, saya terpeson oleh dua hal dalam buku ini: pertama oleh cara Qutb melihat dunia: cara pandangan yang manichaean: gelap dan terang, benar dan salah; dan kedua, oleh kualitas bahasanya yang mengaumkan. Qutb menulis dengan bahasa Arab yang cemerlang, hidup, elegan, dan penuh dengan tenaga. Saya kira, salah satu daya tarik tulisan-tulisan Qutb secara umum bukan saja terletak pada isi pikirannya, melainkan juga pada kualitas literernya. Tak banyak ideolog Muslim radikal yang mampu menulis dengan kecemerlangan literer seperti pada Sayyid Qutb. Saya kira, Qutb adalah contoh satu-satunya.

Ada enam tema besar yang menjadi pusat perhatian Qutb dalam seluruh tulisannya (saya mengutip ini dari Ibrahim Abu Rabi’)[1]: puisi dan sastra, teori estetika Quran, filsaat tentang keadilan sosial, sejarah/sosiologi agama, tafsir Quran, dan hubungan Islam dengan Barat.

Sayyid Qutb hidup dalam sebuah fase sejarah di Mesir yang penuh dengan pergolakan melawan penjajahan Inggris di sana. Meski belakangan Qutb kita kenal melalui ide-idenya yang sangat anti-Barat, tetapi Qutb menampakkan simpati yang besar pada ideologi nasionalisme dan konstitusionalisme (dusturiyyah) – dua gagasan besar yang berasal dari Barat. Dia adalah simpatisan Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani) yang sangat anti-Inggris. Dia juga mengagumi puisi-puisi penyair nasionalis Mesir Ali al-Ghayati yang menerbitkan antologi berjudul Wathaniyyati (Kebangsaanku). Karena puisinya ini, al-Ghayati, bersama sejumlah aktivis lain, diusir dari Mesri dan tinggal sebagai eksil selama puluhan tahun di Swiss. Sayyid Qutb menampakkan ketidaksukaan pada seorang penyair besar Mesir Ahmad Shauqi karena yang terakhir ini menampakkan simpati kepada kerajaan yang pro-Inggris, berhadapan dengan gerakan-gerakan nasionalis yang anti kekuasaan kolonial.

Tema Islam dan Barat yang menjadi salah satu tema besar dalam tulisan-tulisan Qutb sebetulnya telah muncul sejak dini dalam kehidupan Qutb. Sebagaimana ia ceritakan dalam biografinya yang berjudul Thiflah Min al-Qaryah (Anak Desa)[2], keluarga Qutb sempat menghadapi dilema kecil saat mau mengirimkan anak mereka ke sekolah: Apakah ke sekolah tradisional yang disebut kuttab atau ke madrasah modern yang dipandang akan mengantar si kecil Qutb ke masa depan yang lebih baik. Keluarga Qutb akhirnya mmutuskan untuk mengirimnya ke sekolah modern. Belakangan, Qutb sempat menempuh studi universitas modern Darul ‘Ulum di Kairo, dan kemudian dilanjutkan ke studi lebih lanjut di Amerika Serikat selama dua tahun. Dengan kata lain, sejak awal Qutb menempuh trajektori pendidikan modern, bukan madrasah tradisional. Qutb adalah anak kandung modernitas, dan sangat akrab dengan tema-tema modern: nasionalisme, konstitusionalisme, demokrasi, sains, dsb.

