Sebelas Juta Anak Indonesia Terjebak Kemiskinan

JAKARTA – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Kepala Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan fakta yang cukup mengkhawatirkan terkait kemiskinan yang menimpa anak di Indonesia. Dalam paparan mengenai kemiskinan anak dan deprivasi hak-hak dasar anak di Indonesia yang dirilis oleh BPS dalam bukunya, dia mengungkapkan bahwa masih banyak anak yang hidup di garis kemiskinan hidup dengan Rp24.000 per hari.

Hal itu disampaikannya dalam acara peluncuran buku “Analisis Kemiskinan Anak dan Deprivasi Hak-Hak Dasar Anak di Indonesia”, di Hotel Pasicif Place Jakarta Pusat, Selasa, 25 Juli 2017.

“Data BPS ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak Indonesia atau sekira 57% masih hidup dengan sekira Rp24.000 per hari,” katanya di Jakarta, Selasa (25/7/2017).

Bambang melanjutkan, hingga data 2016 yang dirilis BPS, masih ada 11 juta anak yang hidup berada di garis kemiskinan, atau sebanyak 13,31% dari total penduduk yang kategorinya anak.

“Persentase anak miskin yang tertinggi terdapat di Provinsi Papua, yaitu sebesar 35,37% sedangkan persentase anak miskin terendah terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar 5,39%,” lanjutnya.

Menurut Bambang, mengatasi kemiskinan yang menimpa anak menjadi pekerjaan rumah bersama, bukan hanya tugas pemerintah. Namun membuat kebijakan mengatasi kemiskinan anak dia menilai perlu memerhatikan sejumlah faktor.

Pertama, kita harus memahami bagaimana profil anak Indonesia, bagaimana kondisi kemiskinan yang dihadapi anak, dan faktor-faktor yang merampas (deprivasi) hak-hak anak sehingga berdampak pada kemiskinan anak,” terang Kepala Bappenas. Kedua, kata dia, seluruh pemangku kepentingan harus memfokuskan perhatian untuk mencegah deprivasi tersebut ke dalam kebijakan, program dan upaya nyata sehingga pengentasan kemiskinan anak dapat diimplementasikan.

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik, Kecuk Suharyanto, yang hadir dalam acara tersebut, mengatakan bahwa persentase anak miskin di Indonesia pada 2016 mencapai 13,31 persen atau sekitar 11 juta anak.

“Angka ini bahkan menjadi lebih dari tiga kali lipat (57,05 persen) jika garis kemiskinan dilipat duakan dari garis nasional,” kata Kecuk Suharyanto.

Kalau dilihat berdasarkan provinsi, lanjut Kecuk Suharyanto, angka kemiskinan anak tertinggi berada di Papua sebesar 35,37 persen, Papua Barat sebesar 31,03 persen dan Nusa Tenggara Timur sebesar 26,42 persen. Sedangkan angka kemiskinan anak terendah berada di wilayah Bali sebesar 5,39 persen, DKI Jakarta 5,55 persen, dan Kalimantan Selatan sebesar 6,06 persen.

“Hampir separuh anak miskin di Indonesia atau 47,39 persen berada di Pulau Jawa,” katanya.

Indikasi Kemiskinan

Suharyanto menjelaskan, bahwa anak dianggap miskin itu jika mereka tinggal dalam rumah tangga yang memiliki tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional.

“Saat ini garis kemiskinan nasional berada pada sekitar Rp12.000 per hari per orang. Garis ini berbeda-beda di tiap provinsi tergantung pada perbedaan biaya hidup di masing-masing provinsi,” ujarnya.

Menurutnya, bahwa kemiskinan anak tidak terbatas pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang biasa diukur dari aspek moneter.

Kemiskinan anak juga dapat diukur melalui aspek yang lebih luas dan multidimensi. Seperti halnya, sulitnya anak miskin untuk mendapatkan akses fasilitas perumahan yang layak, makanan yang cukup mengandung gizi, pelayanan kesehatan dan pendidikan maupun hak untuk mendapatkan pencatatan kelahiran.

Suharyanto menambahkan, kemiskinan anak berpengaruh besar terhadap kondisi kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan seorang nak.

“Dampak negatif kemiskinan pada seorang anak akan membuatnya tidak dapat bertumbuh menjadi dewasa dengan optimal dan tidak mampu berkontribusi penuh bagi masyarakat dan ekonomi di mana dia berada,” ujarnya. (ren)

———
Sumber: http://www.viva.co.id/berita/bisnis/939197-sebelas-juta-anak-indonesia-terjebak-kemiskinan

Anak Perempuan dalam Pasung Perkawinan

Oleh: Mulyani Hasan

DARI sekian dampak perubahan ruang hidup bagi manusia dan alam, perempuan korban yang paling getir, yang bukan hanya menumbalkan tubuhnya, tapi juga kehilangan harapan.

Bagi sebagian perempuan miskin, siklus hidup lebih pendek. Masa kebebasan hanya berlangsung hingga sebelum enam tahun, sebelum memikul tanggung jawab, entah mengurus adik, bekerja di rumah tangga, membantu mencari nafkah dan sebagainya. Fase ini dianggap wajar, sebagai bagian latihan praktis sebelum menjadi ibu rumah tangga yang tidak akan lama lagi akan dialaminya begitu dia mendapat menstruasi pertama.

Pada perkawinan anak, sulit untuk menerima alasan bahwa perkawinan datang dari keinginan si anak. Bagaimana mungkin seorang anak punya keinginan dan imajinasi tentang perkawinan, jika bukan dipaksa atau dipengaruhi oleh orang dewasa atau didesak oleh situasi tertentu?

Perkawinan anak seringkali jadi motif untuk menyelamatkan kepentingan orangtua, entah kehormatan, ekonomi, mengurangi beban keluarga, sekaligus menambah tenaga kerja atau melipatgandakan kekayaan.

Makanya, istilah perkawinan dini lebih sering digunakan untuk menyamarkan usia anak-anak. Perkawinan dini bisa saja dianggap cukup umur oleh hukum agama, meski masih tergolong usia anak berdasarkan hukum negara. Usia anak dalam Undang-undang tentang Perkawinan, minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.

Perkawinan anak sudah berlangsung berabad-abad lalu, dan menjadi salah satu bentuk penindasan perempuan yang paling purba. Inilah yang dilawan oleh para tokoh yang kita jadikan pahlawan saat ini: Sukarno, Dewi Sartika, dan Kartini.

Lebih jauh dari itu, dalam Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 di Yogyakarta, perempuan membahas kedudukan perempuan dalam perkawinan. Mereka menolak kawin paksa, poligami dan perceraian sepihak. Kongres itu dihadiri oleh perempuan dari berbagai penjuru Jawa dan luar Jawa. (Lihat www.wartafeminis.com)

Tapi apa yang yang terjadi sekarang? Ketika bangsa lain sudah membicarakan kesetaraan perempuan pada aspek yang jauh lebih maju, kita masih belum membebaskan anak-anak perempuan kita dari perkawinan paksa secara langsung maupun tidak langsung. Padahal dampak dari perkawinan anak, bukan hanya pada individu si anak itu sendiri, tapi menentukan kualitas sebuah generasi di masa yang akan datang.

