Kongres Ulama Perempuan

PRESIDEN Afganistan Ashraf Ghani dalam kunjungannya ke Indonesia, awal April lalu, memuji satu hal yang hampit tak dimiliki umat Muslim di mana pun di dunia: kiprah ulama perempuan Indonesia. Di tempat lain, jikapun ada, pengakuan atas peran keulamaan mereka masih rendah atau bahkan tak dikenali.

_________________________________________________________________

Pada tanggal 25 – 27 April 2017, lebih dari seribu perempuan ulama dengan definisi longgar atas ruang-ruang pemaknaan tentang kiprah keulamaannya berkumpul di Cirebon. Mereka menyelenggarakan kongres dengan tajuk Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ini jelas bukan kongres yang lazim.

Tak memilih ketua, pengurus, atau menawarkan agenda tahunan. Ini juga bukan kongres politik pasaran yang hendak memberi isyarat untuk mendesakkan agenda atau melambungkan tokoh perempuan di kancah politik praktis. Pun bukan barisan ibu-ibu yang sedang tamasya spiritual atau sekumpulan perempuan yang berafiliasi dengan agenda utopia syariatisasi semesta. Ini adalah kongres pemikiran keagamaan yang berangkat dari kegelisahan berbasis riset dan pengalaman mereka sebagai perempuan Indonesia yang berangkat dari keprihatinan atas situasi perempuan yang sebagian pangkalnya disebabkan kemandekan pemikiran keagamaan terkait problem kemanusiaan kaum perempuan. Sebuah agenda politik yang sungguh mendasar, signifikan, dan subtantif.

Ada tiga tema khusus yang melahirkan fatwa dengan metodologi yang dibangun di atas kerangka pengalaman dan cara berpikir perempuan: kekerasan terhadap perempuan, praktik perkawinan anak dengan legitimasi agama, dan dampak perusakan lingkungan yang menyengsarakan perempuan serta kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Di luar itu, ada sebelas tema aktual yang dibahas dalam diskusi paralel, termasuk soal perempuan dan kelompok radikal dan isu tenaga migran serta kiprah dan tantangan ulama perempuan sendiri.

Dilihat dalam kerangka eksistensialisme, KUPI tidak bisa lain merupakan penegasan atas ciri khas Islam Indonesia. Inilah Islam Indonesia yang dipandang oleh umat Muslim di negara lain dan dicemburui oleh aktivis feminis Islam di dunia sebagai oase pemikiran dan gerakan pasca-kolonial yang bersumber dari ajaran agama.

Islam Indonesia adalah Islam yang dalam kehidupan sosial budayanya membuka diri pada peranan perempuan untuk beraktivitas di ruang publik sehingga dimungkinkan menjadi ulama, pemimpin agama, bahkan menjadi hakim agama. Adanya perempuan dan ulama perempuan yang berperan penting dalam dua kelembagaan sosial keagamaan arus utama, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, atau majelis taklim di komunitas juga membuktikan, Islam Indonesia adalah Islam moderat.

Diinisiasi dan dikerjakan secara sukarela oleh sejumlah nyai pimpinan pondok pesantren, kiyai-kiyai muda, terutama dari lingkungan NU, kongres ini mewadahi kegelisahan banyak pihak yang peduli pada persoalan perempuan dan mengalami kesulitan mencari jalan keluar ketika pangkal persoalannya macet di tataran tafsir keagamaan.

Contoh paling dekat adalah ketika Mahkamah Konstitusi menolak upaya uji materi atas Undang-Undang Perkawinan terkait batas usia nikah yang terlalu rendah. Alih-alih menggunakan argumen konstitusi negara yang berlaku umum dan mengikat kepada setiap warga Indonesia, sejumlah hakim malah memakai argumentasi keagamaan yang bersifat primordial dan dari sisi agama sendiri argumennya sarat debat.

Fatwa KUPI

KUPI digerakkan oleh sebuah jaringan konvergensi antara aktivis pesantren, kampus, dan pekerja pendampingan di akar rumput. Dialektika di antara mereka sangat memperkaya hasil rumusan fatwa yang mereka tawarkan yang menunjukkan dinamika perdebatan tingkat tinggi sebelum sampai pada tawaran final mereka sebagaimana dimuat dalam keputusan fatwa KUPI.

Proses diskusi perumusannnya dilakukan berbulan-bulan dan berulang kali dengan mendialogkan tiga kutub: realitas lapangan berbasis riset, pemikiran keagamaan berbasis metodologi ushul fikih, dan tataran praksis kerja-kerja gerakan di lapangan. Di antara itu, dibangun metodologi perumusan fatwa yang sedapat mungkin terhindar dari prasangka jenis kelamin, kelas, dan rezim pemikiran tunggal.

Semua ini hanya dimungkinkan karena KUPI digerakkan oleh para ibu nyai pimpinan pesantren, sayap perempuan ormas keagamaan arus utama, peneliti yang bergaul luas dan bersentuhan dengan paradigma yang sanggup menembus ruang-ruang beku dan buntu dalam pemikiran agama, para aktivitas perempuan dengan latar belakang keluarga Muslim non-santri, serta para pekerja komunitas yang bersitekun dengan pemberdayaan perempuan di komunitas-komunitas perempuan yang terpinggirkan dan termiskinkan.