Perubahan Qutb dari sosok nasionalis menjadi ideolog Islam radikal tidaklah terjadi secara mendadak. Titik balik yang cukup definitif dalam kehidupan Qutb, saya kira, terjadi setelah Gamal Abdul Nasser berhasil merebut kekuasaan melalui sebuah revolusi pada 1952. Nasser mendapatkan dukungan popular yang cukup luas karena dia dipandang sebagai kekuatan anti-monarki di Mesir. Ikhwanul Muslimin, gerakan di mana Qutb juga ikut bergabung, semula memberikan dukungan kepada revolusi Nasser ini. Tetapi belakangan hubungan Nasser dan Ikhwan memburuk karena ada dugaan upaya pembunuhan oleh aktivis Ikhwan atas Nasser pada 1954. Setelah itu, Nasser melalukan pem pemberangusan besar-besaran atas Ikhwan dan memenjarakan aktivis-aktivisnya, termasuk Sayyid Qutb. Radikalisasi Qutb, menurut sejumlah pengamat, terjadi di dalam penjara Nasser ini. Di penjaralah Qutb menyelesaikan dua karya penting: yang pertama adalah tafsir Fi Zilal al-Quran[3], dan kedua adalah Ma’alim fi al-Thariq. Kita sebetulnya sudah menjumpai nada radikal jauh sebelum Qutb menulis Ma’alim, yakni dalam tafsir Fi Zilal. Jika kita baca tafsiran Qutb atas Surah al-Taubah, misalnya, kelihatan sekali nada radikal Qutb dalam memahami konsep jihad – salah satu tema besar dari surah itu.

Ma’alim dibuka dengan sebuah statemen yang sangat “gloomy”: Taqif al-Basyariyyat al-yaum ‘ala haffat al-hawiyah. Dunia saat ini, kata Qutb, sedang berada di ambang kehahancuran. Ini bukan kehancuran karena ancaman dinosaurus atau yang lain, melainkan ancaman yang datang dari sebuah sebab yang jauh lebih serius: yaitu krisis nilai (iflas fi ‘alam al-qiyam). Krisis ini terjadi di dunia Barat. Kritik Qutb atas Barat yang demokratis sangat menarik. Dia, antara lain, mengatakan: Barat yang demokratis akhirnya tak bisa menghindarkan diri dari “jampi-jampi” komunisme Timur yang menyelundup ke Barat lewat sosialisme. Bagi Qutb, sosialisme di Barat (dalam bentuk demokrasi-sosial mungkin?) adalah pertanda kebangkrutan demokrasi di Barat. Sementara itu, krisis serupa, menurut Qutb, juga terjadi di Blok Timur (Uni Soviet dan negeri-negeri satelitnya). Apa yang oleh Qutb disebut dengan krisis nilai di Blok Timur itu terjadi ketika janji-janji keadilan yang dinubuatkan oleh komunisme ternyata mengalami kebangkrutan. Alih-alih menciptakan keadilan, komunisme justru melahirkan kelas sosial baru, kelas para aparat partai, yang menjadi penindas baru. Baik kapitalisme di Barat maupun sosialsme di Timur, dua-danya di mata Qutb telah mengalami jalan buntu.

Solusi yang diajukan oleh Qutb adalah: kepemimpinan dunia baru. Dalam bagian pembukan pamdfletnya ini, dengan tegas Qutb mengatakan: la budda min qiyadah li al-basyariyyah jadidah! Ini bukanlah pertama-tama kepemimpinan politik, melainkan kepemimpinan dalam hal nilai-nilai, kepemimpinan moral. Kepemimpinan semacam ini hanya bisa diberikan oleh Islam. Sebab kepemimpinan di tangan ideologi-ideologi sekuler yang lain telah menunjukkan kegagalan.

