Merebut Tafsir 3: Laku Pepe dan Istighatsah

BAGI yang pernah belajar sejarah kekuasaan raja-raja Jawa dan hubungannya dengan rakyat, niscaya pernah membaca sebuah laku Jawa mengekspresikan rasa ketidakadilannya dan memohonkan perlakukan adil dengan “laku pepe”, berjemur di alun-alur menghadap ke keraton. Ia atau mereka tak akan berhenti berjemur berhari—hari sampai raja “nimbali” memanggil dan mendengarkan aduannya. Jika raja tak nimbali mereka akan wirang atau malu dan lari menghindari kampung menjalani laku tirakat atau menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan. Di mana Orde Baru, lebih dari 30 tahu budaya untuk mengadukan persoalan yang dirasakan rakyat, dibumpat, dan dialihkan melalui mekanisme “perwakilan” yang kita tahu semua, hanya menjadi pelengkap sebuah proses demokrasi semu.

Reformasi memberi harapan. Saluran-saluran demokrasi dibuka terutama melalui media yang lebih bebas. Tapi saluran demokrasi bagi rakyat tak benar-benar terbuka meski partai telah lebih bebas. Kekuasaan lain, yang tak dihitung di masa perumusan trias politika—yaitu kepentingan pemodal—dicurigai jadi penentu kebijakan yang paling nyata meski wujudnya kerap serupa siluman. Demit dan siluman ini menjadi dahsyat tatkala negara tunduk kepada mereka karena hanya dengan cara itu “pembangunan” bisa berjalan. Namun cara-cara ini menggangu proses-proses demokrasi karena memunculkan gossip was wis wus yang menggelembung ke segala arah termasuk ke isu pemodal-pemodal “asing dan aseng” dan tentu saja dengan mudah memicu kecurigaan di benak rakyat dan umat.

Saluran berdemokrasi di luar parlemen, sayangnya belum benar-benar tumbuh, kecuali dalam ruang yang kecil dan sangat teknokratik seperti Musrenbang dan sejenisnya yang juga memakai sistem perwakilan. Lalu suara umat sebagai bagian dari rakyat yang kecewa, sakit hati, bertanya-tanya, tersinggung, marah disalurkan melalui apa? Belasan tahun dari reformasi aspek ini belum digarap secara sungguh-sungguh baik oleh partai yang mestinya punya kaki dan telinga di bawah atau oleh negara yang punya tali sampai ke desa.

Umat Muslim kelihatannya, hanya mengenal istighatsah, yang semula—seperti pepe—dijadikan sebagai sarana menyalurkan permohonan yang amat-sangat. Menjelang reformasi, istighatsah kemudian di bawa oleh budaya NU ke ruang publik sebagai cara untuk memohon kekuatan Tuhan ketika umat merasa tak memiliki kekuatan berhadapan dengan tirani, dan mengadu dengan cara lain dalam berdemokrasi tersumbat. Mereka tak mengenal tata cara berdemokrasi yang lain kecuali melakukan laku pepe yang dalam bentuk berbeda dan diakrabi oleh umat Muslim adalah istighatsah.

Malangnya istighatsah juga merupakan kendaraan bebas yang bisa digunakan oleh siapa saja untuk kepentingan apa saja. Sudah saatnya kita melihat saluran-saluran demokrasi yang lebih inovatif, lebih dari mempertontonkan kekuatan primordial berwajah SARA. Kita harus mencari saluran berdemokrasi yang bisa dimaknai sebagai jalan yang biasa dilalui dalam berdemokrasi. Kita bisa mengambil inspirasi dari Laku Pepe seperti yang dilakukan ibu-ibu Kendeng, Kamisan Ibu Maria Sumarsih, atau sejenisnya. Sepertinya kita perlu tafsir baru dalam cara berdemokrasi.[]

Launching Hasil Penelitian Mengenai Sunat Perempuan The Warehouse, Plaza Indonesia, Jakarta 25 November 2016

(Sebagai salah satu kegiatan dari rangkaian kegiatan 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan)

PUSAT Gender dan Seksualitas, Universitas Indonesia bersama dengan Hivos, menyelenggarakan riset mengenai Praktek Sunat Perempuan (Female Genital Mutilation/Cutting) pada tahun 2015. Dalam publikasi hasil penelitiannya yang dilaksanaka bersamaan denga rangkaian kegiatan 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan, mereka mengundang pihak-pihak media dan lembaga-lembaga yang berkepentingan, di antaranya Rumah KitaB sebagai NGO yang konsisten memperhatikan masalah kesetaraan gender untuk mengadakan diskusi publik.

Penelitian ini dilakukan di 7 propinsi dengan 700 responden oleh 100 interviewer. Riset ini dilaksanakan antara lain untuk mengidentifikasi bentuk dari pelaksanaan sunat perempuan berdasar pada tipologi WHO, emngidentifikasi akibat dari suat perempuan dan memahami faktor sosial dan budaya dibalik praktek sunat perempuan. Dari penelitian ini ditemukan fakta-fakta menarik yang kemudian akan digunakan untuk menyusun suatu rekomendasi dalam menghentikan praktek sunat perempuan.

Dalam Diskusi publik yang dilaksanakan, narasumber yang dihadirkan antara lain: Dr. Johanna Debora Imelda, MA (Tim riset, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, UI), Riri Khairah (Komisioner Nasional Komnas Perempuan) dan Nong Darol Mahmada (Aktivis Perempuan dan penyintas sunat perempuan). Diskusi dipimpin oleh Tunggal Pawestri (Manajer Pengembangan Program) sebagai moderator.