Mereka menghindari dominasi sepihak atau bersandar pada ketokohan orang per orang. Namun, semua berangkat dari titik keyakinan yang sama, Islam Indonesia [seharusnya] sanggup menjawab soal-soal kekinian yang dihadapi kaum perempuan di Indonesia dan bahkan dapat menyumbang pada pemikiran Islam dunia yang juga menghadapi persoalan ketertindasan perempuan di dunia global.

Jawaban yang terbarukan itu dianggap perlu karena struktur relasi kuasa sosial dan jender masa kini tak lagi sama dengan ketika agama diturunkan. Perlindungan-perlindungan personal terhadap perempuan yang semula berbasis klan dalam tradisi patriarki sebagaimana dinarasikan agama dianggap tak sanggup lagi menjawab persoalan ketertindasan perempuan terkini.

Hal itu disebabkan adanya perubahan relasi jender dalam masyarakat pasca-industrialisasi dan modernisasi. Di lain pihak, mereka meyakini, agama seharusnya menjadi pegangan etis dan etos dalam membaca situasi kaum perempuan masa kini dan karena itu dibutuhkan cara baca atau metode yang terbarukan sehingga agama tetap relevan sebagai pemandu perubahan.

Kongres ini sangat penting untuk dicatat dalam sejarah Islam di Indonesia ataupun di dunia. Kongres ini telah melegitimasi dan mengafirmasi kerja-kerja perempuan ulama di Indonesia, terutama mereka yang telah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan antara laki-laki dan perempuan. Tinggal kemudian bagaimana ulama, terutama laki-laki, sebagaimana Presiden Ashraf Ghani, mampu merekognisi capaian ini dan tak menganggapnya sebagai ancaman meski hasil fatwa mereka mungkin mengganggu kenyamanan para patriark penunggang agama.[]

Kartini, Kiyai Sholeh Darat, dan KUPI

PARA peneliti tafsir al-Qur`an Kiyai Sholeh Darat dari UIN Semarang meyakini, kitab Tafsir “Faydh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Maliki al-Dayyan” yang beraksara Jawa pegon merupakan hadiah Sang Kiyai untuk R.A. Kartini.

Rupanya, keluhan Kartini kepada sahabatnya, Stella EH Zeehandelaar, sebagaimana tercatat dalam suratnya tertanggal 6 November 1899, memberikan inspirasi kepada Kiyai Sholeh Darat untuk menerjemahkan, sekaligus menulis tafsir al-Qur`an.

Dalam suratnya, Kartini menggugat kebiasaan membaca al-Qur`an yang tanpa mengerti maknanya. “Al-Qur`an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apa pun juga. Di sini orang juga tidak tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca al-Qur`an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila, mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya.”

Namun, sejumlah peneliti soal Kartini juga melihat pengaruh Kiyai Sholeh Darat dalam keputusannya menerima poligami. Selain karena alasan kasihan kepada ayahnya yang sakit-sakitan dan memintanya untuk menerima perkawinan poligami dengan Bupati Jepara, Kartini juga ditundukkan oleh tafsir Kiyai Sholeh Darat tentang ayat poligami.

Kita bisa berandai-andai, jika ketika itu ada ulama perempuan dengan pandangan sekuat Ibu Sinta Nuriyah Abdurrhaman Wahid, bahwa tidak mungkin poligami adil, dan tak mungkin Allah memasukkan perempuan dalam rumah tangga yang zhalim dan menyengsarakannya, bisa jadi, jalan hidup Kartini benar-benar berbeda.

Hikmah dari bacaan sejarah itu, setidaknya kita tahu bahwa gagasan tentang perlunya memahami agama dan kemudian melahirkan tasfir itu muncul dari kegelisahan Kartini sekaligus keyakinannya bahwa Islam seharusnya menjadi agama yang bisa dipahami umatnya. Untuk itu, upaya memahamkan kembali ajaran agama agar relevan dengan konteks zamannya, menjadi niscaya.

Ini pula yang agaknya menggerakkan sejumlah perempuan menyelenggarakan “Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)” di Cirebon pada penghujung bulan keramat emansipasi perempuan Indonesia, April 2017.

KUPI jelas bukan kongres biasa. Setidaknya jika dilihat dari format dan agenda yang dibahas. Setelah seminar internasional, kongres dilanjutkan dengan pembahasan sebelas tema krusial mengenai perempuan dan kiprah ulama perempuan.

Antara lain soal kekerasan terhadap perempuan, perkawinan usia anak dan perkawinan paksa, perusakan lingkungan serta dampaknya terhadap perempuan dan kelompok yang dipinggirikan, perempuan dan radikalisme agama, serta tema-tema yang terkait dengan keulamaan perempuan.

KUPI bukanlah kongres politik pasaran yang hendak memberi isyarat untuk mendesakkan agenda atau melambungkan ketokohan orang tertentu agar dilirik atau dipinang partai politik. Ini juga bukan barisan ibu-ibu yang sedang tamasya spiritual, atau sekumpulan perempuan yang berafiliasi dengan agenda utopia syariatisasi semesta. Ini adalah kongres pemikiran keagamaan yang berangkat dari kegelisahan berbasis riset dan pengalaman mereka sebagi perempuan Indonesia.