Saya kira, kerangka berpikir Qutb semacam ini menjadi ilham bagi gerakan-gerakan kebangkitan Islam di dekade 80an yang salah satu semboyan besarnya ialah: Al-Islam huwa al-hall, Islam adalah sebuah solusi. Qutb lah yang membangun sebuah paradigma yang belakangan menjadi sangat populer di kalangan aktivis Muslim yang biasa disebut dengan kaum haraki, yaitu paradigma kegagalan Barat dan Timur serta keharusan Islam sebagai alternatif atas keduanya. Tetapi, pemikiran Qutb tidak hanya berhenti di sini. Islam tak bisa menunaikan tugas untuk mengemban kepemimpinan baru jika tak memenuhi syarat-syarat pokok. Dalam pandangan Qutb, umat Islam, dalam keadaannya sekarang, jelas tak layak menjadi pemimpin moral bagi dunia Baru, sebab mereka telah meninggalkan prinsip pokok dalam Islam, yaitu al-hakimiyyah: bahwa segala hal di dunia ini harus tunduk kepada kedaulatan Tuhan. Umat Islam saat ini, di mata Qutb, telah terjatuh kembali ke dalam situasi jahiliyyah – jahiliyyah modern di abad ke-20. Masyarakat yang terjebak dalam kegelapan semacam ini harus dibangunkan terlebih dahulu, apa yang oleh Qutb disebut sebagai al-ba’ts. Penggunaan istilah ini tentu langsung mengingatkan kita pada partai sosialis Arab yang belakangan berkuasa di Irak dan Syria: Partai Ba’ts. Di sini, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya Qutb, lepas dari kritik-kritiknya terhadap sosialisme Blok Timur, memiliki simpati yang besar pada komunisme dan sosialisme.

Dengan kata lain, umat Islam haruslah dibangunkan dulu sebelum mereka layak memikul tugas moral sebagai pemimpin dunia baru. Kebangunan ini hanya bisa dicapai jika umat Islam menyadari bahwa mereka, saat ini, telah terjerembab dalam kegelapan jahiliyyah karena telah meninggalkan doktrin penting dalam Islam, yaitu al-hakimiyyah. Konsep hakimiyyah sebagaimana dipahami oleh Qutb ini telah mengilhami gerakan-gerakan Islam belakangan. Tidak hanya kelompok-kelompok radikal, bahkan kelompok-kelompok Islam yang bisa kita sebut moderat pun sebetulnya menyimpan simpati yang cukup mendalam kepada gagasan Qutb ini. Munculnya gerakan penerapan syariah di era modern sekarang ini, sedikit banyak, medapatkan ilham dari teori hakimiyyah seperti dikenalkan mula-mula oleh Qutb. Inti gagasan ini ialah bahwa manusia haruslah tunduk kepada kedaulatan Tuhan. Ketundukan itu tercermin manakala manusia memakai hukum Tuhan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan mereka.

Lalu, bagaimana kebangkitan ini bisa dicapai? Bagaimana agar umat Islam tersadar dari tidur panjangnya dan siuman untuk menyadari kondisi jahiliyyah yang meliputi seluruh kehidupan mereka? Di sini, lagi-lagi, Qutb mengajukan sebuah gagasan yang menunjukkan kemiripan dengan partai-partai komunis di mana-mana. Qutb mengatakan, bahwa kebangunan dan kebangkitan umat Islam hanya bisa dicapai jika ada kelompok kecil dan elit yang memikul tugas ini. Inilah kelompok elit yang oleh Qutb disebut dengan thali’ah atau kelomopok avant-garde atau garda depan. Mereka inilah pembawa obor “pencerahan” yang akan menyadarkan dan membangunkan umat Islam dari tidur pajangnya. Tugas yang harus segera dilakukan adalah mencetak kelompok kecil-elit ini. Qutb menulis Ma’alim ini dengan tujuan yang jelas: Ia mau mencetak generasi elit yang menjadi pelopor kebangkitan dunia Islam untuk menyiapkan kemepimpinan dunia Baru. Kelomok kecil ini adalah mirip dengan kekuatan militan-revolusioner dalam konsepsi revolusi komunis.

Kelompok elit ini oleh Qutb disebut sebagai generasi Qurani yang unik – jilun qur’aniyyun faridun. []

[1] Sebagaimana dikutip oleh Sayed Khatab dalam The Political Thought of Sayyid Qutb (2006), hal. 60.

[2] Dalam halaman persembahan buku ini, Qutb menyebut secara khusus Taha Husein, sosok yang melalui autobiografinya al-Ayyam telah mengilhaminya untuk menulis autibiografi ini.