Perkawinan anak bisa menyebabkan kematian ibu melahirkan, dan mengakibatkan gizi buruk pada anak-anak, perceraian, penurunan kesehatan perempuan, risiko penyakit menular seksual dan kanker serviks di usia muda. Perkawinan anak juga menyumbang terhadap tingginya angka perempuan putus sekolah, dan rendahnya kompetensi perempuan dalam dunia kerja.

Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) yang berkedudukan di Bogor melakukan penelitian terhadap praktik perkawinan anak di sejumlah wilayah di Indonesia yang menempati peringkat ke 2 tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja. Sedangkan di dunia, Indonesia menepati posisi ke 37 yang mempraktikan perkawinan anak.

Penelitian yang dimotori oleh Lies Marcoes itu menguraikan kronologi secara struktural penyebab perkawinan anak yang ternyata bukan hanya terjadi di wilayah pedasaan, tapi melanda kawasan urban. Pandangan keagamaan,paling banyak disoroti, tapi tentu saja pandangan tersebut tidak akan bekerja jika perubahan ruang hidup dan pranata sosial tidak mendukungnya.

Menurut Kiyai Husein Muhammad, pegiat di Fahmina Institute, ada tiga masalah utama dalam konsep keagamaan yang mendorong perkawinan anak.

Pertama, definisi kawin dalam fiqih adalah hak penguasaan kelamin (perempuan) oleh laki-laki melalui ijab qabul dan membayar mahar. Ada juga yang berpendapat perkawinan adalah hak guna pakai alat kelamin perempuan oleh laki-laki.

Kedua, hak ayah atas anak perempuan. Dalam fiqih, ayah atau lelaki dari garis ayah punya otoritas penuh atas perkawinan anak perempuan dalam keluarganya. Oleh karenanya, perkawinan paksa bisa terjadi pada anak di bawah umur karena kuasa penuh sang ayang.

Ketiga, batasan baliq diukur dengan haid (menstruasi) dan bukan kedewasaan dalam berpikir, mental dan sosial. (Lihat buku “Monografi Penelitian Perkawinan Anak Seri I” oleh Lies Marcoes dan Nurhady Sirimorok, 2016).

Selama ketiga faktor ini menjadi acuan, dan negara mengabaikan prinsip-prinsip kemanusian yang universial, perkawinan anak tidak anak berhenti.

Dalam waktu bersamaan, kemiskinan dan perubahan ruang hidup memuluskan praktik kawin anak yang mendapat pembenaran dari pandangan agama. Kemiskinan melanda para petani di berbagai desa akibat kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang menekankan input kimia untuk menggenjot produktivitas tanaman, sehingga makin hari kesuburan tanah menyusut bersamaan dengan turunnnya hasil panen, sementara ketergantungan pada input kimia semakin tinggi. Satu persatu lahan dijual untuk menutupi utang.

Perpindahan warga desa kota atau menjadi Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri tak terbendung. Mereka menempati sektor-sektor informal dengan mengandalkan upah buruh, atau pekerja rumah tangga tanpa perlindungan hukum. Anak-anak dititipkan kepada kerabat.

Dalam banyak kasus, anak perempuan menjalani peran ganda, sebagai pengasuh adik, sekaligus menjalani kerja-kerja domestik. Akibatnya, banyak di antara mereka memutuskan menikah sebagai pelarian dari kepenatan rutinitas sehari-hari. Apalagi, godaan untuk hidup nyaman di depan mata.

Dengan menikah mereka punya harapan hidup enak, tanpa bekerja, bisa belanja barang-barang seperti kehidupan di jagad maya. Sekolah? Lupakan saja! Lalu, karena tidak punya keterampilan, ketergantungan perempuan terhadap suami sangat tinggi, sehingga hubungan menjadi tidak seimbang. Laki-laki dengan kekuasaan lebih besar punya tiket untuk berlaku sekehendak, yang mendorong perilaku kekerasan dan perceraian.

Anggapan perempuan sebagai penjaga moral secara langsung dibebankan kepada anak-anak perempuan yang sudah dianggap dewasa oleh pandangan agama. Satu kampung akan terganggu bila melihat anak perempuan terlihat pacaran, atau dibonceng seorang laki-laki di motor.

Mereka akan menyelidikinya, dan melapor kepada orangtua untuk menikahkan anaknya daripada jadi aib di kampung. Masalah umur bisa diatur. Semua lembaga terkait akan mendukung dan membantu kelancarannya demi menghindari dosa.

Pada kasus kawin kontrak yang ramai terjadi Kabupaten Bogor, anak perempuan bahkan dijadikan aset keluarga. Ketika lahan-lahan perkebunan berubah menjadi villa-villa mewah dan hotel-hotel, mata pencaharian warga hilang. Mereka yang punya uang, akan membangun bisnis sewa rumah atau berdagang. Mereka yang miskin kebingungan, dan melihat peluang dari sektor pariwisata.

Wilayah Kabupaten Bogor memang menjadi andalan para turis dari Timur Tengah untuk liburan selama berbulan-bulan. Mereka mencari pasangan untuk berhubungan seks dengan “cap halal.” Lalu, muncul ide kawin kontrak, yang konon halal menurut agama.

Anak perempuan yang dipandang sebagai aset, dipoles dan dianjurkan bersolek sedemikian rupa. Tidak dibebani kerja rumah tangga, apalagi bertani atau berkebun. Mereka ditugaskan menemani turis-turis di villa-villa mewah selama kontrak dengan tarif hingga puluhan juta. Usai kontrak, mereka kembali kepada orangtua untuk menyambut kontrak selanjutnya.

Sebagai jurus menghindari stigma negatif, anak perempuan ini mesti menggunakan jilbab, supaya tetap dipandang terhormat. Para perempuan yang menjalani kawin kontrak ini, kehilangan kesempatan untuk sekolah mengembangkan keterampilan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidupnya, seperti bertani dan berkebun sebagaimana pekerjaan orangtuanya.

Anak-anak yang dikawinkan menjalani hidupnya tanpa pranata sosial pendukungnya. Keluarga, teman, komunitas warga, tidak lagi sama seperti di masa lampau, ketika sistem kekerabatan masih kokoh. Industrialisasi pertanian, dan kehidupan urban mendorong individu untuk menyelamatakan diri masing-masing, dan mengejar pencapaian-pencapai pribadi.[]

Sumber: http://www.qureta.com/post/anak-perempuan-dalam-pasung-perkawinan?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork

The 2nd Studia Islamika International Conference 2017

Conference Registration

We welcome the participation of all interested parties. Because space is limited, anyone interested in attending should apply through the following form. The registration will be closed on July 25, 2017. We will approve your registration once we receive your proof of payment. The payment deadline is on July 31, 2017.

Registration Includes:
1. Admission to all conference sessions, welcoming dinner, plenaries, and panels.
2. Admission to the Book Exhibition.
3. Lunch and Coffee Breaks.
Note: Registration does not includes accommodation expenses.

Registration Fees
IDR: 250K
USD: 25

Please make all payment through bank transfer to:

PPIM (IDR)
Bank Mandiri KCP Ir. H. Juanda
Account No. 128-000-110-5334

PPIM (USD)
Bank Mandiri KCP Ir. H. Juanda
Account No. 101-000-514-5501
Swift Code: BMRIIDJA

Payment Confirmation
After the payment has been made, please click Confirm Your Payment.