Digerakkan oleh sejumlah nyai pemimpin pondok pesantren dan para sarjana muslimah, dibantu oleh kiyai-kiyai muda, terutama dari lingkungan NU, kongres ini mewadahi kegelisahan para nyai pemimpin pondok pesantren; sayap perempuan ormas keagamaan NU-Muhammadiyah, seperti Muslimat, Fatayat, dan Aisyiyah; putri-putri kiai yang bergaul luas dan bersentuhan dengan paradigma pemikiran modern yang sanggup menembus ruang-ruang beku dan buntu dalam pemikiran agama; para perempuan sarjana kajian agama dari sejumlah perguruan tinggi Islam dari dalam dan luar negeri; para aktivis perempuan dengan latar belakang keluarga muslim non-santri; serta para pekerja komunitas yang bersitekun dengan pemberdayaan perempuan di komunitas-komunitas perempuan yang terpinggirkan dan termiskinkan.

Mereka meyakini, Islam Indonesia [seharusnya] sanggup menjawab soal-soal kekinian yang dihadapi kaum perempuan di Indonesia, dan jika perlu, dapat menyumbang pada pemikiran Islam dunia yang juga menghadapi persoalan ketertindasan perempuan di dunia global .

Jawaban terbarukan itu dianggap perlu karena struktur relasi kuasa sosial dan gender masa kini tak lagi sama dengan ketika agama diturunkan. Perlindungan-perlindangan personal terhadap perempuan berbasis klan dalam tradisi patriarki, sebagaimana dinarasikan agama, dianggap tak sanggup lagi menjawab persoalan ketertindasan perempuan akibat perubahan relasi gender dalam masyarakat pasca-industralisasi dan modernisasi.

Di lain pihak, mereka meyakini bahwa agama seharusnya menjadi pegangan etis dan etos dalam membaca situasi kaum perempuan masa kini, dan karena itu dibutuhkan cara baca atau metode yang terbarukan hingga agama tetap relevan sebagai pemandu perubahan.

Tiga tema utama yang dibahas dalam KUPI bukanlah isu baru. Dalam kawin anak, R.A. Kartini pernah menulis kepada E.H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899, “… Mengenai pernikahan [anak-anak] itu sendiri, aduh, azab sengsara adalah ungkapan yang terlampau halus untuk menggambarkannya!”

Dengan bantuan riset-riset sosial budaya dan ekonomi yang dibaca dengan analisis gender dan bacaan metodologi yang biasa digunakan dalam forum-forum fatwa, para ulama perempuan yang berkongres di KUPI itu melihat modernisasi, akselerasi pendidikan ternyata tak senantiasa terhubung dengan kesejahteraan perempuan. Sebaliknya, karena mereka disingkirkan dari sumber-sumber ekonomi melalui alih fungsi lahan, industrialisasi tambang yang berimplikasi pada peningkatan kemiskinan perempuan, praktik perkawinan anak dan kekerasan berbasis gender.

Logikanya sangat sederhana, kerangka modernisasi dalam industri itu sama sekali tak mengalkulasi bahwa telah terjadi penyingkiran peran perempuan dari arena-arena sumber nafkah mereka dan mengubah mereka menjadi lebih tergantung pada lelaki yang disediakan pekerjaan penggantinya. Bias gender dalam racang bangun industrialisasi itu secara nyata melemahkan posisi tawar perempuan dan bermuara pada dua praktik itu: perkawinan usia anak dan kekerasan rumah tangga.

Para ulama perempuan yang tergabung dalam KUPI ini tanpa ragu menyatakan bahwa seharusnya agama memberi jalan keluar yang berangkat dari pengalaman perempuan dan menggunakan cara pandang mereka. Ini bukan saja untuk memastikan akurasi informasi masalah, tetapi juga untuk menghindari bias.

Mereka menegaskan, agama akan sanggup menjadi jawaban etis dan praksis untuk persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan manakala cara pandang agama juga mampu membaca perubahan-perubahan yang berdampak pada kesengsaraan perempuan.

Sebuah optimisme yang beralasan, dan ini pula yang pernah diungkapkan Kartini dalam suratnya kepada Ny. Van Kal, 21 Juli 1902, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami dapat rahmat, dapat bekerja untuk agama dan orang memandang Islam sebagai agama yang disukai.”[]

Sumber: https://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/258162-kartini-kiai-sholeh-darat-dan-kupi.html

Beragama Tanpa Agama

AGAMA yang semula sebagai keimanan yang sifatnya personal, individu berubah menjadi agama yang mesti diyakini dan dipraktikkan dalam struktur masyarakat dan negara, tidak peduli apa pun bentuk negara itu secara politik maupun secara sosial. Bagi yang berbeda, tentu disebut dengan sebutan kafir, sesat, dan munafik, musuh agama dan musuh Tuhan yang sudah pasti masuk neraka.

Kebenaran telah bergeser dari yang dulunya bersifat relatif dan obyektif, menjadi kebenaran yang sifatnya subyektif. Agama yang dulu hanya sebagai alat keyakinan yang sifatnya individu namun berubah menjadi agama yang menjadi jalan keluar permasalahan sosial dan material.