[3] Prof. Yvonne Y. Haddad dari Universitas Georgetown, dalam sebuah percakapan pribad beberapa tahun lalu di Washington Dc, menyampaikan informasi yang menarik: Sebetulnya tafsir Fi Zilal tidaklah ditulis sendiri oleh Qutb, melainkan oleh sebuah tim yang terdiri dari simpatisan Qutb dalam gerakan Ikhwan sendiri.

Pemutaran Film “Memecah Kawin Bocah” di Cardno Gathering

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, tanggal 13 Maret 2019, Rumah KitaB mendapatkan undangan dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), salah satu project Cardno, untuk memutar film produksi Rumah KitaB, Memecah Kawin Bocah di ruang K-Hub, AIPJ2.

 

Rumah KitaB diwakili oleh Fadilla Putri selaku Program Manager untuk menjelaskan secara singkat latar belakang film yang ditayangkan. Dari Rumah KitaB hadir pula Achmat Hilmi, Manajer Kajian dan Advokasi, dan Seto Hidayat, Staf Media dan Desain. Dalam kesempatan itu, sekitar 100 peserta hadir, yang terdiri dari staf Cardno, AIPJ2, KIAT, dan project-project Australia Aid lainnya yang berada di bawah naungan Cardno.

 

Pada kesempatan ini, selain Rumah KitaB, juga ditayangkan sebuah video singkat dari KIAT yang bercerita tentang seorang perempuan yang bekerja sebagai mandor pekerjaan proyek infrastruktur. Menurutnya, banyak yang memandang sebelah mata dirinya karena pekerjaan mandor adalah pekerjaan laki-laki. Namun, dia berhasil untuk membalikkan perspektif tersebut.

 

Setelah itu, Rumah KitaB menayangkan film Memecah Kawin Bocah versi pendek, yaitu sekitar 12 menit. Film ini merupakan bagian dari penelitian Rumah KitaB yang berlangsung selama 2 tahun di 5 provinsi di Indonesia. Penelitian ini berusaha untuk meneliti perkawinan anak dari perspektif yang berbeda, yaitu faktor-faktor penyebab dan aktor yang terlibat, dibandingkan melihat dari sisi dampak negatifnya. Film ini juga berupaya untuk memberikan ‘harapan’, bahwa di balik kompleksnya permasalahan, sudah ada upaya-upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah daerah, CSO, maupun lembaga pendidikan untuk mencegah praktik tersebut.

 

Film ini merupakan rangkuman dari hasil temuan penelitian yang sangat kompleks, menghasilkan empat temuan utama. Pertama, perkawinan anak terjadi karena perubahan ruang hidup yang menyebabkan kemiskinan struktural. Kedua, perkawinan anak terjadi karena tidak seimbangnya relasi gender antara perempuan dan laki-laki, yang menyebabkan anak perempuan lebih rentan mengalaminya. Ketiga, perkawinan anak terjadi karena adanya peran dari kelembagaan formal maupun nonformal. Terakhir, perkawinan anak terjadi karena adanya argumentasi-argumentasi keagamaan yang digunakan sebagai justifikasi untuk mengawinkan anak di bawah umur.

 

Setelah film selesai ditayangkan, ada sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Lia Marpaung selaku GEDSI Manager bersama Craig Ewers, AIPJ2 Team Leader dan Fadilla Putri, Program Manager Rumah KitaB.

 

Salah satu pertanyaan menarik yang muncul adalah, apakah sudah ada upaya pencegahan yang dilakukan melalui pendekatan kebudayaan. Program BERDAYA, kerja sama Rumah KitaB dan AIPJ2, merupakan program pencegahan perkawinan anak dengan pendekatan bekerja bersama komunitas, yang terdiri dari tokoh formal dan nonformal, orangtua, dan remaja. Melalui program ini, BERDAYA melakukan penguatan kapasitas para pihak tersebut, salah satunya dengan menyampaikan fikih-fikih alternatif yang berpihak pada anak perempuan. Hal ini merupakan salah satu cara efektif untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap pencegahan perkawinan anak karena Rumah KitaB memiliki kekuatan yang cukup besar dalam pembacaan teks keagamaan menggunakan metode Maqashid Syariah.