If you have any question, please email studia.events@uinjkt.ac.id.

——-
Sumber: http://conference.ppim.uinjkt.ac.id/conference-registration/

Indonesia Mesti Mendukung Resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 Related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings

Jakarta, 7 Juli 2017

Kepada yang Terhormat:

1. Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia

2. Ibu Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

3. Ibu Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia

4. Bapak Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

5. Bapak Hasan Kleib, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Dengan hormat,

Kami yang bertandatangan di bawah ini, 82 organisasi masyarakat sipil dan 239 individu yang peduli pada penghentian praktik perkawinan anak di Indonesia. Perkawinan anak telah menjadi keprihatinan dunia, dan Sidang Umum PBB pada 22 Juni 2017 telah menyepakati Resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings. Resolusi ini mengakui ketidakadilan gender sebagai akar penyebab perkawinan anak.

Kami merasa prihatin bahwa Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Bahwa satu dari lima perempuan Indonesia usia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Perkawinan anak membawa pelanggaran hak anak, terutama hak atas pendidikan dan kesehatan. Anak perempuan yang dikawinkan berpotensi besar terhenti sekolahnya, yang pada akhirnya akan mempersempit peluang anak perempuan mendapat pekerjaan yang layak. Anak perempuan juga rentan mengalami kanker serviks karena berhubungan seksual di usia muda, bahkan kematian karena kehamilan di usia muda.

Kami percaya pemerintah merasakan keprihatinan yang sama atas perkawinan anak di Indonesia. Olehkarenanya melalui surat ini, kami meminta pemerintah Indonesia untuk turut mendukung Resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings, sebelum batas akhir pemberian dukungan yaitu 10 Juli 2017.

Dukungan atas resolusi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan khususnya Tujuan 5: Kesetaraan Gender, dimana target 5.3 adalah Menghapuskan semua praktik berbahaya terhadap perempuan seperti perkawinan usia anak. Selain itu menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk menghapuskan perkawinan anak, serta menyelamatkan generasi penerus bangsa Indonesia khususnya dan dunia umumnya.

Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Organisasi dan individu peduli penghentian perkawinan anak

A. Daftar Organisasi:

1. Aliansi Inong Aceh
2. Aliansi Remaja Independen
3. AMAN Indonesia
4. Asa Puan
5. Asosiasi Antropologi Indonesia Pengurus Daerah Jawa Barat
6. Biro Pelayanan Kesejahteraan Anak LDD
7. CEDAW Working Group Indonesia (CWGI)
8. Center for Community Development and Education (CCDE)
9. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives
10. Forum Anak Kota Bandung
11. Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI)
12. Indonesia Satu Women
13. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
14. Institut KAPAL Perempuan
15. Institut PDPRT
16. Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia (IPPAI)
17. Institut Perempuan
18. JALA PRT
19. Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Jawa Timur
20. Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK)
21. Jaringan Perempuan Sulawesi Barat
22. Jurnal Perempuan
23. Kalyanamitra
24. Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB)
25. KePPaK Perempuan (Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak).
26. Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan
27. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Aceh
28. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Bengkulu
29. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
30. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DKI Jakarta
31. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Tengah
32. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Sulawesi Tengah
33. Komunitas Samahita
34. Konde Institute
35. LBH APIK Jakarta
36. Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) Lombok Timur
37. LPBHP Sarasvati, Yogyakarta
38. Majalah Anak Cerdas
39. Majalah Potret
40. Majelis Buddhayana Indonesia
41. Migrant Care
42. Oase Indonesia
43. OnTrackMedia Indonesia
44. Peaceleader Indonesia
45. Perhimpunan Rahima
46. Perhimpunan untuk Peningkatan Keberdayaan Masyarakat – Association for Community Empowerment
47. Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat (PP3M)
48. Perkumpulan Rumpun
49. Perkumpulan Simponi
50. PERUATI
51. Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
52. Program Studi Kajian Gender SKSG UI
53. Proklamasi Anak Indonesia
54. Pusat Pelayanan Terpadu Tiara, Kab. Brebes
55. Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI
56. Rumah Faye
57. Rumah Kita Bersama
58. Rumpun Gema Perempuan
59. Rumpun Tjoet Nyak Din
60. SAPA Indonesia
61. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
62. Sisters in Danger
63. SPAK Bengkulu
64. SPRT Sapulidi
65. SPRT Tunas Mulia
66. Suara Perempuan Desa, Batu – Malang
67. Tim Pendamping Anak Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya
68. Women Research Institute
69. YASMIB Sulawesi
70. Yayasan Budaya Mandiri
71. Yayasan Cahaya Guru
72. Yayasan Garam Dunia, Bekasi
73. Yayasan Gender Harmony Indonesia
74. Yayasan Generasi Anak Panah Indonesia Bersinar
75. Yayasan Kesehatan Perempuan
76. Yayasan Nanda Dian Nusantara
77. Yayasan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan “Mitra Perempuan”
78. Yayasan Pulih
79. Yayasan Sahabat Anak
80. Yayasan Sayangi Tunas Cilik
81. Yayasan Sidikara
82. Yayasan Tri Mulya Tri Wikrama
83. Youth Network on Violence Against Children (YNVAC)