Agama, surga, neraka, dan dosa menjadi alat klaim individu, bukan klaim yang datang dari Tuhan. Kebenaran telah dipaksa hadir dan tunduk pada keinginan individu dan kelompok, dan mengabaikan aspek relativitas di masyarakat, sehingga kebenaran yang harusnya bersifat positif dan netral menjadi kebenaran yang bersifat negatif dan subyektif yang akhirnya menciptakan disharmoni sosial yang rentan memicu konflik sosial.

Sebutan “kafir”, “sesat”, dan “munafik”, semula merupakan sebutan biasa saja, namun kemudian menjadi sebutan negatif yang merubah konstruksi sosial yang harusnya bersatu dalam kebhinekaan, humble dan dinamis menjadi masyarakat yang terkotak-kotak dibatasi oleh pemahaman ideologi yang kaku dan tidak elitis, kurang memahami realitas pemahaman keagamaan yang humanis, sehingga terjadinya disharmoni di dalam realitas sosial, mengabaikan aspek kerukunan dan kebangsaan. Kebangsaan dipandang dari sudut yang paling sempit menggunakan pemahaman yang sangat klasik, mengabaikan realitas modern yang harusnya menghargai keragaman.

Terjadi kesalahpahaman terhadap sejarah konstruksi dan relasi sosial di masa klasik yang menyebabkan kebenaran subyektif yang dipaksakan hadir dalam praktik sosial keagamaan modern tetap memiliki kelemahan sehingga menampilkan sosok agama yang tidak beragama, mengklaim dirinya sebagai orang yang paling sah sebagai orang beragama, yang lain itu sesat dan tidak beriman meskipun telah memiliki pemahaman yang baik terhadap teks-teks agama.

Pandangan rigid itu lahir dari kebingungan dan kebuntuan saat berusaha langsung memahami dan menafsirkan teks-teks suci, al-Qur`an dan hadits. Dua jenis teks suci itu terlampau tinggi bila dipahami hanya berdasar terjemahan literal. Padahal teks-teks suci itu mengandung pengertian yang kompleks dan butuh media penelitian teks yang komplit, seperti penguasaan bahasa baik secara gramatik maupun filosofis, seperti Nahwu, Sharf, Ushul Fikh, Mantiq, Asbab al-Nuzul, Asbab al-Wurud (untuk hadits), relasi sejarah, tafsir, ulumul Qur’an dan ulumul hadits, menguasai sejarah rawi dan rijal al-hadits (untuk hadits), dan lain sebagainya. Sementara dunia teks memiliki pemahaman yang rumit dan kompleks, pemahaman terhadap terjemahan tidak bisa diklaim sebagai kebenaran, karena teks kitab suci dalam Islam merupakan kitab suci yang tidak mengamini klaim kebenaran yang bersifat tunggal, selalu ada alternatif kebenaran lain yang membumi dan sesuai dengan narasi rasional umat manusia.

Fenomena ideologi negatif yang berkembang dalam masyarakat muslim mulai menyasar banyak individu dalam jumlah yang banyak, dengan landasan dan argumentasi yang tidak terlalu serius dan sangat sederhana mengklaim diri sebagai yang paling otoritatif, menggunakan ayat-ayat Tuhan dan Kalam Nabi untuk menjauhkan umat dari agamanya dengan sebutan sesat, kafir dan tidak beragama.

Ayat-Ayat Tuhan dan Kalam Nabi

Mengerasnya fenomena pandangan keagamaan dimulai sejak ideologi salafisme masuk ke Indonesia di akhir periode Orde Baru seiring dengan populernya al-Qur`an versi terjemah setelah reformasi, lalu hadits-hadits terjemahan di tahun 2003, lalu di tahun 2015 popularitas hadits terjemah yang mudah diakses oleh perangkat HP android dan digital lainnya. Harusnya fenomena itu tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah saat banyak orang menganggap al-Qur`an dan hadits versi terjemah itu sudah layak sebagai perangkat hukum yang memecah berbagai problem keagamaan. Namun masyarakat tidak menyadari bahwa produk-produk terjemahan itu tidak pernah bisa dikatakan setara dengan al-Qur`an dan hadits yang berbahasa Arab.

Kompleksitas pemahaman teks di dalam kitab suci dan Kalam Nabi membuat produk terjemah tidak pernah mampu mewakili makna dan maksud teks-teks al-Qur`an dan hadits. Terlebih jauhnya jarak antara penterjemah dengan teks itu sendiri berkisar lebih dari 13 abad setelah teks-teks agama itu turun.

Independensi seorang penterjemah juga perlu diperhatikan, karena bila penterjemah memiliki kecenderungan ke ideologi negatif, maka hasil terjemahannya pun tidak akan orisinil dan tidak obyektif. Obyektivitas yang tergadai oleh ideologi negatif akan bahaya bila dikonsumsi oleh publik yang belum menguasai perangkat mengkaji hadits. Begitu juga al-Qur`an. Perlu pemahaman yang tidak sederhana dalam memahami al-Qur`an, perlu berbagai perangkat diskursus dan analisis yang mendalam untuk mencapai makna teks-teks di dalamnya.