 

Setelah sesi tanya jawab selesai, acara ditutup dengan makan siang dan networking.

 

Link film:

Lenong ITACI (Insani Teater Cilincing) Meriahkan Seminar Hari Perempuan Internasional KPAI

Dengan koordinasi dari Ahmad Hilmi (Rumah KitaB) dan Andre (Ketua Teater Itaci), kelompok Lenong Itaci tampil dengan mengangkat tema kawin anak di acara Seminar Dalam Rangka Hari Perempuan Internasional yang diadakan KPAI. Seminar bertajuk “Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak” tersebut di selenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta, 12 Maret 2019.

Kelompok Lenong Remaja amatir ITACI ini adalah kelompok  kesenian budaya Betawi  yang menyerap manfaat dari keterlibatan sejumlah remaja dalam pelatihan pencegahan kawin anak.

Sejak tahun 2017, Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengembangkan Program BERDAYA; pemberdayaan para pihak untuk cegah kawin anak. Kegiatan ini didukung Bappenas atas kerjasama dengan DFAT- AIPJ2. Upaya cegah kawin anak ini diselenggarakan di tiga wilayah urban; Cilincing- Jakarta Utara, Cirebon dan  Makassar. Didasarkan pada tiga tahun kajian/penelitian sebelumnya, Rumah KitaB melakukan pendampingan dengan pendekatan berbeda-beda kepada Tokoh Formal dan Non-formal, Orang Tua dan Remaja.

Kesenian Lenong ini merupakan media untuk sosialisasi cegah kawin anak. Kelompok Seni Lenong ini dipimpin Andriantono dan beranggotakan lebih dari 80 remaja dari Kecamatan Cilincing.

Kelompok seni Lenong ini juga media paling cocok untuk mengembangkan inklusivitas warga. Kelurahan Kalibaru Cilincing adalah wilayah urban yang multi kultur: hampir semuanya pendatang dengan latar belakang budaya yang mereka bawa dari kampungnya masing-masing. Seni drama Lenong menjadi wahana untuk membangun kebersamaan tanpa sekat perbedaan. Lebih dari itu, seni ini mempersatukan dua kecenderungan orang tua yang berbeda dalam menghadapi kaum remaja: membiarkan remaja tanpa pendamingan, atau mengekangnya terutama anak perempuan dan menyegerakan kawin. Seni  pertunjukkan Lenong telah membuka ruang bagi kedua pihak, bagi warga dengan latar belakang yang beragam untuk bertemu dan membahas isu yang mereka hadapi, termasuk kawin anak.

 

Sinopsis Lenong ITACI “Stop Kawin Anak”

Bokir berhutang untuk modal kepada seorang rentenir. Saat tiba waktunya untuk membayar, Bokir tidak punya uang karena modalnya habis untuk memperbaiki motor rusak yang ia pakai untuk usaha ngojek. Anak perempuannya diminta untuk berbakti kepada orang tua dengan memenuhi permintaan orang tuanya untuk menikah dengan sang rentenir yang telah beristri dua dan sudah tua. Padahal anak perempuannya pintar dan berprestasi.  Bagaimanakah mereka menghadapi persoalan ini?

Video lenong bisa di cek di link di bawah ini:

Sutradara            : Andre Bewok

Pemain                : Komar Jakun, Andre Bewok, Gilang Saputra, Ryan Meilinda, Muhammad Rizki, Adi Siswanto, Febiana, Lina, Jessy, Aditya, Dina, Septy, Dwi Ayu, dan Triana.

Penanggung jawab musik : Gilang Saputra

Properti : Muhammad Rizki

Kontak Lenong ITACI: 089696664186 (Komar Jakun), 081296544002 (Hilmi)

Merebut Tafsir: Membaca pelemahan Perempuan Jawa, Minang dan Indonesia Timur paska Kolonial.