Ringkasan Hasil Penelitian

Penelitian ini digagas oleh Hivos Southeas Asia dan didisain bersama dengan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Indonesia sebagai bagian kerja penguatan dari hak kesehatan reproduksi dan seksualitas dari perempuan. Penelitian dilaksaakan dengan memenuhi semua kadidah yang berlaku antara lain; lolos kaji etik.

Mayoritas responden beragama Islam, sebagian lainnya beragama Kristen, Protestan, dan Katolik. Usia dan latar belakang pendidikan responden juga menjadi pertimbangan. Dari kegiatan penelitian sunat perempuan menurut responden diperoleh antara lain: (1). Definisi sunat perempuan menurut responden baik yang menyunatkan atau tidak menyunatkan anaknya; (2). Persepsi mengenai cara sunat perempuan; (3). Usia sunat perempuan; (4). Profesi yang menyediakan layanan sunat perempuan; (5). Faktor yang mempengaruhi Sunat perempuan, dan; (6). Tipe sunat perempuan yang ditemukan; (7). Pihak yang menganjurkan sunat. Sementara dampak sunat Perempuan adalah: (1). Dampak psikologis; (2). Dampak Sosial, dan; (3). Dampak Kesehatan.

Dari temuan-temuan tersebut kesimpulan yang diperoleh dari praktek sunat perempuan adalah: (1). Sunat perempuan berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan (alat-alat yang tidak higienis dan minimnya pengetahuan dukun. Tenaga kesehatan yang melakukanya); juga dalam praktik yang sifatnya simbolik; (2). Penelitian ini menemukan hubungan-hubungan antara tipe masyarakat dengan praktik sunat perempuan; (3). Pengurangan Sunat Perempuan tidak akan berhasil jika masyarakat masih menganggap bahwa sunat perempuan adalah kewajiban tradisi agama seperti yang saat ini terjadi di masyarakat tradisional; (4). Perubahan di masyarakat menjadi urban dan plural akan memberikan kebebasan individual dan kebebasan untuk melakukan (dan juga tidak melakukan) sunat perempuan.

Dari diskusi yang dilaksanakan atas hasil penelitian yang dilakukan, definisi yang dipakai mengenai Sunat perempuan adalah definisi dari WHO yang mengatakan: “Sunat Perempuan atau Female Genital Mutilation /Cutting (FGM/C) terdiri dari semua prosedur yang melibatkan; penghapusan parsial atau total dari alat kelamin perempuan eksternal, atau cedera lain ke organ genital perempuan untuk alasan non-medis.” Sehingga semua tipe sunat perempuan baik Clitoritotomy (Tipe 1), Clitoridectomy (Tipe 2), Influbasi (Tipe 3) dan Tidak terklasisikasi (Tipe 4), masuk ke dalam definisi sunat perempuan oleh WHO.

20161125_160529

Menurut Nong, aktivis perempuan dan penyintas sunat perempuan, dari data yang diperoleh terdapat peningkatan praktek sunat perempuan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan posisi Indonesia sebagai peringkat ke 3 di dunia yang mempraktekkan sunat perempuan, dikarenakan adanya pergeseran faktor pendorong pelaksanaannya. Dahulu praktek sunat perempuan, terutama yang di alami di daerah (Banten) dan lingkungan keluarganya, sunat perempuan dilaksanakan lebih karena meneruskan tradisi dan budaya, dengan alasan megikuti Walisongo. Tetapi sekarang dengan meningkatnya pemahaman agama Islam khususnya, sunat perempuan dipahami sebagai kewajiban atau perintah agama, sebagai syarat menjadi umat Muslim yang sempurna. Hal ini mengakibatkan praktek sunat perempuan meningkat.

Menurut Riri, Komnas Perempuan, Unsur tradisi yang dibungkus agama menyebabkan praktek sunat perempuan sulit dihapuskan. Literatur Islam memiliki varian dan bias gender dalam rujukannya terhadap sunat perempuan. Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) pernah berusaha untuk menghapuskan sunat perempuan, tetapi belum berhasil. Posisi pemerintah yang plin plan terhadap kebijakan juga menjadi salah satu kendala penghapusan praktek sunat perempuan. KPPA dianggap salah langkah dalam usaha penghapusan sunat perempuan dengan meminta fatwa MUI tentang sunat perempuan. Langkah ini malah menjadi kontraproduktif.

Dengan metode yang tepat praktek sunat perempuan perempuan bisa dihilangkan, contohnya di daerah Toraja dan Banjar. Karena didukung oleh agama yang masuk yang tidak menganjurkan bahkan melarang sunat perempuan.

Refleksi yang dilakukan, hasil penelitian tetang dampak negatis sunat perempuan ini harus disosialisasikan di masyarakat luas, bukan hanya dalam diskusi kalangan terbatas.

Dari peserta diskusi didapat masukan, bahwa pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya praktek sunat perempuan dengan tidak tersedianya data mengenai praktek sunat perempuan. Bahwa sunat perempuan juga terjadi di lingkungan perkotaan, bahkan ditawarkan oleh tenaga medis seperti bidan dan di rumah sakit.

Dari hasil penelitian dan diskusi diperoleh kesimpulan bahwa Sunat Perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan. Bahkan praktek tersebut selain memiliki dampak negatif pada kesehatan khususnya kesehatan reproduksi perempuan juga dampak psikologis, seperti trauma bahkan lama setelah seorang perempuan mengalami praktek sunat.

Praktek sunat perempuan mencerminkan ketimpangan yang mengakar antara jenis kelamin, dan merupakan bentuk ekstrim diskriminasi terhadap perempuan.[]