Pembacaan terhadap makna-makna teks di al-Qur`an dan hadits itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah punya kapasitas dalam melakukan penelitian teks. Produk terjemahan dari kedua kitab suci itu tidak bisa menjadi produk hukum dan mengabaikan peran fikih. Fikih lahir dari kerja keras para pengkaji teks-teks kitab suci al-Qur`an dan hadits dengan berbagai perangkat khusus dalam melakukan istinbat hukum. Memposisikan al-Qur`an dan hadits sebagai produk hukum tentu menurunkan derajat al-Qur`an dan hadits sendiri yang harusnya sebagai sumber hukum yang bisa bermanfaat untuk melahirkan berbagai produk hukum, dan tidak terbatas dalam suatu masa tertentu, menjadikannya sebagai produk hukum sama saja memposisikannya sebagai teks yang terbatas oleh masa tertentu dan tidak bisa berlaku di masa lainnnya, begitulah sifat produk hukum yang senantiasa berubah dan selalu diamandemen sesuai dengan tipologi kasus per kasus.

Bahasa, rasio, kemampuan interpretasi, budaya, relasi sosial, dan relasi spiritual merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses dan hasil interpretasi manusia terhadap berbagai hal, terutama teks.
Perbedaan derajat antara manusia dengan Tuhan yang jauh berbeda jelas menentukan kualitas terjemahan. Manusia sebagai makhluk Tuhan, dan Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta, manusia manapun tidak mampu menakar obyektivitas makna dari sebuah teks kitab suci. Proses terjemahan yang dilakukan oleh manusia justru akan menundukkan teks al-Qur`an ke dalam proses akulturasi budaya si penterjemah itu sendiri, karena manusia selalu tunduk pada dimensi historisnya, yang akan menurunkan nilai dan makna teks itu sendiri.

Dalam menafsirkan teks-teks non kitab suci, makna obyektivitas itu juga masih rumit untuk diperoleh, namun teks-teks non kitab suci akan selalu tunduk terhadap pemaknaan historisnya, dia selalu bisa dihadirkan makna. Memaknai teks-teks kitab suci dalam sudut pandang historisitas atau sebab turunnya ayat merupakan hal yang keliru. Karena tidak semua ayat itu memiliki asbâb al-nuzûl-nya, dan tidak semua teks kitab suci yang diturunkan itu sesuai dengan konteks historisnya saat diturunkan. Kitab suci tidak berbicara mengenai suatu kejadian dengan detail. Format teks al-Qur`an tidak pernah terikat dengan lokasi dan waktu yang detail.

Misalnya, Allah Swt. berfirman, “[Ingatlah] tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami [ini],” [QS. al-Kahfi: 10]. Dan seterusnya sampai QS. al-Kahfi: 26 al-Qur`an tidak disebutkan secara detail kejadian dalam kisah-kisah yang diunggah di dalam teksnya. Terdapat berbagai versi di mana letak gua tempat singgah Ashabul Kahfi yang dimaksud di dalam al-Qur`an tersebut. Ada versi yang mengatakan bahwa gua al-Kahfi itu terletak di Anatolia, Turki, di mana komunitas Kristen dan Yahudi mengimani keberadaan gua al-Kahfi terletak di sana. Versi lain mengatakan bahwa gua al-Kahfi itu terletak di Syiria, lalu ada yang mengatakan di Yordania.

Tidak jelasnya penyebutan lokasi dan waktu membuat al-Qur`an diposisi bukan teks sejarah, bukan teks yang dihasilkan dari penuturan sejarah. al-Qur`an bebas dari konflik pembacaan sejarah. Berbeda dengan Nasr Hamid Abu Zayd yang mengklaim al-Qur`an sebagai muntaj al-tsaqâfi (produk budaya). Oleh karena itu, proses penafsiran al-Qur`an tidak seperti teks-teks lainnya yang bisa dengan mudah ditemui maknanya.

Badruddin al-Zarkasyi dalam kitab “al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân” menyebutkan tiga pendapat mengenai turunnya al-Qur`an. Pertama, bahwa al-Qur`an turun dengan lafal dan maknanya dari Allah. Kedua, bahwa al-Qur`an turun kepada Jibril hanya maknanya saja, kemudian Jibril membahasakannya dengan bahasa Arab ketika menyampaikannya kepada Muhammad. Ketiga, al-Qur`an turun secara makna kepada Jibril, lalu Jibril menyampaikannya kepada Muhammad juga secara makna, dan Muhammad-lah yang membahasakannya dengan menggunakan medium bahasa Arab.

Klaim Terjemah al-Qur’an dan hadits sebagai sebuah produk hukum yang otoritatif merupakan salah satu penyebab mengerasnya praktik keagamaan saat ini. Mengkaji sumber hukum hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan khusus di bidang tersebut. Sementara publik muslim secara umum lebih baik mengamati hasil-hasil pengkajian terhadap sumber hukum tersebut, seperti fikih, lebih bersifat aman dan terdapat unsur relativitas hukum yang sangat dinamis.[]

UNICEF Ikut Tekan Pernikahan Dini di Probolinggo

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Badan PBB untuk urusan anak-anak, Unicef berkunjung ke Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (4/4/2017). Kunjungan dilakukan terkait Program Pencegahan Pernikahan Dini di Kecamatan Krucil dan Paiton.

Kedatangan tim Unicef yang terdiri dari Unicef Jakarta, yang diwakili Felice Baker; dan Unicef Surabaya yang diwakili Naning Puji Yulianingsih, serta Perhimpunan Rahima dan Yayasan Rumah Kita Bersama, sebagai mitra kerja Unicef disambut Wakil Bupati Timbul Prihanjoko di rumah dinas, Selasa (4/4/2017).