B. Daftar Individu:

1. A.Dharmaura Indriastuti
2. Aan Anshori
3. Abdul Hakim
4. Aderani Hakim
5. Adhi Yanti Ayoe
6. Aenea Marella
7. Agus Ramdhan
8. Agustine
9. Ahsan Hamidi
10. Ai Karnaengsih
11. Aida Milasari
12. Aji, Balikpapan
13. Amanda Margia
14. Anastasia Satriyo
15. Andriyan Yulianto
16. Anik Setyowaty, Yogyakarta
17. Anindita Sitepu
18. Aqilatul Munawaroh
19. Arif Rahman Hidayatulloh
20. Bayu Jiwoadi
21. Bernadetta Widyastuti
22. Betty Sinaga
23. Bibik Nurudduja, Demak – Jawa Tengah
24. Boy Tonggor Siahaan
25. Budhisatwati
26. Budiarti
27. Budina Panggabean
28. Chusnul Chotimah, Cirebon
29. D. Listyaningsih, Gunungkidul – Yogyakarta
30. Deetje Nasution
31. Desti Murdijana
32. Destika Gilang Lestari, Aceh
33. Dewi Kanti
34. Dewi Komalasari
35. Dewi Odjar
36. Dewi Rokhmah, Jember
37. Dewi Tjakrawinata
38. Dheka Dwi Agustiningsih, S.S., M.Hum
39. Dhinie Norman
40. Dian Aryani, Nusa Tenggara Barat
41. Dian Kartikasari
42. Dian Purnomo
43. Ditta Wisnu
44. Dr. Erna Suryadi, PhD
45. Dr. Siti Hariani Soediro
46. Dulla Andi Lestanto
47. Dwi Margiati, Lahat
48. Dwi Susilowati, peneliti
49. Dyah Siti Nuryatih
50. Ekasari, DPP KerliP Jawa Barat
51. Ellin Rosalina
52. Ellis, Tangerang Selatan
53. Ellyah Wijaya
54. Emilia Renita Az
55. Emmy Hafild
56. Ena Nurjanah S.Psi., M.Si.
57. Erlina Ch D Pardede
58. Ermelina Singereta
59. Estu Fanani
60. Etty Saraswati
61. Eva Mazrieva
62. Eveline Ciptadewi Soesetio
63. Fabiani Frisna
64. Farid Ari Fandi
65. Fatimah
66. Fatmawati, Jambi
67. Fitriyanti, Sumatra Barat
68. Gatot Santoso. SH
69. Gisella Tani Pratiwi
70. Grace Leksana
71. Hairiah, Kalimantan Barat
72. Halimah Ginting, Yogyakarta
73. Hanifah Haris, AMAN Indonesia
74. Harla Sara Octarra
75. Helga Worotitjan, Inspirasi Indonesia/Survivors Forum
76. Henny Girarda
77. Henny Supolo Sitepu
78. Herawati Anggraeni
79. Herawati Heroe, SH
80. Herawati Sadoyo
81. Herlan Prakto
82. Hj. Syahro Radi Wakulu, Depok.
83. Husaemah Husain, Sulawesi Selatan
84. Ifa Hanifah Misbach
85. Ika Putri Dewi
86. Ila Tjokro
87. Ilma Sovri Yanti Ilyas
88. Inang Winarso
89. Indah Agustina, Denpasar
90. Indah Hadimulya
91. Indah, Bolang Mongondow – Sulawesi Utara
92. Ira Soekirman
93. Irwan Hidayana
94. Israel Koosnadi
95. Jan Praba
96. Jenni Fransisca Siahaan, Kalimantan Tengah
97. Jenny Soeseno
98. Joy Ramedhan
99. Joyce Marulam
100. Jumiyem
101. K. P. Cahyarini
102. Karen Hukom
103. Kartika Dama
104. Kartini Sjahrir
105. Kencana Indrishwari
106. Khemal Andrias
107. Kirono Krishnayani
108. Kunaria Prakoso
109. Lelyana Santosa
110. Lia Anggiasih
111. Lies Marcoes-Natsir
112. Lily Oesmanto
113. Linda Hamid
114. Luki Paramita, Jakarta
115. Lusia Palulungan, Makassar
116. Lusyana Kosasih, Ketua TP PKK Kab. Sambas, Kalimanta Barat
117. M. Ari Wibowo
118. M.Ihsan, Ketua Satgas Perlindungan Anak
119. Mamik Sri Supatmi
120. Marcellina, Mappi
121. Mardiah
122. Maria Hartiningsih
123. Marta Rosalia
124. Maspah, Sulawesi Tengah
125. Maulani A. Rotinsulu, Jakarta
126. Max Andrew Ohandi
127. Maya Aprillia
128. Mayling Oey
129. Melda Immanuella
130. Melly S. Mulyani
131. Melvi Rosilawati
132. Mia Indra
133. Mia Siscawati
134. Minarma Siagian
135. Misiyah
136. Misniati
137. Monica Ginting
138. Mulyanti Ningsih
139. Mursiti, Yogyakarta
140. Musliha, Jakarta
141. Mutira Muhardi
142. Myra Yusbar
143. Nadlroh As-Sariroh
144. Naila Rizqi Zakiah
145. Nana Adrina, Bogor
146. Naning Adiwoso
147. Natasya Sitorus
148. Nefo L. Dradjati
149. Neng Dara Affiah
150. Nia Sjarifudin
151. Nieke Jahja, Yogyakarta
152. Nilla Sari Dewi
153. Niluh Djelantik
154. Ninuk Mardiana
155. Nong Darol Mahmada
156. Nuning Adiwoso
157. Nuraeni
158. Nurwati Hoesain
159. Peni Agustini
160. Pinky Saptandari
161. Poppy Trisnawati Hendrawan
162. Pradipa Dianti
163. Pratiwi Utamiputri
164. Pujiwati
165. Qory Dellasera, Jakarta
166. R. Valentina Sagala
167. Rafiana Supardi
168. Rahma, Tangerang Selatan
169. Rama Adi Putra
170. Ratih Farid
171. Ratna Batara Munti
172. Ravio Patra
173. Ray Rangkuti, Lingkar Madani untuk Indonesia
174. Raymond Michael
175. Ressa Ria Lestari
176. Retno Dwiyanti
177. Rina, Bolaang Mongondow – Sulawesi Utara
178. Rita Serena Kolibonso
179. Roostien Ilyas
180. Rosanih, DKI Jakarta
181. Rosanih, Tangerang Selatan
182. Rosidah
183. Rosniaty Azia, Sulawesi Selatan
184. Ruby Kholifah
185. Rumiyati
186. Rus Subronto
187. Rustiyati, Jambi
188. Sagung Paramitha
189. Salma Safitri
190. Salmiah Mallu, SH
191. Saparinah Sadli
192. Saribanon
193. Sekar Pireno KS, Aktivis Perempuan
194. Shinta Aryani, Bogor
195. Siska Sriyanti – Perempuan Indonesia
196. Sicilia Leiwakabessy
197. Sjamsiah Ahmad
198. Sofinas Azaari
199. Sri Daryanti Budhiarto
200. Sri Gustini
201. Sri Lestari, Sleman – Yogyakarta
202. Sri Sekartadji
203. Sri Wiyanti Eddyono
204. Sri Zul Chairiyah, Sumatra Barat
205. Stella Anjani
206. Suhananah
207. Suharnia Katharina, Pangkal Pinang
208. Sulistyowati Irianto
209. Sundayawati, Kalimantan Tengah
210. Suparmi, Jawa Tengah
211. Susianah Affandy
212. Sylvana Apituley
213. Tabrani Yunis
214. Thita Moralita Mazya
215. Tini Hadad
216. Tini Ismoe
217. Tira Muhardi
218. Titiek Kartika
219. Uthe
220. Veni Siregar
221. Vini Wardhani
222. Vitria Lazzarini Latief
223. Wahyu Susilo
224. Walter Simbolon
225. Williani Sigai, Kalimantan Tengah
226. Wiwid
227. Woro Aryati
228. Wrenges Widyastuti
229. Y. Sriwulaningsih, Kota Yogyakarta
230. Yanny Donna
231. Yanti KerliP
232. Yasinta Widowati
233. Yati Utoyo
234. Yeti, Bekasi
235. Yohana Ratrin
236. Yuda Irlang
237. Yulihan Feeriaty
238. Yuliyah Wijaya
239. Yuni SR
240. Zahra Ayu Hidayati

_______________________
Sumber: https://kumparan.com/misiyah-misi/indonesia-mesti-mendukung-resolusi-pbb-no-a-hrc-35-l-26-related-to-child-early-and-forced-marriage-in-humanitarian-settings

Indonesia Diminta Turut Serta Hapus Perkawinan Anak

KOALISI 18+ secara resmi mengirimkan surat imbauan kepada pemerintah Indonesia untuk mendukung Resolusi Sidang Umum PBB No. A/HRC/35/L.26 berkaitan dengan penghapusan Perkawinan Anak dan Pernikahan Paksa dalam situasi krisis kemanusiaan sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Inti dari surat yang dikirim Koalisi 18+ pada Rabu (5/7) tersebut meminta pemerintah Indonesia lewat Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Hasan Kleib dan Menlu Retno Marsudi, untuk mengambil langkah aktif menyepakati resolusi ini demi menyelamatkan generasi penerus bangsa Indonesia.