Oleh Lies Marcoes

Paska Kolonial, perempuan Jawa secara sosial politik diuntungkan oleh infrastruktur politik jajahan yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk berkembang, Perempuan Minang adalah satu kelompok yang memberi sumbangan besar bagi Indonesia paska Kemerdekaan dalam mengisi bidang-bidang yang menunjukkan kecerdasan mereka, jurnalistik, diplomasi, ilmu pengetahuan, dan organisasi. Sementara perempuan dari Indonesia Timur, mereka mendapatkan peluang itu berkat orgaisasi-organisasi Gereja (Katolik atau Protestan) dan Ormas Islam utamanya Muhammadiyah dan organisasi Islam lokal yang berafiliasi ke NU dalam menyediakan infrastruktur pendidikan, dan jaringannya sehingga mereka bisa sekolah ke Jawa dan pulang menjadi pelopor perubahan.

Namun politik bumi hangus yang dikembangkan oleh politik Orde Baru paska peristiwa 65, menghancurkan hampir satu generasi perempuan terdidik di Jawa, Indonesia Timur dan Minang. Guru-guru perempuan yang begitu berharga nilainya bagi pembangunan di wilayah wilyah kepulauan Indonesia Timur, digulung oleh politik kebencian terhadap ideologi terlarang (PKI Gerwani) dan menghukum mereka tanpa ampun. Di Jawa pemulihan luka dan kehancuran satu generasi perempuan terdidik yang tergabung dalam organisasoi Gerwani bisa segera teratasi dengan politik pembangunan untuk perempuan. Universitas-universitas dengan cepat menutup kesenjangan melalui berbagai proyek pembangunan ekonomi meskipun perempuan tak terkalkulasi kecuali sebagai istri dan dalam organisasi sejenis PKK.

Namun ini tidak terjadi di wilayah Timur. Pembangunan bergerak super lambat di sana. Upaya untuk pulih tak mampu membangkitkan ketertinggalan yang disebabkan hilangnya guru-guru cerdas perempuan terdidik dari wilayah mereka.

Sementara untuk Perempuan Minang. Persoalan lebih berat lagi. Politik Orde Baru Paska PRRI menghancurkan modal sosial yang luar biasa kuat yaitu budaya berpikir dan debat serta berorgaanisasi. Politik Orde Baru mematikan inti kekuatan perempuan yaitu kemandirian, berubah menjadi perempuan yang kehilangan kemandiriannya, mereka tergantung kepada suaminya atau sebagai istri. Seluruh proyek bantuan Orde Baru tak memandang peran perempuan kecuali untuk PKK, Dharma Wanita. Pada waktu yang bersamaan, para intelektual lari ke Jakarta karena hanya dengan cara itu mereka bisa bertarung gagasan, sementara di lokal, tak terjadi hal serupa, yang ada bertarung posisi sebagai pegawai negeri, satu-satunya sumber ekonomi yang masih memadai untuk bisa hidup layak neski memasung kreatifitas berpikir.

Kekuatan budaya yang lahir dari pemikiran lokal “alam takambang jadi guru” tak berhasil melahirkan gagasan-gagasan baru karena hukum adat mengalami stagnasi. Perguruan-perguruan Islam melemah dengan sendirinya ketika organisasi Islam pun tunduk pada politik Islam Orde Baru yang diserahkan otoritasnya kepada MUI.
Jadi jika sekarang orang bertanya mengapa perempuan begitu gandrung kepada atribut-atribut keagamaan atau pandangan umum menjadi semakin fundamentalis, tak perlu hanya menunjuk pada makin meluasnya gagasan fundamentalisme agama, tapi kita juga perlu bertanya pembangunan infrastruktur perubahan sosial yan seperti apa yang mampu membangun otonomi perempuan yang kini masih ada? #SelamatHariPerempuanInternasional

Image source: https://nasional.sindonews.com/read/1299203/15/gerakan-perempuan-indonesia-dari-masa-ke-masa-1524130561