Hadir juga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta segenap pejabat Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo.

Kabupaten Probolinggo mendapat program Unicef atas rekomendasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (PPPA), dan juga Komitmen Bupati Probolinggo, P. Tantriana Sari. Tujuan besarnya, supaya dapat mengangkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan menjadikan Kabupaten Probolinggo wilayah ramah anak.

Felice Baker mengatakan, program kerja ini dilaksanakan selama 14 bulan. Kegiatannya meliputi pemetaan, peran pencegahan, penyusun data, modul-modul untuk mengambil keputusan, dan melatih aktor yang berperan untuk perlindungan anak.

Terkait program tersebut, Wabup Timbul Prihanjoko, berterima kasih kepada Unicef. Ia berharap program berjalam baik dan selesai secara tuntas.

“Pemerintah daerah memberikan suport pada Unicef yang telah membantu supaya Kabupaten Probolinggo semakin baik dan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat maupun dapat meningkatkan IPM,” ujarnya. (*)

Sumber: https://www.timesindonesia.co.id/read/145522/20170404/152149/unicef-ikut-tekan-pernikahan-dini-di-probolinggo/

ASWAJA

KETIKA berbicara teologi sulit sekali untuk tidak mengaitkannya dengan persoalan politik. Munculnya banyak aliran teologi dalam Islam oleh banyak kalangan dinilai tidak lepas dari pertikaian politik waktu itu. Tepatnya pasca al-fitnah al-kubra (tragedi besar) terbunuhnya Utsman ibn Affan.

Sebetulnya, benih-benih perpecahan itu sudah muncul sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Muhajirin dan Anshor berebut siapa yang pantas memimpin menggantikan beliau. Masing-masing merasa berhak menjadi pemimpin. Pertikaian tersebut menyebabkan jasad nabi tertunda dikubur selama tiga hari.

Hingga muncullah Abu Bakar al-Shiddiq ra. yang dianggap mewakili kelompok keduanya. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar pun banyak persoalan muncul. Banyak orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat. Alasannya zakat hanya berhak diberikan pada saat Nabi Saw. masih hidup. Abu Bakar memerangi mereka karena dianggap murtad.

Sepeninggal Abu Bakar, Umar ibn al-Khatthab ra. menggantikan posisinya. Pada masa kepemimpinan Umar banyak kebijakannya yang dianggap kontroversial. Sehingga memunculkan banyak resisitensi. Salah satunya tidak mau membagikan harta fai kepada muallaf. Juga tidak membagikan tanah rampasan perang kepada prajurit-prajuritnya.

Puncaknya terjadi pada masa kepemimpinan Utsman ibn Affan ra. Sebagai pengganti Umar, Utsman dianggap menyuburkan praktik-praktik nepotisme yang hanya menguntungkan kroni-kroni dan keluarganya. Sehingga terjadilah gelombang demonstrasi besar-besar yang menyebabkan ia terbunuh.

Pada masa sulit seperti ini muncullah Ali ibn Abi Thalib ra. Ia tampil menggantikan Utsman. Belum begitu lama memimpin, banyak pihak yang menuntut balas atas kematian Usman. Kelompok pertama datang dari kubu Aisyah yang disokong Thalhah dan Zubair. Akibatnya terjadilah perang besar yang dalam sejarah disebut perang Jamal (perang unta, karena Aisyah sebagai panglima perang mengendarai unta). Thalhah dan Zubair terbunuh. Aisyah dikembalikan lagi ke Madinah.

Kelompok kedua datang dari sepupu Usman sendiri, yaitu Muawiyah. Ia menjabat sebagai Gubernur Damaskus dan memobilisasi massa untuk melawan Ali karena dianggap bertanggung jawab atas kematian Usman.

Terjadilah perang besar antara kubu Ali dan Muawiyah. Sejarah menyebutnya perang Siffin karena terjadi di daerah Siffin. Awalnya pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan Muawiyah. Namun, berkat kelicikan Amr ibn al-Ash, tangan kanan Muawiyyah, pasukan Muawiyah tidak jadi kalah. Amr mengangkat al-Qur`an di atas tombak dan mengajak tahkim (arbitrase).

Waktu itu Ali tidak mengindahkan ajakan Amr. Sebelumnya Ia sudah memahami watak licik Amr. Namun, karena mayoritas pasukan Ali didominasi huffazh (penghapal al-Qur`an) akhirnya mendesak Ali agar menerima tawaran tersebut.

Sehingga terjadilah tahkim (penangguhan hukum). Setiap kubu sepakat untuk memakzulkan pemimpinnya masing-masing. Dari kubu Ali diwakili Abu Musa al-Asyari, sementara kubu Muawiyah diwakili Amr ibn al-Ash. Abu Musa sebagai yang tertua terlebih dahulu naik panggung dan mengumumkan kepada publik putusan menjatuhkan kedua pemimpin yang bertikai itu. Berbeda ketika Amr ibn al-Ash mengumumkan kepada khalayak ramai, ia hanya menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah.

Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan Muawiyah. Yang legal menjadi khalifah sesungguhnya Ali. Muawiyah tidak lebih hanyalah gubernur daerah yang tidak mau tunduk pada pusat. Sehingga, tidak heran, sampai akhir hayatnya Ali tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.