“Saat ini Indonesia telah menduduki posisi ke-7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak tertinggi” ujar perwakilan Koalisi 18+ Ajeng Gandhini Kamilah.

Sementara, 85 negara lainnya telah mendukung langkah strategis pencegahan dan penghapusan perkawinan anak sebagaimana disepakati dalam agenda meeting ke-35 Dewan HAM PBB pada 22 Juni 2017 lalu. Joaquín Alexander Maza Martelli selaku presiden dewan HAM PBB telah mengadopsi draft Resolusi A/HRC/35/L.26 mengenai Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Termasuk Hak Atas Pembangunan.

Lebih lanjut dia menyampaikan substansi utama dari Resolusi A/HRC/35/L.26 ini adalah memberi pengakuan bahwa perkawinan anak adalah sebuah pelanggaran HAM dan serta mendorong negara-negara untuk memperkuat upaya-upaya pencegahan dan penghapusan praktek perkawinan anak di dalam situasi krisis kemanusiaan.

Dijelaskannya, situasi krisis kemanusiaan (humanitarian settings) menurut resolusi ini melingkupi situasi darurat berupa pemindahan paksa, konflik bersenjata dan situasi bencana alam.

“Situasi-situasi tersebut menjadikan anak-anak sulit mendapatkan haknya berupa hak atas pendidikan, hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi,” tegasnya.

Koalisi 18+, sambung Ajeng, percaya apabila pemerintah Indonesia mengambil inisiatif ini akan menjadi dorongan juga bagi negara lain dan menjadi contoh bagi negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang masih belum menyepakati resolusi ini.

Untuk diketahui, Koalisi 18+ merupakan jaringan masyarakat sipil yang melakukan advokasi penghentian praktik perkawinan anak, sekarang ini sedang berusaha untuk menaikkan usia perkawinan.

Secara terpisah, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Anung Prihantoro mengatakan Indonesia menghadapi dua masalah berkaitan dengan perkawinan anak yakni kehamilan yang tidak dikehendaki dan pernikahan dini.

Dari segi kesehatan, perkawinan anak dianggap beresiko khususnya bagi perempuan. Kehamilan pada usia dini meningkatkan resiko kematian ibu dan anak saat melahirkan.

“Juga berpengaruh pada angka kasus bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) oleh mereka yang melahirkan berusia di bawah 20 tahun. Pemerintah terbebani dengan situasi tersebut,” tukasnya.(OL-3)

Sumber: http://mediaindonesia.com/news/read/111570/indonesia-diminta-turut-serta-hapus-perkawinan-anak/2017-07-05#

RI Diimbau Dukung Resolusi PBB tentang Perkawinan Anak dalam Situasi Krisis

WARTA KOTA, PASARMINGGU — Pemerintah Indonesia diumbau untuk mendukung Resolusi Sidang Umum PBB No. A/HRC/35/L.26 related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings sebagai wujut komitmen RI terhadap hak asasi manusia (HAM).

Imbauan itu disampaikan dalam surat resmi Koalisi Indonesia Untuk Penghentian Perkawinan Anak atau dikenal dengan Koalisi 18+. Koalisi ini merupakan inisiatif gerakan sosial yang terdiri dari individu, kelompok maupun organisasi dengan tujuan menghentikan perkawinan usia anak di Indonesia.

Koalisi ini meminta Pemerintah RI melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI), Hasan Kleib dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, untuk mengambil langkah aktif dalam penyepakatan Resolusi ini demi menyelamatkan generasi penerus bangsa Indonesia.

“Situasi-situasi tersebut menjadikan anak-anak sulit mendapatkan haknya berupa hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi,” urainya.

Resolusi yang telah diadopsi ini dibuka bagi negara-negara untuk menyepakati dan kosponsor Resolusi-nya sampai tanggal Senin, 10 Juli 2017.

Isi Resolusi telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa resmi PBB dan dapat diunduh di website resmi Office of High Commissioner for Human Rights.

“Koalisi 18+ percaya apabila Pemerintah Republik Indonesia mengambil inisiatif ini akan menjadi dorongan juga bagi negara-negara lain dan menjadi contoh bagi negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang belum menyepakatinya,” tutur Ajeng.

Koalisi 18+ sebagai jaringan masyarakat sipil yang melakukan advokasi penghentian praktik perkawinan anak saat ini sedang berusaha menaikkan usia perkawinan untuk perempuan di Indonesia.

Upaya yang ditempuh adalah melakukan Judicial Review Pasal 7(1) UUPerkawinan No.1 tahun 1974 dalam perkara 22/PUU/XV/2017 yang sedang menunggu hasil pleno untuk sidang I di Mahkamah Konstitusi.[]

Sumber: http://wartakota.tribunnews.com/2017/07/06/ri-diimbau-jadi-pendukung-resolusi-pbb-tentang-perkawinan-anak-dalam-situasi-krisis

Atasi Perkawinan Anak, Aktivis Tempuh Beragam Cara

Oleh: Eva Mazrieva

Indonesia adalah negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, tetapi bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Beberapa aktivis menuturkan upaya yang mereka lakukan, ada yang berhasil, banyak pula yang gagal.
__________

UNICEF pada tahun 2016 mendapati bahwa agama, tradisi, kemiskinan, ketidaksetaraan jender dan ketidakamanan karena konflik menjadi alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak di dunia.

Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Kalimantan Selatan adalah lima propinsi dengan jumlah perempuan usia 20-24 tahun yang menikah pertama kali sebelum usia 18 tahun tertinggi di Indonesia.

Aturan Hukum di Indonesia Tumpang Tindih, Anak Jadi Korban

Sejak tahun 2002 Indonesia memang sudah menerapkan UU Perlindungan Anak yang tegas, yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 dan kemudian disahkan DPR menjadi undang-undang; tetapi di sisi lain para aktivis menilai pemerintah menutup mata terhadap perkawinan anak berdasarkan UU Perkawinan Tahun 1974.

Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan itu menyatakan batasan usia terendah untuk perkawinan yang sah bagi perempuan adalah usia 16 tahun, dan bagi laki-laki adalah 19 tahun.

Sementara Pasal 7 ayat 2 UU yang sama mengijinkan perempuan dan laki-laki yang menikah lebih awal untuk mengajukan dispensasi ke pengadilan agama.

Penelitian yang dilakukan “Rumah Kita Bersama” atau kerap disebut “Rumah Kitab” mendapati bahwa 97 persen dispensasi yang diajukan ke pengadilan agama untuk menikah pada usia lebih dini, selalu disetujui hakim.

Aktivis perempuan yang juga peneliti jender dan Islam – Lies Marcoes-Natsir menilai dualisme hukum ini mengerikan.

“Dalam konteks Indonesia yang makin konservatif, yang mengerikan adalah adanya dualisme hukum ini, yang menunjukkan ketidaktegasan negara untuk keluar dari hukum agama,” ujar Lies Marcoes-Natsir.

Tiga Perempuan Korban Perkawinan Anak Kini Ajukan Judicial Review UU Perkawinan

Pada tahun 2014 sejumlah aktivis pernah melakukan judicial review UU Perkawinan Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi tetapi gagal. April lalu, tiga perempuan korban perkawinan anak – Endang Wasrinah, Maryanti dan Rasminah – mengajukan judicial review yang baru terhadap Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan itu.