Akibat pertikaian itu pasukan Ali terpecah dua: pertama, masih setia dan mendukung Ali. Mereka adalah pendukung fanatik Ali. Kelak dari merekalah lahir sekte Syiah. Kedua, menyempal dan membuat pasukan tersendiri yang berbalik menentang Ali dan masih memusuhi Muawiyah. Mereka disebut khawarij.

Kahwarij mengkafirkan Ali, Muawiyah, Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asyari, karena dianggap tidak berhukum dengan hokum al-Quran. “Wa man lam yahkum bima anzala Allah fa ula’ika hum al-kafiruun,” kata mereka. Inilah statement pertama kali yang berbau teologis karena sudah menyangkut kafir dan mukmin; siapa yang selamat (masuk surga) dan siapa yang celaka (masuk neraka); halal dan haram darahnya.

Di samping itu, Muawiyyah yang merasa kekuasaannya diujung tanduk, kemudian menyebarkan paham fatalistik (jabariyyah) dengan mengatakan, “Kalau Allah tidak ridha kepadaku, tidak mungkin aku akan menjadi khalifah. Kalau Allah benci kepadaku, niscaya Allah akan menggantikanku dengan orang lain.” Dengan demikian, secara tidak langsung, ia mengatakan bahwa kekuasaannya adalah berkat takdir dari Allah. Tentu saja ini bagian dari manuver politik dia agar diterima masyarakat luas.

Paham Jabariyah ini mendapat reaksi dari Muhammad ibn Ali al-Hanafiyah, purta Ali, yang mengatakan bahwa: Allah tidak ikut campur terhadap urusan manusia. Setiap tindakan manusia berasal dari manusia sendiri. Juga menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Karena itu, menurut paham ini, apa yang dilakukan Muawiyah adalah perbuatannya sendiri dan tanggung jawab sendiri pula. Paham seperti ini kemudian dikenal dengan Qadariyah. Juga sebagai embrio Muktazilah yang rasional dan mengabaikan wahyu.

Di tengah pertikaian politik yang bernuansa agama (teologi) inilah kemudian muncul sekelompok orang yang tidak mau terseret politik. Ia lebih memilih menarik jarak dari kekuasaan dan mencoba berpikir jernih. Mereka dipelopori Hasan al-Basri, Sufya al-Tsauri, Fudail bin Iyadh, serta Abu Hanifah. Kelompok hasan al-Basri inilah yang sebenarnya merupakan fondasi awal Ahlussunah wal Jamaah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan Abdullah ibn Kullab, Haris ibn Asad al-Muhasibi, dan Abu Bakar al-Qalanisi. Pada abad berikutnya dilanjutkan Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Revitalisasi Makna ASWAJA

Dalam Risalah Ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA), KH Hasyim al-Asyari merumuskan ASWAJA sebagai berikut: (1). Teologi mengikuti al-Asyari atau al-Maturidi; (2). Fikih mengikuti salah satu dari empat madzhab: al-Syafi’i, Hanbali, Abu Hanifah, dan Ahmad; (3). Tasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaidi. Pengertian seperti ini, menurut beliau, didasarkan pada paham keagamaan yang selama ini berlaku dan dianut ulama-ulama di Indonesia.

ASWAJA yang dikemukakan KH. Hasyim Asyari tersebut, menurut Kiyai Said Aqil Siradj, bukanlah definisi yang baku. Kiai Said memiliki definisi sendiri yang menurutnya jauh lebih relevan dengan tuntutan dan kondisi bangsa saat ini. Katanya, ASWAJA bukanlah suatu madzhab, melainkan manhaj al-fikr (metode berpikir) atau sebuah paham yang di dalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran.

Manhaj tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran). Hal ini tercermin dari sikap dan pandangan kaum sunni yang mendahulukan nash, meski memberikan porsi yang longgar terhadap rasio dan akal, tidak mengenal tatharruf (sikap ekstrim dan radikal), serta tidak mengkafirkan ahl al-qiblah (sesama penganut Islam). Ketawasutan ASWAJA tersebut meliputi semua aspek kehidupan, akidah, syariah, muamalah, akhlak, tasawuf, dan social-politik.

ASWAJA Sebagai Alternatif

Akhir-akhir ini kita disuguhi pelbagai peristiwa yang bermuara pada radikalisme agama. Bom bunuh diri, pengusiran Jamaat Ahmadiyah, konflik antar agama dll. Semuanya merupakan rentetan peristiwa yang mewarnai media massa kita. Kalau terus dibiarkan, tatanan kebhinekaan dan pluralitas Bangsa Indonesia lama kelamaan akan rusak dan hancur. Masyarakat Indonesia tidak lagi menganggap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi negara dan landasan konstitusional. Pada akhirnya, Indonesia hanya akan dipenuhi sekelompok “barbar” yang merasa benar sendiri dan tidak mau hidup berdampingan dengan yang lain.

Anehnya, masih banyak orang/kelompok orang yang menganggap kekerasan berbasis agama sebagai bagian dari perjuangan agama. Misalnya dengan alasan jihad ia membunuh orang lain yang tidak bersalah, bahkan membunuh saudaranya sendiri. Apakah agama mengabsahkan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tak berdosa? Di sinilah bahayanya kekerasan berbasis agama. Karena itu, dibutuhkan pemahaman agama yang moderat, menghargai perbedaan dan cinta perdamaian.