Ketiganya menilai negara gagal memberi perlindungan anak pada perempuan dari praktek perkawinan anak. Hingga laporan ini disampaikan Mahkamah Konstitusi belum mengeluarkan putusannya.

Sementara rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pencegahan Perkawinan Anak yang diajukan pada tahun 2016 dan sudah dibahas bersama staf presiden dan Kementerian Agama hingga kini masih belum jelas.

Pesantren Mainkan Peran Signifikan Untuk Atasi Perkawinan Anak

Selain mendorong reformasi hukum, para aktivis juga melakukan cara-cara lain untuk mengatasi perkawinan anak. Lies Marcoes-Natsir melihat upaya yang sangat efektif di pesantren-pesantren.

“Di Lombok, di Madura dan beberapa daerah lain, “Ibu Nyai” (istri kiai yang memimpin suatu pesantren) bisa menjadi orang yang pasang badan ketika berhadapan dengan kultur dan orang tua yang memaksa anak untuk kawin.

Ibu Nyai yang bernegosiasi dengan orang tua di setiap semester, ketika mereka datang untuk menjemput anaknya dari pesantren. Ketika mereka menjemput, Ibu Nyai biasanya sudah curiga bahwa “pasti anak akan dikawinkan.”

Nah si Ibu Nyai ini kemudian tidak saja bernegosiasi dengan orang tua, tetapi juga dengan komunitas masyarakat dimana orang tua berada, yang mengkondisikan kawin anak itu.

Bagusnya di pesantren – dan berbeda dengan sekolah umum – biasanya di akhir negosiasi, jika si Ibu Nyai “kalah”, ia akan mengijinkan anak dijemput untuk dikawinkan, tetapi mendesak supaya anak diijinkan kembali lagi untuk menyelesaikan pendidikannya.

Artinya sang anak tetap bisa melanjutkan sekolah. Ini masih lebih baik karena biasanya masalah utama yang dihadapi anak yang dikawinkan muda itu adalah mereka jadi berhenti sekolah.

Berarti pesantren dalam hal ini jauh lebih moderat dibanding sekolah umum karena tetap mau menerima kembali anak-anak untuk bersekolah meski sudah dikawinkan?

Betul! Karena otoritanya ada pada Ibu Nyai dan Kyai di pesantren. Pertanyaannya kini adalah berapa besar kapasitas yang dimiliki para tokoh ini untuk mencegah perkawinan anak? Berapa banyak anak yang bisa ia lindungi setiap tahun?

Guru Jadi Ujung Tombak Sosialisasi Buruknya Dampak Perkawinan Anak

Sementara Henny Soepolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru, suatu LSM yang memberikan pelatihan pada para guru untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas mereka punya pengalaman lain.

“Saya punya pengalaman yang sangat menarik, saya punya teman – namanya Pak Dian – tahun 2007 di suatu kecamatan di Jawa Barat, ada satu sekolah di mana 50 persen siswa perempuan tidak melanjutkan ke SMP. Mereka hanya ditunggu lulus SD dan kemudian dikawinkan.”

“Pak Dian ini datang dari satu rumah ke rumah lain melakukan sosialisasi dengan mengajak orang tua berpikir panjang dengan pertanyaan-pertanyaan antara lain: jika kamu mengawinkan anakmu, berapa mulut yang berkurang untuk diberi makan? OK, berkurang satu. Tapi kalau anakmu cerai, karena memang angka perceraian tinggi, lalu anakmu pulang kembali ke rumah, maka berapa mulut yang kini harus diberi makan? Cukup anakmu saja atau anakmu plus cucumu? Jadi berapa uang yang kamu habiskan. Ini jadi lebih make sense,” jelasnya.

“Yang menarik dengan pendekatan dari rumah ke rumah ini, pada tahun 2011 sudah 100 persen anak di SD di mana Pak Dian ini mengajar, akhirnya anak perempuan melanjutkan pendidikan ke SMP. Pendekatan ini menarik dan saya kira seharusnya bisa menjadi gerakan bersama,’’ imbuh Henny Soepolo.

Aktivis: Kampanya Saja Tidak Cukup Untuk Menyelamatkan Anak

Aktivis Koalisi 18+ Supriyadi Widodo Eddyono menilai pemerintah saat ini sudah jauh lebih maju karena mendorong kampanye dan sosialisasi dampak buruk perkawinan anak, tetapi sebenarnya pemerintah memainkan peran yang lebih besar.

“Pemerintah memang sudah mengkampanyekan dampak perkawinan anak, tetapi levelnya baru ‘mengkampanyekan.’ Belum yang lebih serius misalnya mengubah kebijakan. Kemenag saja belum berani mengubah pasal 7 ayat 1, apalagi pasal 7 ayat 2. Mereka tidak berani. Mereka lebih suka mengubah peraturan pemerintah (PP) agar perkawinan anak dipersulit di pengadilan agama. Yang mereka target peraturan pemerintah, bukan sumber utama aturan hukumnya, yaitu UU Perkawinan Tahun 1974,” jelas Supriyadi.

Semua Pihak Harus Berani Intervensi Praktek Perkawinan Anak

Ketiga aktivis sepakat bahwa perkawinan anak bisa dicegah jika semua pihak mau melakukan intervensi untuk melindungi anak, khususnya anak perempuan, dari praktek pelanggaran HAM ini. Juga dengan mengatasi kemiskinan, membuka kesempatan yang lebih besar bagi anak untuk bersekolah dan berbicara lebih terbuka tentang tradisi atau praktek kebudayaan yang melestarikan perkawinan anak.

“Dalam triangulasi advokasi – perubahan kultur, struktur dan sistem hukum – harus saling bekerjasama. Kalau hanya salah satu saja – misalnya perubahan hukum saja – kalau ditolak, begini jadinya, yang lain tidak siap. Kalau pun diterima, kita akan berhadapan dengan masalah kultural dan struktural yang lain lagi,” kata Lies Marcoes-Natsir.

“Negara harus serius menangani masalah ini. Resolusi PBB hanya satu cambuk yang harus dipahami bahwa dunia kini menyoroti dan mengingatkan kita akan situasi perkawinan anak di Indonesia yang sudah darurat,” pungkasnya.[em]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/atasi-perkawinan-anak-aktivis-tempuh-beragam-cara/3935631.html

Dewan HAM PBB Siap Bahas Resolusi tentang Perkawinan Anak

Oleh: Eva Mazrieva

Dewan HAM PBB mulai hari Senin (10/7) akan menggelar forum pembahasan untuk mengadopsi resolusi tentang perkawinan anak pada usia dini dan dipaksakan, dalam konteks kemanusiaan. Lebih dari delapan puluh negara ikut mendukung resolusi itu. Bagaimana dengan Indonesia?
___________

WASHINGTON, D.C. — Lebih dari 700 juta perempuan di seluruh dunia saat ini menikah saat masih anak-anak, demikian data UNICEF tahun 2016. Perkawinan dini dan dipaksakan ini menjadi masalah di hampir seluruh belahan dunia, tanpa membedakan negara, kebudayaan, tradisi, agama dan etnis.

Tetapi UNICEF mendapati bahwa agama, tradisi, kemiskinan, ketidaksetaraan jender dan ketidakamanan karena konflik menjadi alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak.