Islam di indonesia memang kaya, tidak monolit dan tidak seragam. Setidaknya itulah yang kita lihat dengan kasat mata. Clifford Geertz misalnya menyebut islam abangan, Islam priyayi dan Islam santri. Namun, Islamnya itu sendiri tetap satu. Yang menjadikan kelihatannya warna-warnanya berbeda adalah penafsiran dan sikap prilaku orangnya, yang kerapkali berubah dari satu waktu ke waktu yang lain.

Setiap tempat-tempat yang di datangi Islam tentu saja tidak kosong nilai dan tidak kosong budaya. Di sana ada nilai-nilai, budaya, dan tradisi yang sebelumnya di bangun oleh peradaban lain terutama Hindu dan Budha. Akhirnya terjadi perembesan budaya, bukan banjir budaya. Pelan-pelan tapi butuh waktu panjang. Di tengah-tengah perembesan budaya ini terjadi dialog-dialog budaya. Dalam dialog ini bisa mempengaruhi satu sama lain. Yang sangat menarik terjadilah “sintesa kreatif” dalam kehidupan beragama. Lihat saja misalnya pada pesta pernikahan. Akad nikahnya pakai ijab Kabul, memiliki saksi, mahar, dst. Setelah itu ada siraman, midodareni, menginjak telur, dsb. Terserah budaya apa yang dipakai. Disini terjadi sintesa kreatif dalam pesta perkawinan. Dan lai lebih dari perkawinan juga banyak sekali. Kumpulan dari sintesa kretif inilah di Indonesia kemudian kita sebut multikultural.

Kemudian terjadi pula proses akulturasi dan inkulturasi (usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kondisi setempat). Inkulturasi itu banyak sekali kita rasakan. Di sini kumpulan dari berbagai nilai-nilai agama di dekatkan dengan nilai-nilai budaya setempat. Misalnya saja tradisi Tingkepan. Tingkepan itu masih berjalan dan masih berlaku di masyarakat. Proses akulturasi dan inkulturasi itu bukan hanya dalam tataran agama tetapi juga dalam tataran kehidupan politik.

Pada aras yang lain kita juga menyaksikan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan yang dialami banyak masyarakat Indonesia. Padahal, mereka hidup di tengah bangsa yang dipenuhi sumber daya alam yang melimpah. Lantas, kenapa mereka miskin, bodoh, dan tertinggal? Mereka sengaja dimiskinkan, dibuat bodoh, dan diciptakan oleh struktur sosial yang menyebabkan mereka tertinggal. Kekayaan alam kita dieksploitasi perusahaan-perusahaan yang rata-rata dimiliki asing. Hasilnya bukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan dinikmati oleh segelintir orang. Inilah yang disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial yang timpang.

Sementara negara/pemerintah sama sekali tidak melindungi dan berpihak pada rakyat. Seringkali negara malah didikte oleh kekuatan-kekuatan asing, seperti WTO, IMF, atau World Bank. Akibatnya, subsidi untuk masyarakat kecil dipangkas, banyak aset-aset negara yang diprivatisasi dan dilelang ke negara asing. Ini karena negara kita menganut ideologi neo-liberalisme di mana tanggung jawab negara diminimalisir. Yang berkuasa adalah pasar dan modal. Sehingga jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin lebar, karena negara pada akhirnya tidak punya tanggung jawab sama sekali terhadap rakyatnya.

Nah, bagaimana agar ASWAJA bisa bermain di tengah-tengah arus “radikalisme agama” dan “neo-liberalisme”. Kita melihat Indonesia dikepung oleh dua kekuatan tersebut. Keduanya sama-sama berbahaya dan berpotensi menghancurkan. Radikalisme agama hanya akan melahirkan distorsi terhadap nilai-nilai agama (Islam) yang berwatak rahmatan lil alamin, menghargai perbedaan, menjunjung tinggi keadilan dan persamaan. Sementara neo-liberalisme hanya akan melanggengkan kapitalisme global yang mengikis habis kemandirian bangsa dan negara, memperlebar kesenjangan sosial, dan menyebabkan keterbelakangan dan ketertinggalan.

Sebagai orang yang lahir di tengah-tengah komunitas Nahdliyyin (pesantren), kita seharusnya mampu menawarkan ASWAJA sebagai ideologi alternatif untuk melawan kedua ideologi tersebut (radikalisme agama dan neo-liberalisme). Namun, ASWAJA yang dimaksud di sini tentunya bukan dalam makna konvensional, seperti yang dirumuskan khadrati al-syaikh KH. Hasyim Asy’ari, yaitu mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqh, berteologi Asyari atau Maturidi, dan bertasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaidi. Tentunya ASWAJA yang dimaksud di sini adalah manhaj al-fikr (metode berpikir) yang bercorak tawasut, tawazun, dan tasamuh. ASWAJA dalam makna seperti ini lebih hidup dan lebih segar. ASWAJA dalam maknanya yang baru tidak lagi mempersoalkan pertentangan antara rasionalisme-literalisme, tekstual-kontekstual, atau wahyu dan akal, tapi bagaimana ASWAJA mampu mewujudkan dunia untuk manusia yang bermartabat dan berkeadilan. Wallahu A’lam.