Yang lebih memprihatinkan, di negara-negara berkembang bahkan satu dari tiga perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun.

Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi Ketujuh di Dunia

Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dimana satu dari lima perempuan Indonesia yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.

“Di Indonesia, yang mengerikan karena ada UU yang seakan menjamin apa yang disebut sebagai “pedofil yang dilegalkan,” ujar aktivis Koalisi 18+, Supriyadi Widodo Eddyono.

Undang-undang yang dirujuk aktivis Koalisi 18+ Supriyadi Widodo Eddyono itu adalah UU Perkawinan tahun 1974 pasal 7 ayat 1 dan ayat 2, tentang batas usia perkawinan. Pada pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa “perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun.” Sementara pasal 7 ayat 2 menyatakan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.”

Judicial Review UU Perkawinan Gagal

Upaya melakukan kajian ulang atau judicial review kedua pasal dalam UU Perkawinan ini ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menemui jalan buntu.

“Upaya ini gagal karena pemerintah khawatir isunya ditarik menjadi isu politik agama, yaitu keberadaan syariat Islam. Keterangan para ahli hukum dan putusan MK menunjukkan kuatnya tentangan dari kelompok-kelompok agama, yaitu bahwa menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan agama, tidak boleh diganggu gugat dan melarang orang untuk menikah berarti melanggar ajaran agama karena menimbulkan zina dsbnya.

MK secara politis mengatakan ini bagian dari open-legal-policy yang harus digagas pemerintah dsbnya. MK tidak melihat bahwa perkawinan anak ini merupakan sesuatu yang sudah darurat,” papar Supriyadi Eko Widodo.

Lebih 80 Negara Dukung Resolusi PBB tentang Perkawinan Anak

Dewan HAM PBB mulai hari Senin (10/7) akan membahas resolusi tentang perkawinan anak pada usia dini dan dipaksakan, dengan mengkaji masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Sejauh ini resolusi yang digagas oleh Belanda dan Sierra Leone itu didukung lebih dari 80 negara, yang sebagian besar memiliki tingkat perkawinan anak sangat tinggi, antara lain Chad, Mozambique dan Malawi.

Di Indonesia, lebih dari 80 organisasi madani dan 300-an tokoh menandatangani seruan yang digagas Koalisi 18+, yang mendesak pemerintah Jokowi supaya ikut mendukung resolusi tersebut.

Mereka juga menyampaikan keprihatinan terhadap kerancuan sikap pemerintah Indonesia. Mereka menilai di satu sisi pemerintah melindungi anak dari tindakan kekerasan dan penganiayaan seksual lewat UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 dan kemudian disahkan DPR menjadi undang-undang; tetapi disisi lain pemerintah dinilai tidak mengambil kebijakan strategis untuk mengakhiri perkawinan anak, yang jelas-jelas merupakan bentuk resmi tindakan kekerasan dan penganiayaan seksual.

“Kita membiarkan anak kita berjuang sendiri, tanpa ada yang menemani. Pendidikan seksual gak boleh. Layanan kontrasepsi gak diberikan. Penjelasan mengenai tubuh dan hak mereka melindungi tubuh tidak ada.

Jadi bagaimana? Kita tidak bisa menyalahkan orang tua tentang sikap untuk selalu ingin menjaga keperawanan anaknya, yang dinilai begitu tinggi dalam tradisi dan nilai-nilai keluarga.

Padahal jika keperawanan dianggap sebagai sesuatu yang penting, seharusnya dibicarakan sejak awal dan dilindungi sedemikian rupa khan? Caranya adalah dengan memberi informasi, layanan kesehatan, konseling, dll, yang bisa menyelamatkan anak sampai kawin, kasarnya “sampai keperawanannya diambil suaminya.”

Tetapi kita membiarkan anak perempuan kita berjuang sendirian sejak kecil, ini khan kejam sekali,” ujar Lies Marcoes-Natsir.

Isu Perkawinan Anak Dililit Faktor Hukum, Agama & Kebudayaan

Selain faktor hukum, Lies Marcoes-Natsir – aktivis perempuan yang juga peneliti jender dan Islam – juga menyoroti faktor agama dan involusi kebudayaan yang ikut menyelimuti isu perkawinan anak.

Bagaimana pembangunan di daerah justru “memiskinkan” warga, dalam arti membuat warga kehilangan kepemilikan atas tanah mereka; yang digunakan untuk industri pertambangan, perkebunan kelapa sawit maupun pariwisata.

Warga yang kehilangan kepemilikan tanah dan akhirnya dililit kemiskinan terpaksa menggunakan satu-satunya sumber daya yang mereka punya, yaitu kekuatan fisik. Mereka memilih merantau dengan menjadi tenaga kerja di luar daerah atau di luar negeri, meninggalkan keluarga di kampung.

Sementara tokoh-tokoh adat dan masyarakat yang kehilangan peran sosial terkait kepemilikan tanah itu jadi memainkan peran politik pada bidang lain, misalnya soal-soal moral seperti kawin anak.

Aktivis Pesimis Dampak Positif Resolusi, Tapi Dinilai Tetap Perlu

Lalu apakah resolusi Dewan HAM PBB ini akan memberi dampak signifikan pada Indonesia? Para aktivis yang diwawancarai VOA pesimis akan hal ini, tetapi menilai resolusi ini tetap perlu untuk mengingatkan pemerintah akan kondisi darurat yang ada di Indonesia.

“Tentu saja tidak! Jangankan resolusi yang sifatnya resolusi. Hasil konvensi yang sudah diadopsi seperti CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) saja masih gagal menghadapi praktek diskriminasi terhadap perempuan dan perkawinan anak pun masih luar biasa.

Perkawinan anak adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap CEDAW. Tetapi dalam konteks berdemokrasi di Indonesia dan percaturan dunia ini penting agar pemerintah Indonesia melihat bahwa ada persoalan darurat yang sampai membuat kita meminta PBB ikut turun tangan.

Menurut saya kekuatan moralnya disitu. Jadi kita seperti meminjam tangan PBB untuk menjawil negara karena kita sendiri sudah lelah melakukan riset dan advokasi, serta memaparkannya pada negara. Resolusi PBB itu datanya sangat jelas, saya baca di laporan VOA, jelas disebutkan satu dari lima perempuan Indonesia berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.

Pada laporan penelitian terbaru kami jumlahnya lebih besar lagi yaitu satu dari empat perempuan lho atau berarti 25%! Di daerah2 tertentu dimana migrasi perempuan, datanya lebih tinggi lagi. Di Madura hingga 32%, di Mamuju-Sulawesi Barat bahkan sampai 30%. Dengan data tidak cukup, dengan advokasi tidak cukup, maka resolusi ini bisa – maaf harus mengatakan hal ini – mempermalukan negara.” [em/jm]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/dewan-ham-pbb-siap-bahas-resolusi-tentang-perkawinan-anak/3935551.html

Praktik Perkawinan Anak Picu Kekerasan terhadap Perempuan

Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling umum terjadi di Indonesia. Koalisi itu mendesak pemerintah untuk berupaya keras menghentikan praktik perkawinan anak yang jumlahnya sangat tinggi.

JAKARTA — Tingginya jumlah praktik perkawinan anak di bawah 18 tahun di Indonesia menjadi masalah serius, karena sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari kepada VOA hari Kamis (8/12), perkawinan anak memicu kekerasan terhadap perempuan, yang eskalasinya semakin lama semakin parah.

Perkawinan anak pada usia dini lanjutnya akan menyebabkan terjadinya kekerasan seksual, karena pada usia itu anak belum siap melakukan hubungan seksual. Alat reproduksi yang belum matang membuat anak-anak yang dilahirkan kelak berpotensi mengalami gangguan fisik dan mental, seperti cacat atau pertumbuhan otak yang tidak sempurna.

Selain kekerasan seksual, anak perempuan yang menikah muda juga kerap mengalami kekerasan fisik, seperti penganiayaan oleh suami atau bahkan mertua karena dinilai belum bisa memahami dan memenuhi tugas sebagai istri.

Koalisi Perempuan Indonesia memperkirakan praktik perkawinan anak kini mencapai angka 20 – 25 juta kasus, di mana dua per tiga dari perkawinan itu berakhir dengan perceraian dalam usia perkawinan kurang dari satu tahun. praktik perkawinan anak umumnya dilakukan terhadap anak perempuan berusia 13-15 tahun. Padahal UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mensyaratkan batasan umur bagi orang yang mau menikah, yaitu minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

“Perkawinan anak itu akan menghentikan kesempatan anak-anak perempuan untuk memiliki orang-orang yang punya kualitas yang baik. Dan juga tidak bisa ditempati oleh anak-anak yang dilahirkan karena anak-anak yang dilahirkan tidak sempurna baik fisik maupun mental, pertumbuhan otak,” ungkap Dian.

Lebih lanjut Dian Kartikasari menambahkan 10 daerah di mana tingkat perkawinan anak sangat tinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat dan Kalimantan Tengah.

Dalam peringkat perkawinan anak tertinggi di dunia, Indonesia berada di urutan ke-37 dari 73 negara. Sementara di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Kamboja.

Selain faktor kemiskinan, hal lain yang mendorong orang tua mempercepat perkawinan adalah interpretasi agama dan budaya yang salah.

“Budaya, di mana masyarakat membangun stigma negatif pada orang-orang yang menikah lama. Ada di beberapa daerah sudah lewat 15 tahun, dia stigma sebagai perawan tua atau tidak laku,” tambah Dian.

Koalisi Perempuan Indonesia menilai pemerintah belum berhasil meredam tingginya praktik perkawinan anak karena kementerian dan lembaga yang ada sering berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi. Untuk itu koalisi ini menyerukan kepada presiden selaku pemimpin tertinggi eksekutif untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-udang atau perppu sebagai payung hukum bersama bagi berbagai kementerian dan badan untuk mengatasi praktik perkawinan anak yang semakin tinggi ini.

Angota Dewan Perwakilan Rakyat Okky Asokawati mengatakan perlu adanya revisi terhadap undang-undang perkawinan tentang batas umur perkawinan.

“Undang-undang perkawinan menyebut 16 tahun untuk perempuan, 19 tahun untuk laki-laki, sebetulnya kalau dari segi psikologi baik dari segi kematangan fisik masih belum baik. Lebih baik perempuan 21 tahun dan laki-laki 25 tahun,” papar Okky.

Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan judicial review atau peninjauan kembali Undang-undang Perkawinan, khususnya pasal tentang batasan umur perkawinan. Padahal menurut Koalisi Perempuan Indonesia, menaikkan batasan umur perkawinan adalah langkah awal yang signifikan untuk meredam praktik ini. [fw/wm]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/praktik-perkawinan-anak-picu-kekerasan-/3628402.html

Puluhan Ormas Madani Serukan Pemerintah Indonesia Dukung Resolusi Anti-Perkawinan Anak

Pemerintah Indonesia dihimbau untuk untuk ikut mendukung resolusi PBB tentang perkawinan anak secara dini dan dipaksakan, sebelum batas akhir pemberian dukungan pada 10 Juli 2017.

Sedikitnya 80 organisasi masyarakat sipil dan hampir 300an individu menyerukan pada pemerintah Indonesia untuk ikut mendukung resolusi PBB tentang perkawinan anak secara dini dan dipaksakan, sebelum batas akhir pemberian dukungan pada 10 Juli 2017.

Dalam pernyataan tertulis yang diterima VOA beberapa saat lalu tampak organisasi-organisasi masyarakat sipil terkemuka ikut menandatangani seruan tersebut, antara lain : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indonesia, Jurnal Perempuan, Kalyanamitra, CEDAW Working Group Indonesia, Institut Kapal Perempuan, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), LBH APIK, Migrant Care dan banyak lainnya. Sementara di kalangan individu terdapat Prof. Saparinah Sadli, Dr. Kartini Sjahrir, Sjamsiah Achmad, Tini Hadad, Ray Rangkuti, Wahyu Susilo dan sejumlah aktivis perempuan.

PBB memberi kesempatan kepada seluruh pihak untuk menyampaikan dukungan atas resolusi nomor A/HRC/35/L.36 terkait “Child Early & Forced Marriage in Humanitarian Setting,” yang mengakui ketidakadilan gender sebagai akar penyebab perkawinan anak, hingga 10 Juli mendatang.

Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dimana satu dari lima perempuan Indonesia yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. PBB mencatat bahwa perkawinan anak di Indonesia lebih sering terjadi di daerah-daerah pedalaman. Tingkat perkawinan anak sebelum usia 15 tahun yang tertinggi terjadi di Sulawesi Barat karena alasan budaya dan tradisi. Sementara di beberapa daerah lain penyebabnya beragam, termasuk agama, kemiskinan, ketergantungan ekonomi, praktek mahar dan insentif keuangan bagi orang tua, hingga ketidaktahuan karena minimnya pendidikan.

Pernyataan yang dikeluarkan Jum’at siang (7/7) itu menyatakan perkawinan anak terbukti melanggar hak anak, terutama hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Anak perempuan yang dikawinkan berpotensi tidak melanjutkan sekolah sehingga mempersempit peluang mendapat pekerjaan yang layak. Mereka juga rentan menderita kanker serviks karena belum sempurnanya alat reproduksi untuk berhubungan seksual dan hamil. Kematian juga kerap membayangi karena kehamilan di usia muda.

Sepuluh negara dengan tingkat perkawinan anak terbesar di dunia adalah:

India
26.610.000 kasus

Bangladesh
3.931.000 kasus

Nigeria
3.306.000 kasus

Brazil
2.928.000 kasus

Ethiopia
1.974.000 kasus

Pakistan
1.875.000 kasus

Indonesia
1.408.000 kasus

Meksiko
1.282.000 kasus

Republik Demokratik Kongo
1.274.000 kasus

Tanzania
887.000 kasus

* Kasus perempuan usia 20-24 tahun yang pertama kali menikah sebelum usia 18 tahun. Sumber: UNICEF, State of the World’s Children, 2016.

Menurut rencana selain menyerahkan pernyataan ini kepada Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri terkait, organisasi-organisasi masyarakat sipil itu juga akan memasang pesan informatif secara berkala tentang urgensi menolak perkawinan anak di akun sosial media mereka secara bersamaan, pada hari Jum’at (7/7) mulai jam enam sore, dengan tagar#StopPerkawinanAnak.[em]

Sumber: https://www.google.co.id/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/3932339.html